Bagian ini khusus membahas pandangan-pandangan berupa tulisan baik dari dosen maupun mahasiswa atau masyarakat umum berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang terdapat di dalam Pancasila sebagai dasar dan filosofi kebangsaan Negara Indonesia.
MACINTYRE DAN ETIKA KEUTAMAAN
Oleh: Iqbal Hasanuddin Alasdair MacIntyre adalah seorang filsuf moral dan politik kelahiran Glasgow, Skotlandia, pada 12 Januari 1929. Di antara karya-karyanya dalam bidang filsafat moral dan filsafat politik yang banyak menarik minat para pembaca adalah After Virtue (1981) dan Whose Justice? Which Rationality (1988). Dari judul-judul bukunya itu, kita bisa menangkap sikap kritis MacIntyre terhadap liberalisme, dan bahkan modernitas secara keseluruhan. Karena sikap kritisnya terhadap liberalisme itu, MacIntyre sering dikelompokkan dengan para pemikir politik komunitarian atau komunitaris. Pikiran-pikirannya yang bersikap kritis terhadap liberalisme, modernitas dan Pencerahan sering disamakan dengan pikiran-pikiran Michael Sandel. Sementara itu, cara pandangnya dalam melihat persoalan keadilan sering disamakan dengan cara pandang Michael Walzer. Baik Sandel maupun Walzer adalah sama-sama pemikir komunitarian. Dalam After Virtue, MacIntyre menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh adanya ketidaksepakatan moral. Semangat Pencerahan dan sikap kritis terhadap tradisi di dalam modernitas telah menyebabkan sistem moral menjadi terpecah-pecah, saling bertabrakan dan tidak berkesesuaian satu sama lain. Di dalamnya, tidak ada sebuah standar untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Moralitas tidak lagi menjadi upaya untuk mencari kebenaran, melainkan sekedar adu argumentasi. Menurut MacIntyre, hal ini disebabkan oleh kegagalan masyarakat modern untuk merumuskan apa itu "manusia yang baik." Tanpa pemahaman yang tepat dan disepakati bersama ihwal konsep "manusia yang baik," bagi MacIntyre, kita mustahil untuk bisa bersepakat tentang moralitas. Dalam hal ini, kita bisa melihat keberpihakan MacIntyre kepada "etika keutamaan" yang menjadikan filsafat manusia sebagai titik-tolak bagi etika atau moralitas. Karenanya, bagi MacIntyre, masyarakat modern juga cenderung didominasi oleh pandangan yang bersifat emotivistik dan instrumental. Emotivisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kalimat etis sebetulnya sekadar mengungkap perasaan-perasaan subyektif kita, tapi tidak memiliki muatan kognitif. Karenanya, emotivisme menolak universalitas dari klaim-klaim moral. Sebagai akibatnya, filsafat moral digunakan semata-mata untuk membenarkan nalar instrumental di mana apa yang dianggap baik adalah alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Dalam keadaan yang ditandai oleh ketidaksepakatan moral tersebut, dalam ulasan MacIntyre, kita bisa memilih sikap yang ditawarkan oleh Nietzsche atau Aristoteles. Jika mengikuti Nietzsche, kita menerima nihilisme di dalam kehidupan kita di mana tidak ada lagi nilai-nilai yang patut dijadikan pegangan. Jika mencoba untuk menengok kembali kepada warisan Aristoteles, kita akan mulai merumuskan kembali apa itu manusia yang baik dan bagaimana mengembangkan tatanan sosial berdasarkan konsep manusia yang baik itu. Untuk mengatasi kegagalan etika Pencerahan yang berujung pada emotivisme, nalar instrumental dan nihilisme tersebut, MacIntyre sendiri tampaknya mengajak kita untuk kembali kepada etika keutamaan yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles. Bagi MacIntyre, etika keutamaan memiliki segala prasyarat untuk dijadikan sebuah kerangka bagi moralitas karena berpijak dari suatu konsep manusia yang baik. Istilah "keutamaan" dalam istilah "etika keutamaan" itu sendiri sebetulnya menunjukan sebuah konsep tentang hidup yang baik di mana manusia menjalani kehidupan dalam rangka mewujudkan potensi-potensi terbaik yang dimilikinya. Aristoteles sendiri membedakan antara konsep manusia yang nyata ada dan manusia yang telah mewujudkan tujuan-tujuan atau telosnya. Di sini, manusia dikatakan telah berkeutamaan jika ia telah berhasil mewujudkan atau mengoptimalkan apa yang terbaik dari dirinya. Jika itu telah terjadi, maka manusia tersebut telah sampai pada level manusia utama atau manusia yang baik. Pertanyaannya kemudian apakah manusia yang baik itu? Bagaimana Keutamaan-keutamaan bisa dicapai? Dalam hal ini, MacIntyre mengemukakan tiga hal terkait peran penting komunitas bagi pengembangan keutamaan-keutamaan sehingga manusia bisa sampai kepada tujuan atau telosnya; kegiatan bermakna, kesatuan naratif dan tradisi moral. Pertama, kegiatan bermakna. Mengikuti Aristoteles, MacIntyre mengemukakan bahwa keutamaan-keutaman tidak mencul dengan sendirinya dalam diri setiap orang. Sebaliknya, keutamaan-keutamaan hanya bisa diperoleh dalam latihan terus menerus setiap saat dalam "kegiