Bagian ini khusus membahas pandangan-pandangan berupa tulisan baik dari dosen maupun mahasiswa atau masyarakat umum berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang terdapat di dalam Pancasila sebagai dasar dan filosofi kebangsaan Negara Indonesia.
Teori Kebebasan Amartya Sen
Oleh: Iqbal Hasanuddin Amartya Kumar Sen adalah seorang ekonom dan filsuf politik yang lahir pada 1933 di Santiniketan, Bengal Barat, India. Sebagai ekonom, ia banyak menulis karya dalan bidang ekonomi kesejahteraan yang membawanya mendapatkan Penghargaan Nobel Ekonomi pada 1998. Sebagai filsuf politik, ia menafsirkan ulang konsep kebebasan dengan mengemukakan gagasan tentang kapabilitas. Dalam filsafat politik kontemporer, pemikiran Sen merupakan upaya untuk memberikan dimensi baru pada teori kebebasan yang sebelumnya senantiasa dipahami sebagai "tidak adanya paksaan dari luar." Itulah pengertian kebebasan sebagaimana dipahami oleh John Stuart Mill, F.A. Hayek dan Isaiah Berlin. Ketiga filsuf politik itu cenderung memahami kebebasan sebagai kebebasan negatif (bebas dari paksaan). Bagi Sen, kebebasan negatif (bebas dari paksaan) dan kebebasan positif (bebas untuk mencapai yang apa yang dianggap bernilai) adalah dua dimensi kebebasan yang sama-sama penting. Baginya, kebebasan negatif adalah dimensi kebebasan yang terkait dengan proses, sementara kebebasan positif adalah kebebasan yang terkait dengan kesempatan nyata. Secara khusus, istilah kapabilitas atau kemampuan dipakai oleh Sen dengan mengacu kepada dimensi kebebasan positif tersebut. Menurut Sen, kedua dimensi kebebasan ini sangat penting bagi manusia sebagai person moral yang layak untuk diperlakukan secara bermartabat. Setiap orang membutuhkan "kebebasan negatif" untuk memastikan tidak adanya koersi dari luar yang dapat membatasi upayanya untuk menjalani kehidupan yang bernilai. Setiap orang juga membutuhkan "kebebasan positif', karena tidak adanya koersi atau paksaan saja tidak cukup. Kita semua membutuhkan daya atau kemampuan nyata untuk mencapai tujuan-tujuan yang kita capai di dalam hidup. Sebagai ilustrasi, anggap saja ada sebuah masyarakat yang sudah menerapkan prinsip kebebasan negatif di mana tidak ada kekerasan atau paksaan yang melarang orang-orang untuk mencapai kehidupan yang bernilai. Di dalamnya, tidak ada larangan atau paksaan yang menyebabkan orang-orang tidak bisa memperoleh pendidikan dan kondisi kesehatan yang baik, pekerjaan yang layak, dll. Lantas, dengan tidak adanya larangan atau paksaan itu, orang-orang secara nyata bisa mendapatkan pendidikan, kondisi kesehatan yang baik dan pekerjaan yang layak? Jawaban Sen: Tidak. Bagi Sen, untuk sampai pada keadaan yang layak berdasarkan martabatnya sebagai manusia, setiap orang juga membutuhkan kebebasan dalam pengertian daya, kemampuan nyata, atau kapabilitas. Dalam hal ini, kebebasan sebagai kapabilitas itu terdiri dari dua aspek: kebebasan kesejahteraan (wellbeing freedom) dan kebebasan pelaku (agency freedom). Dengan memberikan dimensi kapabilitas pada teori kebebasan, Sen telah berhasil merumuskan ulang pengertian mengenai kemiskinan dan tolok ukur kualitas hidup. Misalnya, bagi Sen, kemiskinan itu bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, tapi juga ketidakberdayaan secara umum. Orang yang memiliki banyak uang tapi mengidap sakit yang akut bisa disebut sebagai orang yang tidak sejahtera karena ia memiliki tingkat keberdayaan yang relatif rendah. Ia tidak memiliki kualitas hidup yang baik. Seturut dengan itu, Sen mengusulkan tolok ukur kualitas hidup sebagai ukuran untuk melihat apakah pembangunan di sebuah negara berhasil atau tidak. Dengan demikian, ia menganggap ukuran pendapat domestik bruto (PDB) yang selama ini dipakai tidak terlalu memadai. Bagi Sen, pembangunan di sebuah negara masih dinilai belum berhasil jika hak-hak dan kebebasan sipil tidak terjamin, meskipun PDB-nya tinggi. Sebab, bagi Sen, pembangunan adalah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), tapi juga kebebasan individu (agency freedom). Pada gilirannya, Sen juga mengusulkan agar konsep kebebasan dimasukkan ke dalam teori pilihan sosial. Bagi Sen, teori pilihan sosial tradisional sekadar memperhitungkan aspek kesejahteraan, tapi kurang memberikan tempat pada kebebasan. Dalam rumusan teori pilihan sosial yang dikemukakannya, Sen berharap agar keputusan-keputusan sosial diambil dengan memberikan ruang bagi partisipasi yang bebas dari setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali. Selain itu, keputusan-keputusan sosial juga tidak diperkenankan untuk melanggar kebebasan individu dengan alasan kesejahteraan sosial. read more
• February 02, 2021
SANDEL, KOMUNITARIANISME DAN BATAS-BATAS KEADILAN
Oleh: Iqbal Hasanuddin Michael Sandel (1953-) dikenal sebagai salah seorang filsuf politik yang beraliran komunitarianisme atau komunitarisme. Bersama Charles Taylor, Michael Walzer dan Alasdair McIntyre, Sandel menjadikan komunitas dan kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-'ammah) sebagai inti dari pandangan filsafat politik mereka. Di sini, para pemikir komunitarianisme menghidupkan kembali gagasan keutamaan dalam politik sebagaimana pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan merevitalisasi konsep sittlichkeit dari Hegel. Dengan mengemukakan kebaikan bersama yang ada dalam komunitas, Sandel berada dalam posisi yang berlawanan dengan liberalisme. Karenanya, adalah tidak mengherankan jika Sandel juga menjadi pengkritik liberalisme yang dituangkan dalam buku Liberalism and the Limits of Justice (1982). Kritik utama Sandel itu secara khusus diarahkan pada kecenderungan liberalisme untuk mengutamakan keadilan dibandingkan nilai-nilai moral lainnya seperti welas-asih dan keberanian, serta mengutamakan "yang hak" (the right) dari "yang baik" (the good). Bagi Sandel, kekeliruan liberalisme itu terutama disebabkan oleh pemahaman mereka tentang manusia yang bersifat atomistik; konsep diri yang tidak mengakar dalam komunitasnya dan terpisah dari tujuan-tujuan hidupnya. Apa yang dikritik oleh Sandel dari para pemikir liberal kontemporer seperti John Rawls dan Ronald Dworkin bukan gagasan tentang keadilan itu sendiri. Bagi Sandel, keadilan adalah salah satu nilai moral yang sangat penting. Sandel juga tidak keberatan jika keadilan dinyatakan sebagai nilai moral yang paling penting dibandingkan nilai-nilai moral lainnya. Bagi Sandel, keadilan adalah bagian dari hal-hal baik (the good) yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Baginya, keadilan adalah bagian dari kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-'ammah). Apa yang dipersoalkan oleh Sandel adalah pandangan liberalisme yang menganggap keadilan memiliki status yang khusus sebagai bukan bagian dari konsepsi tentang yang baik. Bagi liberalisme, keadilan mendahului kebaikan dan tidak diturunkan dari suatu konsepsi kebaikan tertentu apapun. Bagi liberalisme, keadilan juga bukan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan lain seperti kebahagiaan, kesejahteraan dan lain-lain. Dalam liberalisme, sebagai konsepsi yang benar (the right), keadilan berdiri di hadapan berbagai konsepsi yang baik (the good): kebahagiaan, kesejahteraan, cinta, persahabatan, kepedulian, dll. Menurut Sandel, di dalam liberalisme, pengutaman keadilan di atas kebaikan didasarkan pada suatu penalaran moral yang dikenal sebagai "etika deontologi" yang bertitik-tolak dari pemikiran Immanuel Kant. Dalam hal ini, etika deontologi memilah-milah manusia ke dalam dua dimensi: Diri yang bersifat rohani atau noumenal di satu sisi, dan diri yang bersifat jasmani atau fenomenal di lain sisi. Diri noumenal itu juga disebut sebagai subyek transendental, sementara diri fenomenal juga disebut sebagai subyek empiris. Jika esensi dari diri noumenal adalah kebebasan atau kehendak bebas, diri fenomenal justru tidak sepenuhnya bebas karena dipengaruhi oleh hukum sebab-akibat yang bekerja dalam semua alam fenomenal. Dalam kerangka etika deontologi, apa yang relevan bagi moralitas adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kewajiban hukum moral. Istilah "deontologi" sendiri berasal dari kata "deon" yang berarti kewajiban. Lantas, apa itu hukum moral? Hukum moral adalah aturan-aturan (maksim) tindakan yang ditetapkan oleh diri noumenal dalam kebebasannya. Jika manusia melakukan suatu perbuatan yang semata-mata diniatkan untuk melaksanakan kewajiban hukum moral tersebut, maka tindakan-tindakannya itu memiliki makna moral. Sementara itu, jika tindakan-tindakannya bukan didasari oleh niat untuk melaksanakan kewajiban hukum moral, maka tindakan itu tidak memiliki makna moral. Sebagai contoh, ketika mengetahui ada seorang anak yang kelaparan akut karena sudah berhari-hari tidak makan, saya kemudian memberikannya makanan dan minuman sampai ia tidak merasa lapar. Orang lain yang melihat perbuatan saya itu tentu akan mengatakan bahwa saya telah melakukan tindakan yang baik. Pertanyaan adalah apakah betul saya telah melakukan tindakan yang baik secara moral? Menurut etika deontologi, jika motif saya melakukannya semata-mata untuk memenuhi kewajiban hukum moral (misalnya: menyelamatkan hidup seseorang), perbuatan saya itu memiliki nilai moral (baik secara moral). Tapi, jika motifnya adalah rasa kasihan, maka tindakan saya itu tidak memiliki nilai moral (baik secara moral). Menurut Sandel, John Rawls menjadikan etika deontologis ini sebagai landasan dalam merumuskan teori keadilannya sebagaimana tertuang dalam A Theory of Justice (1971). Secara khusus, Sandel menyoroti konsep "posisi asali" dalam teori keadilan Rawls sebagai upaya penerjemahan subyek transendental atau diri noumenal dalam etika deontologi Kant. Rawls kemudian mengembangkan etika deontologi itu untuk membangun sebuah filsafat politik. Apa yang disebut oleh Rawls sebagai prinsip-prinsip keadilan adalah upaya untuk mengatur struktur dasar masyarakat dengan titik-tolak keadilan. Dalam penilaian Sandel, Rawls memberikan pendasaran bagi prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan etika deontologi dalam konsepsi "posisi asali" yang dikemukakannya. Dalam liberalisme deontologi a la Rawls, keadilan atau konsep yang hak (the right) bertolak dari diri noumenal (orang-orang dalam posisi asali), sementara kepentingan, tujuan hidup dan semua konsepsi tentang yang baik (the good) bertolak dari diri fenomenal. Bagi Rawls, karena dihasilkan melalui musyawarah imajiner orang-orang yang ada dalam "posisi asali," dua prinsip pengaturan masyarakat yang dikemukakannya secara niscaya bersifat adil. Menurut Sandel, Rawls sebetulnya gagal memberikan pendasaran bagi teori keadilannya dengan menggunakan perangkat "posisi asali" sebagai padanan dari diri noumenal Kantian. Sebab, konsep diri yang dibayangkannya oleh Rawls dalam "posisi asali" tidak lain adalah diri yang kosong (the unencumbered self), diri yang terlepas dari kepentingan dan tujuan hidup. Di sini, Rawls tidak bisa membuktikan dengan cara yang cukup masuk akal bagaimana dua prinsip keadilan bisa muncul dari konsep diri yang kosong seperti itu. Dengan kata lain, terdapat kesemena-menaan dalam teori keadilan Rawls. Rawls tidak bisa membuktikan dengan argumentasi yang koheren bahwa keadilan dan prinsip yang benar (the right) terpisah dan mendahului konsepsi tentang yang baik (the good). read more
• February 02, 2021
MACINTYRE DAN ETIKA KEUTAMAAN
Oleh: Iqbal Hasanuddin Alasdair MacIntyre adalah seorang filsuf moral dan politik kelahiran Glasgow, Skotlandia, pada 12 Januari 1929. Di antara karya-karyanya dalam bidang filsafat moral dan filsafat politik yang banyak menarik minat para pembaca adalah After Virtue (1981) dan Whose Justice? Which Rationality (1988). Dari judul-judul bukunya itu, kita bisa menangkap sikap kritis MacIntyre terhadap liberalisme, dan bahkan modernitas secara keseluruhan. Karena sikap kritisnya terhadap liberalisme itu, MacIntyre sering dikelompokkan dengan para pemikir politik komunitarian atau komunitaris. Pikiran-pikirannya yang bersikap kritis terhadap liberalisme, modernitas dan Pencerahan sering disamakan dengan pikiran-pikiran Michael Sandel. Sementara itu, cara pandangnya dalam melihat persoalan keadilan sering disamakan dengan cara pandang Michael Walzer. Baik Sandel maupun Walzer adalah sama-sama pemikir komunitarian. Dalam After Virtue, MacIntyre menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh adanya ketidaksepakatan moral. Semangat Pencerahan dan sikap kritis terhadap tradisi di dalam modernitas telah menyebabkan sistem moral menjadi terpecah-pecah, saling bertabrakan dan tidak berkesesuaian satu sama lain. Di dalamnya, tidak ada sebuah standar untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Moralitas tidak lagi menjadi upaya untuk mencari kebenaran, melainkan sekedar adu argumentasi. Menurut MacIntyre, hal ini disebabkan oleh kegagalan masyarakat modern untuk merumuskan apa itu "manusia yang baik." Tanpa pemahaman yang tepat dan disepakati bersama ihwal konsep "manusia yang baik," bagi MacIntyre, kita mustahil untuk bisa bersepakat tentang moralitas. Dalam hal ini, kita bisa melihat keberpihakan MacIntyre kepada "etika keutamaan" yang menjadikan filsafat manusia sebagai titik-tolak bagi etika atau moralitas. Karenanya, bagi MacIntyre, masyarakat modern juga cenderung didominasi oleh pandangan yang bersifat emotivistik dan instrumental. Emotivisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kalimat etis sebetulnya sekadar mengungkap perasaan-perasaan subyektif kita, tapi tidak memiliki muatan kognitif. Karenanya, emotivisme menolak universalitas dari klaim-klaim moral. Sebagai akibatnya, filsafat moral digunakan semata-mata untuk membenarkan nalar instrumental di mana apa yang dianggap baik adalah alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Dalam keadaan yang ditandai oleh ketidaksepakatan moral tersebut, dalam ulasan MacIntyre, kita bisa memilih sikap yang ditawarkan oleh Nietzsche atau Aristoteles. Jika mengikuti Nietzsche, kita menerima nihilisme di dalam kehidupan kita di mana tidak ada lagi nilai-nilai yang patut dijadikan pegangan. Jika mencoba untuk menengok kembali kepada warisan Aristoteles, kita akan mulai merumuskan kembali apa itu manusia yang baik dan bagaimana mengembangkan tatanan sosial berdasarkan konsep manusia yang baik itu. Untuk mengatasi kegagalan etika Pencerahan yang berujung pada emotivisme, nalar instrumental dan nihilisme tersebut, MacIntyre sendiri tampaknya mengajak kita untuk kembali kepada etika keutamaan yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles. Bagi MacIntyre, etika keutamaan memiliki segala prasyarat untuk dijadikan sebuah kerangka bagi moralitas karena berpijak dari suatu konsep manusia yang baik. Istilah "keutamaan" dalam istilah "etika keutamaan" itu sendiri sebetulnya menunjukan sebuah konsep tentang hidup yang baik di mana manusia menjalani kehidupan dalam rangka mewujudkan potensi-potensi terbaik yang dimilikinya. Aristoteles sendiri membedakan antara konsep manusia yang nyata ada dan manusia yang telah mewujudkan tujuan-tujuan atau telosnya. Di sini, manusia dikatakan telah berkeutamaan jika ia telah berhasil mewujudkan atau mengoptimalkan apa yang terbaik dari dirinya. Jika itu telah terjadi, maka manusia tersebut telah sampai pada level manusia utama atau manusia yang baik. Pertanyaannya kemudian apakah manusia yang baik itu? Bagaimana Keutamaan-keutamaan bisa dicapai? Dalam hal ini, MacIntyre mengemukakan tiga hal terkait peran penting komunitas bagi pengembangan keutamaan-keutamaan sehingga manusia bisa sampai kepada tujuan atau telosnya; kegiatan bermakna, kesatuan naratif dan tradisi moral. Pertama, kegiatan bermakna. Mengikuti Aristoteles, MacIntyre mengemukakan bahwa keutamaan-keutaman tidak mencul dengan sendirinya dalam diri setiap orang. Sebaliknya, keutamaan-keutamaan hanya bisa diperoleh dalam latihan terus menerus setiap saat dalam "kegiatan bermakna." Misalnya, untuk menjadi pemain bola profesional yang handal, seseorang harus mau berlatih dengan rajin sejak dini. Untuk menjadi yang terbaik, ia harus melakukan banyak hal yang tidak dilakukan oleh orang lain. Ketika saatnya tiba, ia akan bisa mewujudkan semua potensi yang dimilikinya dan menjadi pemain bola yang baik. Tentu saja, tidak mudah untuk memilih kegiatan bermakna seperti apa yang akan kita ambil dalam hidup kita. Di antara berbagai kemungkinan yang ada, kita perlu betul-betul mencari tahu apa yang menjadi bakat atau potensi terbaik dari diri kita. Untuk mengetahui bakat terbaik dari diri kita, kita juga kadang membutuhkan eksperimen berkali-kali di dalam hidup sampai kita betul-betul yakin bahwa itulah pilihan terbaik untuk kemudian dikembangkan dan menjadi pilihan hidup. Tidak sedikit juga orang yang sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan pilihan kegiatan bermakna. Akibatnya, hidupnya menjadi kurang berarti. Kedua, kesatuan naratif. Menurut MacIntyre, upaya untuk menjadi manusia yang baik adalah pencarian tidak akhir sampai akhir hayat. Misalnya, dulu saya menanggap bahwa menjadi pemain bola profesional adalah cita-cita hidup yang wajib untuk dicapai. Namun demikian, setelah berlatih keras, saya menyadari bahwa kemampuan bermain bola saya ternyata biasa-biasa saja. Karenanya, saya kembali berpikir hal lain untuk dijadikan sebagai panggilan hidup. MacIntyre menyebut upaya menemukan tujuan kita yang bersifat final sebagai kesatuan naratif dalam hidup seseorang. Dalam hal ini, bagi seorang manusia, kehidupan yang baik merupakan cerita atau narasi untuk mencapai apa yang berarti dan menjadi tujuan hidup. Sebagai telah dijelaskan di atas, tujuan final itu hanya bisa dicapai setelah kita melewati berbagai hambatan dan tantangan. Ketiga, tradisi moral. Menurut MacIntyre, keutamaan seseorang bisa diperoleh dalam keterlibatannya di dalam kehidupan komunitas karena keberadaan tradisi moral di dalamnya. Diakui atau tidak, manusia selalu menjadi bagian dari sebuah komunitas, baik itu keluarga, suku, bangsa, dan lainnya. Di dalamnya, kita sudah mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan harapan-harapan kita. Karenanya, narasi individu untuk mencapai tujuan finalnya di dalam hidup juga tidak bisa dilepaskan dari narasi atau tradisi moral komunitasnya. Pada titik ini, sebagaimana Aristoteles dan para pemikir komunitarian lainnya, MacIntyre tampaknya mendukung gagasan politik kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-'ammah). Bagi MacIntyre, kehidupan sosial tidak lain adalah dimensi praxis manusia dalam rangka mencapai keutamaan-keutamaan. Tentu, lagi-lagi, konsepsi tentang masyarakat yang baik juga bertitik-tolak dari pandangan tentang manusia yang baik, manusia paripurna, manusia yang telah mencapai keutamaan-keutamaannya. read more
• February 02, 2021
Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila
Oleh: Iqbal Hasanuddin Dalam Pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK, Sukarno menyatakan bahwa “Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Dari pernyataan Sukarno tersebut, kita melihat bahwa sila Ketuhanan YME dalam Pancasila merupakan bagian dari weltanschauung politis tentang bagaimana menjalankan kehidupan bersama yang beradab dan kerkebudayaan di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistis dari segi agama/keyakinan; Ketuhanan YME dalam Pancasila bukan weltanschauung religius tentang keselamatan/pembebasan. Sementara itu, Mohammad Hatta (1956) menyatakan bahwa “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.” Dari pernyataan Hatta ini, kita melihat Ketuhanan YME dipandang sebagai postulat bagi moralitas politik agar penyelenggaraan negara diarahkan kebaikan bersama. Karena Tuhan YME dipahami sebagai “kebaikan tertinggi” (summum bonum), maka negara Indonesia juga dipahami sebagai “perkakas” untuk menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) bagi seluruh warga negara: segala yang benar, adil dan baik. Dalam hal ini, kita perlu membedakan antara weltanschauung politis yang terkandung di dalam Pancasila di satu sisi, dan weltanschauung religius yang menjadi inti dari ajaran agama-agama di lain sisi. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila adalah falsafah kenegaraan yang berfokus pada dimensi sosial manusia, yaitu: Menjalankan kehidupan politis untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune). Sementara itu, weltaschauung religius dalam berbagai ajaran, tradisi, dan komunitas agama berfokus pada dimensi spiritual manusia, yaitu: Jalan untuk mencapai keselamatan/pembebasan. Sepanjang Pancasila menjadi weltaschauung politis dan agama-agama tetap menjadi weltaschauung religius, tidak akan ada konflik atau pertentanga antara agama dan Pancasila, serta antara agama dan negara yang berlandaskan Pancasila. Persoalan kemudian akan muncul ketika agama diubah menjadi weltaschauung politis sehingga tampil dalam bentuk aspirasi negara-agama (teokrasi). Sebab, paham negara-agama akan bersaing dengan Pancasila sebagai sama-sama weltaschauung politis. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila tidak akan pernah mendukung paham negara-agama atau negara yang anti-agama. Jika Indonesia diubah menjadi sebuah negara-agama (misalnya: negara Islam), maka Pancasila telah kehilangan posisinya sebagai falsafah dasar kenegaraan. Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tidak akan pernah tampil dalam dua wujud ekstrim: negara-agama atau negara yang anti-agama. Karenanya, Indonesia yang berlandaskan Pancasila tidak anti-agama, bukan negara-agama, tapi sebuah negara yang ramah terhadap agama-agama, negara yang menghormati kebebasan beragama/berkeyakinan warga negaranya. Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tampil dalam bentuk menara-kembar toleransi (twin tolerations). Seperti dua menara yang berdiri sama tinggi, negara dan komunitas-komunitas agama tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Lembaga negara dan lembaga agama saling menghormati otonomi masing-masing. Keduanya mengembangkan sikap toleran satu sama lain. Dalam rumusan ilmuwan politi Amerika Serikat, Alfred Stepan (2001), istilah “menara-kembar” agama dan negara berarti: kelompok-kelompok agama tidak boleh menghalangi kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan kebijakan. Sebaliknya, negara juga tidak boleh menghalangi komunitas-komunitas agama untuk menjalankan ajaran-ajaran/tradisi keagamaan mereka.” Sebagai konsekuensi logis dari gagasan “menara-kembar toleransi”, negara yang berlandaskan falsafah Pancasila secara niscaya mendukung prinsip kebebasan beragama/berkeyakinan. Sebab, dengan tidak ikut campur dalam masalah agama/keyakinan, negara memberikan kebebasan sepenuhnya kepada warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama/keyakinan yang dipercayainya. read more
• February 02, 2021
Filsafat Pancasila
by: Iqbal Hasanuddin Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Hal ini mengacu kepada kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag. Belakangan, kelima poin pemikiran filosofis itu disebut sebagai dasar negara di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) yang disepakati pada 18 Agustus 1945. Apakah sebetulnya makna dari ungkapan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag? Apa yang dimaksud dengan falsafah kenegaraan Pancasila? Apakah dengan demikian Pancasila layak disebut sebagai suatu filsafat politik? Secara lebih umum, dapatkah kita berbicara tentang filsafat Pancasila? Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ulasan tentang filsafat Pancasila, atau jawaban atas pertanyaan dalam pengertian seperti apa Pancasila itu layak disebut wacana filsafat. Bagian kedua berfokus pada pembahasan Pancasila sebagai filsafat politik, meskipun bahan dasarnya berasal dari dunia-kehidupan dan pandangan-dunia non-politis. Bagian ketiga mengulas pengertian Pancasila sebagai philosophische grondslag atau dasar falsafi kenegaraan. Pancasila sebagai Wacana Filosofis Apakah Pancasila adalah suatu filsafat? Jika kita hendak menempatkan Pancasila dalam kerangka filsafat, kita perlu menjadikan Pancasila sebagai sebuah diskursus yang bersifat rasional. Artinya, kita tidak menempatkan Pancasila sebagai dogma yang diterima begitu saja, melainkan mengulasnya melalui proses refleksi. Di sini, Pancasila bukan kepercayaan yang tak boleh dibantah atau dipertanyakan, tapi justru merupakan wacana yang bersifat terbuka, dialogis dan kritis. Selain itu, perspektif filosofis dalam membaca Pancasila juga menuntut kita untuk berfokus pada aspek-aspek yang paling mendasar dari Pancasila, bukan aspek-aspeknya yang bersifat artifisial. Misalnya, jika dikatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, maka kita akan mengarahkan telaah hanya pada wilayah moralitas politik, bukan moralitas individual warga negara, bukan pula pada soal sopan-santun perilaku manusia. Di sini, kita tidak akan berbicara tentang cara duduk atau makan yang Pancasilais, melainkan tentang bagaimana kekuasaan negara sejatinya dikelola. Dengan pengertian filsafat sebagai diskursus yang bersifat rasional dan mendasar tersebut, lima rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 memang cukup layak untuk disebut sebagai wacana filosofis. Sebab, lima rumusan pemikiran Sukarno itu dikemukakan dengan didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional. Karenanya, kelima rumusan Sukarno itu cukup terbuka untuk didiskusikan dan ditanggapi secara kritis. Selain itu, rumusan pemikiran yang dikemukakan Sukarno tersebut juga menyangkut suatu masalah yang sangat mendasar, yaitu: dasar negara. Jika Pancasila itu adalah diskursus rasional tentang landasan kehidupan bernegara, persoalannya kemudian adalah dari mana datangnya masing-masing sila dari Pancasila tersebut? Apakah kelima sila itu diturunkan dari premis-premis lain yang lebih tinggi melalui penalaran yang bersifat deduktif? Atau, kelima sila itu merupakan hasil abstraksi dari pengalaman atau sejarah kongkret melalui penalaran yang bersifat induktif? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait dengan metode filsafat yang dipakai untuk merumuskan Pancasila. Berdasarkan pengakuan Sukarno, kelima sila dari Pancasila tersebut digali dari lapisan-lapisan kepribadian bangsa. Adapun lapisan-lapisan itu terbentuk dalam waktu di sepanjang perjalanan sejarah para penduduk yang tinggal di kepulauan Nusantara, dari masa yang paling purba hingga masa paling akhir. Bagi Sukarno, kelima sila itu memang telah lama ada dalam berbagai pandangan hidup masyarakat. Karenanya, apa yang perlu dilakukan oleh Sukarno adalah tinggal menggalinya, bukan menciptakannya. Dalam istilah yang bersifat teknis, upaya penggalian yang dilakukan oleh Sukarno adalah sebuah proses untuk membuat eksplisit hal-hal yang sebelumnya bersifat implisit melalui refleksi filosofis. Hal-hal implisit di sini terdiri dari lingkungan hidup, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, cara pandang dan lain sebagainya. Kemudian, hal-hal implisit itu dirumuskan, ditematisasi, dan diteoritisasi menjadi rumusan falsafi yang bersifat eksplisit. Karena bahan-bahan dasar yang diabstraksikan bukan kenyataan-kenyataan alamiah seperti elemen-elemen, mineral, tumbuhan, hewan dan manusia sebagai realitas fisik, melainkan bentuk-bentuk laku hidup manusia, maka hasil dari proses abstraksi itu adalah norma-norma kehidupan. Dengan kata lain, refleksi filosofis yang dilakukan oleh Sukarno adalah menyangkut dimensi praxis, bukan theoria. Karenanya, sebagai wacana filosofis, Pancasila termasuk kategori filsafat praktis (etika), bukan filsafat teoritis (ilmu). Filsafat Politik Pancasila Meskipun berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) dan pandangan-dunia (weltanschauung) yang bersifat implisit dan dibuat eksplisit menjadi norma-norma kehidupan melalui refleksi filosofis, kelima sila dalam Pancasila itu sudah menjadi diskursus rasional tentang dimensi politis dari kehidupan bersama bangsa Indonesia. Karenanya, meski berasal dari pandangan kebudayaan, etnisitas, agama, dan lain-lain, Pancasila telah melampaui pandangan-pandangan privat itu dan menjadi sebuah filsafat politik atau falsafah Kenegaraan. Intinya, Pancasila bukan lagi wacana keagamaan atau kebudayaan, melainkan wacana politis. Dalam konteks ini, ketika Sukarno menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah weltanschauung, apa yang dimaksudkannya itu bukan lagi pandangan-dunia relijius atau etno-kultural, melainkan weltanschauung yang bersifat politis, yang sepadan dengan istilah filsafat politik atau philosophische grondslag. Jika pandang-dunia religius atau etno-kultural biasanya diterimanya secara taken for granted oleh anggota-anggota komunitas yang bersangkutan, weltanschauung politis justru bisa didiskusikan oleh siapa saja yang menjadi bagian dari warga komunitas politis itu. Karenanya, Sukarno tidak merasa keberatan jika Pancasila 1 Juni yang dirumuskannya kemudian diperdebatkan melalui deliberasi publik dalam BPUPK dan PPKI. Misalnya, meskipun mungkin berasal dari pandangan-dunia relijius tertentu, sila Ketuhanan dalam Pancasila adalah bagian dari konstruksi filsafat politik, bukan wacana agama. Dalam wacana keagamaan, Tuhan dipahami sebagai jalan dan sumber keselamatan. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila tidak ada hubungannya sama sekali dengan jalan keselamatan. Dalam Pancasila, sila Ketuhanan bermakna pengakuan negara terhadap eksistensi berbagai tradisi agama, kepercayaan dan spiritualitas di Indonesia. Karenanya, dalam kerangka Pancasila sebagai filsafat politik, keberadaan sila Ketuhanan tidak lantas membuat Indonesia serta-merta menjadi sebuah negara agama atau negara teokratis. Dalam negara agama (teokrasi), negara menjadi pelayan bagi ajaran atau komunitas agama tertentu. Atau, sebaliknya, otoritas agama menjadi pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila hanya menunjukkan bahwa negara tidak memusuhi agama, kepercayaan atau tradisi spiritualitas. Sebaliknya, dimensi publik agama diterjemahkan ke dalam keutamaan-keutamaan publik melalui negara. Contoh lain adalah tentang musyawarah atau mufakat. Praktik musyawarah bisa jadi sudah menjadi tradisi hidup dalam bentuk urun-rembuk di dalam berbagai komunitas desa, adat dan suku yang ada dalam masyarakat Nusantara. Atau, musyawarah juga bisa saja merupakan ajaran yang terkandung dalam tradisi keagamaan tertentu yang ada di negeri ini. Namun demikian, sila musyawarah atau mufakat dalam Pancasila tidak sama persis dengan praktik dan ajaran tentang musyawarah dalam dunia-kehidupan atau pandangan-dunia komunitas religius atau etno-kultural yang bersangkutan. Sebab, musyawarah atau mufakat dalam Pancasila adalah hasil abstraksi dari semua itu dan telah menjadi filsafat politik atau falsafah kenegaraan. Dalam kerangka filsafat politik, sila musyawarah atau mufakat bertitik-tolak dari nilai kesetaraan antar-individu sebagai warga negara. Prinsip kesetaraan antar-individu inilah yang besar kemungkinan tidak ada dalam praktek urun-rembuk pada masyarakat tradisional atau praktek konsultasi dalam tradisi agama tertentu. Sebab, urun-rembuk atau konsultasi dalam komunitas etno-kultural atau relijius biasanya tetap mengandaikan adanya hirarki sosial yang menjadi dasar pembentuk komunitas tersebut. Karenanya, kesetaraan dalam musyawarah menjadi pembeda dalam filsafat politik Pancasila. Pada intinya, sebagai filsafat politik, Pancasila memiliki karakter publik. Karakter publik ini tidak ada pada berbagai ajaran, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, nilai-nilai atau cara pandang yang termasuk kategori dunia-kehidupan atau pandangan-dunia dalam komunitas religius atau komunitas etno-kultural tertentu. Karakter publik yang melekat pada Pancasila ini juga yang membuat sila-sila dalam Pancasila bisa disebut sebagai keutamaan-keutamaan publik (public virtues). Pancasila Sebagai Philosophiesche Grondslag Sebagai catatan penutup, saya ingin kembali kepada ungkapan Sukarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag. Berdasarkan ulasan di atas, kita bisa memahami dengan baik apa maksud yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, yaitu: Pancasila adalah filsafat politik. Dengan kata lain, Pancasila adalah diskursus rasional tentang dasar-dasar kehidupan politis bangsa Indonesia. Di sini, Sukarno sangat mengerti perbedaan antara dimensi kehidupan politis dan dimensi kehidupan non-politis bangsa Indonesia. Sebagai philosophische grondslag, Pancasila mengikat dan menentukan pada bagaimana kekuasaan negara dijalankan dan dikelola. Siapapun nanti yang memegang kursi kekuasaan, ia tidak akan diperkenankan untuk melewati batasan minimal, yaitu: lima sila dalam Pancasila. Jika ada salah satu sila saja yang tidak diindahkan oleh seorang penguasa di Indonesia, maka ia telah menghancurkan bangunan politis bangsa ini. Karenanya, Sukarno juga menyebut Pancasila dengan istilah meja statis. Bagaimana dengan kebiasaan, ajaran, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya yang ada dalam dunia-kehidupan dan pandangan-dunia yang bersifat non-politis? Apakah itu semua masih bisa berjalan seperti biasa meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara? Jawabannya: tentu saja bisa. Dalam kegiatan sehari-hari, kita tidak perlu repot-repot memikirkan cara berjalan kaki atau cara berpakaian yang bersifat Pancasilais. Kita bisa mengikuti norma-norma non-politis untuk menjadi panduan kehidupan kita, baik yang berasal dari ajaran agama, nilai-nilai etno-kultural atau ajaran-ajaran moral yang bersifat filosofis. Sebab, Pancasila itu adalah falsafah kenegaraan, bukan etiket atau aturan sopan-santun yang mengatur urusan-urusan privat dan perilaku individual. read more
• February 02, 2021
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Landasan Kebebasan Beragama di Indonesia
by: Heru Widoyo Indonesia merupakan negara yang sangat melekat dengan kata “keberagaman” yang disebabkan wilayah Indonesia yang sangat beragam dan memiliki berbagai pulau. Tentunya keberagaman tersebut menghasilkan banyak perbedaan atau keberagaman; agama menjadi salah satunya. Kebebasan beragama dalam perspektif Pancasila sendiri merupakan hal yang sangat jelas. Pancasila sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentunya telah mengidentifikasi pluralisme agama di Indonesia. Dalam sila pertama, kita dapat mengetahui bahwa setiap orang berhak memiliki kepercayaan dan Tuhannya masing-masing dengan menghormati satu sama lain dan juga mendapatkan perlakuan yang setara. Pancasila sendiri merupakan dasar negara yang perlu diikuti dan juga diimplementasikan oleh bangsa Indonesia. Kebebasan dalam beragama itu sendiri termasuk dalam HAM dan peraturan pun sudah dikeluarkan berdasarkan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945 yang berisi mengenai hak untuk beragama itu termasuk dalam hak asasi manusia; juga pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengenai negara yang menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk memeluk agama yang di percaya. Keberagaman di Indonesia sendiri sudah tercantum dalam beberapa poin di Pancasila, seperti pada sila ketiga yaitu “Persatuan Indonesia” yang dapat kita ketahui keberagaman yang ada di Indonesia menjadikan kita agar terus bersatu lalu lebih spesifiknya di sila pertama mengenai ketuhanan yang di dukung oleh sila kedua mengenai negara yang adil dan beradab. Tentunya dalam menjadi bangsa Indonesia kita perlu mengetahui bahwa semua masyarakat adalah setara dan perlu diperlakukan dengan adil. Pancasila dijadikan sebagai pemersatu bangsa Indonesia atau sebagai filsafat serta pikiran yang mendalam menurut Soekarno yang disebut folosofische grondslag. Kita dapat mengetahui dengan jelas dalam sila pertama Pancasila bahwa kebebasan beragama dilindungi oleh beberapa peraturan serta termasuk dalam HAM. Hal tersebut berguna mengurangi dampak buruk yang bisa saja terjadi jika kita tidak dapat menghormati satu sama lain. Contohnya arogansi sebuah oknum yang merasa lebih baik dari yang lain tentunya dapat menyebabkan berbagai macam konflik, seperti truth claims hingga perang antar daerah yang mungkin terjadi. Hal ini tentunya dapat teratasi jika masyarakat sudah dengan benar memahami dan dapat melakukan pengimplementasian nilai – nilai pancasila terutama sila pertama terkait keberagaman agama dan kebebasan untuk memilikinya. read more
• February 02, 2021
Pendidikan Karakter berbasis Pancasila
Nama : Paramita Retno Utam NIM : 2401968021 implementasi kebijakan pembangunan bidang sumber daya manusia di Indonesia sudah berjalan dengan cukup baik, contohnya dengan pengadaan beberapa kebijakan dan bantuan pemerintah kepada masyarakat yang belum mampu melangsungkan kepentingan pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, di lain hal, pembangunan di bidang SDM ini masih memiliki beberapa kekurangan seperti belum meratanya akses pendidikan ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Pernyataan tersebut juga ditunjang oleh laporan Human Development Report tahun 2019, IPM Indonesia memiliki peringkat kualitas hidup ke-111 dari 189 negara menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan PBB. IPM sendiri merupakan ukuran standar yang telah ditetapkan oleh United Nations dengan tujuan supaya capaian pembangunan sumber daya manusia dapat dibandingkan. IPM terdiri dari 3 (tiga) indikator utama yang meliputi dimensi kesehatan seperti ukuran angka harapan hidup, dimensi pendidikan seperti ratarata lama sekolah, dan dimensi ekonomi sebagai ukuran hidup layak. Dengan masih tergolong rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan kompetisi dan survival dikaitkan dengan tantangan dan dinamika global (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). Salah satu contoh yang menyebabkan persoalan tersebut adalah ketika implementasi dari nilai Pancasila sebagai pendidikan karakter sekaligus parameter kualitas SDM tidak ada dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukti dengan lemahnya pemahaman nilai Pancasila pada tiap individu sehingga melahirkan generasi yang rentan akan SARA, lemahnya teladan diri yang berujung pada korupsi, serta kebebasan berekspresi tanpa etika dan aturan. Dalam hal ini, pendidikan karakter dalam membentuk kepribadian peserta didik sangat penting adanya. Dengan adanya pendidikan karakter, peserta didik dapat mempelajari dan memahami bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat mereka dan merefleksikan karakter yang baik dalam setiap sikap dan aktivitasnya. Menurut Abidin (2012) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Sehingga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya pada pendidikan karakter, nilai nilai Pancasila hendaknya diresapi dan diimplementasikan secara nyata. Setiap sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan modal dasar pendidikan karakter. Nilai-nilai yang dapat diambil dari Pancasila untuk menguatkan pendidikan karakter adalah: Pada sila ke-1 ada nilai toleransi beragama dalam pendidikan karakter peserta didik Pada sila ke-2 yaitu nilai memahami dan menghargai sesama manusia sehingga membentuk karakter yang beradab Pada sila ke-3 dapat memahami nilai persatuan dan cinta tanah air sehingga pendidikan selalu mengutamakan keragaman budaya di Indonesia Pada sila ke-4 menjadi nilai penting untuk memahami kehidupan demokrasi yang sesuai dengan hati nurani, serta adanya keharusan taat pada hukum sehingga menjadi pribadi yang disiplin Pada sila ke-5 mengandung nilai memperjuangkan kepentingan bersama dalam kehidupan bersosialisasi, sehingga keadilan sosial selalu ada dalam kehidupan sehari-hari Kemudian, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM juga harus bersumber pada nilai Pancasila, sehingga nantinya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia sudah hilang adanya dan output dari kebijakan pemerintah bidang SDM dapat terlaksana dengan maksimal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut dapat dicapai dengan adanya bantuan dan dukungan dari pemerintah seperti adanya kemajuan dalam bidang teknologi, industri sehingga menghasilkan kecerdasan, kreativitas, dan inovasi dari sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ke-lima sila Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. Di era modern saat ini, Pancasila tetap harus menjadi pedoman utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila nilai-nilai tersebut diterapkan oleh seluruh elemen bangsa maka dapat menyelamatkan bangsa dari konflik serta membangun karakter kuat yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia. Kemudian, dengan adanya sinergi antara kebijakan pemerintah dan implementasi pendidikan karakter bersumber pada nilai Pancasila, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat ditingkatkan sekaligus taraf hidup masyarakat Indonesia yang lebih baik. References: Abidin, Yunus. 2012. Model Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Beroreintasi Pendidikan Karakter. Jurnal. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia Poespowardojo, S dan Hardjatno, N. J. M. T. 2010. Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Dalam Modul 1. Sub Bidang Studi Pancasila dan Perkembangannya. Pokja Ideologi. Lemhannas, Jakarta United Nations Development Programme. 2019. Human Development Report 2019. New York, USA read more
• January 08, 2021
Pembangunan di bidang sumber daya manusia mengacu pada topik “Pendidikan Karakter Berbasiskan Pancasila”
NAMA: LUH PUTU RIKA WIDIANDARI NIM: 2440087265 Suatu bangsa harus memilki karakter yang kuat untuk terus mempertahankan eksistensinya, terutama dalam persaingan kuat di era globalisasi saat ini. Banyak sekali paham-paham baru di era saat ini, karena semua informasi bebas masuk ke Indonesia. Semua kalangan dari anak kecil sampai dewasa dengan mudahnya bisa mendapatkan begitu banyak informasi dari dunia maya melalui jejaring Internet. Tentunya seluruh informasi yang ada di internet beraneka ragam, ada yang sifatnya positif dan ada yang sifatnya negatif. Di sinilah perlu adanya filterisasi terhadap seluruh informasi yang masuk. Karakter Berbasis Pancasila Karakter yang kuat adalah salah satu alat filterisasi di jaman globalisasi. Sulistyarini dalam pembahasannya mengenai Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila menjelaskan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtue) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri dari sejumlah nilai, moral, dan norma. Pengembangan Karakter Bangsa dapat dimulai dari pengembangan individu, yang dilakukan dalam lingkungan sosial budaya bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara yang didalmnya terdapat nilai-nilai luhur bangsa. Sudah sepantasnya pancasila menjadi patokan dalam pengembangan karakter bangsa. Namun realita di lapangan memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dari apa yang diharapkan tentang pendidikan karakter berbasis Pancasila. Diakui oleh banyak pihak bahwa saat ini terjadi degradasi nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan karakter bangsa. Menurut pandangan Pemerintah Republik Indonesia (2010:16-19) dewasa ini terdapat enam permasalahan yang dihadapu bangsa, yaitu : Disorientasi dan belum dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi Bangsa. Keterbatasam Perangkat Kebijakan Terpadu dalam mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Memudarnya kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa Ancaman Disintegritas Bangsa Melemahnya Kemandirian Bangsa Terdapat banyak sekali kasus di masyarakat yang menunjukkan 6 hal disorientasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Dikutip dari media online merdeka.com (10 Februari 2019), terdapat sebuah berita yang menerangkan adanya siswa yang berani menantang Guru Honorer dikarekan ditegur saat merokok. Kasus itu berawal dari saat dirinya hendak mengajar di kelas namun mendapati ada siswanya yang tidak ada di ruang kelas. Kemudian guru honorer mencari siswa tersebut, dan mendapatinya sedang berada di sebuah warung koi yang tidak jauh dari sekolah. Ketika sang guru menegur siswanya, siswa tersebut kemudian berbalik marah dan mengancam gurunya. Dari kasus tersebut terlihat bahwa nilai-nilai sopan santun yang mendasari karakter siswa tersebut sudah mengalami degradasi karena tidak lagi mau menghormati guru yang berusaha mendidiknya. Ancaman degradasi karakter bangsa ini tentunya perlu menjadi perhatian bersama pemerintah dan masyarakat. Karena bagiamanapun juga pembangunan SDM harus saling mendukung dari pendidikan formal dan non formal. Tak bisa dipungkiri Pemerintah saat ini juga sudah berjuang dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, salah satunya dengan menekankan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD sampai jenjang perguruan tinggi. Ditambah lagi saat ini dimasa pandemi covid 19, ini tantangan pemerintah dan seluruh masyarakat dalam pendidikan karakter bangsa ini tentunya akan semakin berat. Dengan dilakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh saat kolaborasi antara orang tua dan anak dalam belajar adalah menjadi penentu keberhasilan studi. Mnurut Kemendikbud (Kompas.com) pendidikan life skill seperti membantu orang tua membersihkan rumah, memasak, dan berkebun saat ini juga sudah menjadi salah satu tugas pokok di rumah untuk anak di jenjang SD yang dapat menunjang karakter anak. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat begitu eratnya peran orang tua, lingkungan sosial dan masyarakat dalam pembentukan karakter bangsa. Sehingga perlu adanya kolaborasi satu sama lain. Karena program pembinaan karakter yang telah dibuat pemerintah tidak akan bisa suskes tanpa kolaborasi seluruh segmen masyarakat. Apabila karakter yang kuat telah terbentuk maka wawasan dan kesadaran bernegara, perilaku cinta tanah air,dan ketahanan bangsa akan terjaga dalam menghadapi arus globalisasi saat ini. Reference: Universitas Tanjung Pura. Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila com (06/05/2020). Kemendikbud Jelaskan Bentuk Pendidikan Karakter Selama Belajar di Rumah : https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/06/150000371/kemendikbud-jelaskan-bentuk-pendidikan-karakter-selama-belajar-di-rumah?page=all diakses 13/09/2020 com (10/02/2019. Kronologi Lengkap Kasus Siswa Tantang Guru Honorer karena Ditegur Saat Merokok: https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-lengkap-kasus-siswa-tantang-guru-honorer-karena-ditegur-saat-merokok.html diakses 13/09/2020 read more
• January 08, 2021
Kriminalitas dan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
Kristan, S.E., M.Ag (D6325) Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” bukan saja sebagian bagian dari dasar filsafat negara, melainkan pada waktu yang bersamaan juga harus dijadikan rujukan dan pedoman dalam menuntun perilaku semua warga negara dalam berurusan dengan segala situasi. Tragedi-tragedi kasus kejahatan di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, terutama karena proses penegakan hukum di Indonesia yang lemah. Bahkan, tidak mustahil ada di antara aparat penegak hukum yang bermain mata dengan para pelaku kejahatan itu. Akibatnya, Indonesia yang sudah ber-Pancasila ini masih saja oleng dan labil secara moral, sehingga keadilan dan keadaban publik sering menghilang ditelan oleh ketidaksungguhan kita mengamalkan Pancasila, khususnya disini dalam bentuk penegakan hukum yang adil. Masalah ini sangat mendasar yang wajib segera dituntaskan jika ingin mempunyai masa depan yang lebih adil dan beradab dan tidak ingin intensitas dan frekuensi tindakan kejahatan semakin bertambah. Secara alami, selain memiliki relasi dengan Tuhannya, manusia juga memiliki relasi dengan sesama. Relasi dengan sesama manusia ini dapat dijelaskan via negative atau dengan makna negatif. Yang pertama, bukan materialisme, sebagai manusia yang hidup dengan berkemanusiaan yang beradab seharusnya tidak melihat manusia lain sebagai objek. Hal ini dapat diaplikasikan pada kasus pemerkosaan. Beberapa manusia yang tidak beradab seringkali melihat manusia lain sebagai objek pemuas nafsu, bukannya sebagai subjek yaitu manusia sesamanya yang tidak hanya memiliki raga tapi juga jiwa. Relasi etis yang dijelaskan dengan via negative yang kedua adalah bukan pragmatisme, sebagai manusia yang hidup dengan berkemanusiaan yang beradab seharusnya tidak melihat manusia dari manfaat atau kegunaannya. Tentu setiap manusia bermanfaat dalam hidupnya bagi orang-orang di sekitarnya, tapi tidak menjadi beradab jika sikap yang diambil adalah mengambil manfaat manusia tersebut yang akhirnya menimbulkan kerugian. Yang ketiga, bukan spiritualisme, hal ini dapat diaplikasikan bagi pihak berwajib dan pemuka agama. Dalam menghadapi permasalahan pelecehan, perampokan, maupun pemerkosaan, pihak berwajib dan pemuka agama tidak boleh bertindak otoriter dan tidak demokratis dalam mengambil keputusan hanya karena merasa perwujudan dari Yang Kuasa. Setiap korban yang harus diberikan rasa aman, sedangkan setiap tersangka harus mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga relasi etis yang dijelaskan via negative tersebut, sebenarnya dapat dijabarkan perilaku-perilaku yang harus dilakukan masyarakat, penegak hukum, maupun pemuka agama untuk menciptakan hidup yang lebih adil dan beradab. Sehingga dapat menurunkan intensitas dan frekuensi tindak kejahatan. Berikut contoh perilaku-perilaku yang harus dilakukan masyarakat, penegak hukum, maupun pemuka agama untuk menciptakan hidup yang lebih adil dan beradab: Masyarakat Mengakui adanya kesamaan hak maupun kewajiban antar sesama manusia. seperti halnya mengakui adanya persamaan derajat di mata hukum. Tidak berbuat semena-mena terhadap orang lain. Hal yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya yaitu akal budi. Sebagai manusia yang berakal budi dan beradab kita harus memanusiakan manusia. Menghormati dan menghargai perbedaan serta bertindak secara adil tanpa memandang ras, suku, agama, dan status sosial. Saling berempati, mengasihi, menyayangi satu dengan yang lain bahkan dengan lingkungan sekitarnya. Tenggang rasa, mampu memberikan dorongan dalam memunculkan sikap tenggang rasa dalam setiap hubungan sosial yang seseorang lakukan dalam kelompok masyarakat. Penegak Hukum Membangun Hukum Indonesia berkarakter. Hukum yang bermoral, hukum yang senantiasa menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia secara konkrit yang berarti menjamin segi-segi manusia/ menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Menjaga integritas dengan legitimasi moral dan legitimasi sosial. Tidak adanya perlakuan hukum yang diskriminatif antara mereka yang berkuasa dan berharta dengan mereka yang tak berkuasa dan tak berharta. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Hal ini berarti yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan dan peradaban yang tidak pasif. Perlu pelurusan dan penegakan hukum yang kuat jika terjadi penyimpangan, karena keadilan harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pemuka Agama Menghormati dan menghargai terhadap umat beragama lainnya. Dengan tidak merendahkan / menjelek-jelekkan terhadap agama lain. Menghargai hak antar umat agama lain. Seperti halnya menghargai hak setiap orang berhak beribadah sesuai keyakinannya atau keimanannya, membangun tempat beribadah, dll. Memberikan arahan serta contoh yang baik kepada pengikut atau umatnya agar menjalankan norma-norma agama yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Apabila seluruh lini masyarakat baik itu masyarakat, penegak hukum atau pemerintah, dan penegak agama dapat mengimplementasikan perilaku-perilaku yang sesuai dengan sila kedua di atas memungkinkan berbagai perilaku penyimpangan nilai-nilai pancasila dapat dengan perlahan diatasi. Selain dari faktor-faktor penyebab kasus kejahatan yang telah kami deskripsikan sebelumnya, terdapat hal utama yang menjadi inti permasalahannya. Menurut analisis kami, maraknya kasus kejahatan di Jakarta bahkan di Indonesia yaitu berasal melalui keinginan/hasrat keliru akibat sikap egois dari diri sendiri. Tidaklah cukup apabila hanya tanggung jawab dari institusi pendidikan, penegak hukum, agama maupun pemerintah saja, tetapi kesadaran dari masing-masing individu lah yang menjadi kunci utamanya. Setiap individu hendaknya mengintropeksi diri apakah sudah mempraktekkan nilai-nilai pancasila terutama dalam berperilaku adil dan bermartabat kepada semua orang yang didukung oleh perbuatan yang nyata. Dengan keikutsertaan masyarakat, kerjasama seluruh pihak dan yang terpenting mulai dari kesadaran masing-masing untuk mengatasi permasalahan ini, memungkinkan penurunan jumlah kasus kejahatan di Jakarta bahkan seluruh Indonesia demi menciptakan lingkungan yang aman, damai dan berkeadilan yang menjadi cerminan utama sifat-sifat luhur bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Lecture Notes Character Building Pancasila Week 5: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Maarif, Ahmad Syafii. 2018. Sila Kedua Pancasila Sedang Mati Suri. https://republika.co.id/berita/pj6mat440/sila-kedua-pancasila-sedang-mati-suri (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 18.42 WIB) Mansyur, M Ali. 2014. Membangun Hukum Indonesia yang Berkarakter. http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/PH/article/view/1486 http://pulausumbawanews.net/index.php/2019/12/27/opini-hukum-tumpul-ke-atas-runcing-ke-bawah-adilkah/ (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 21.05 WIB) https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/2/T2_322015024_BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 21.30 WIB) read more
• January 08, 2021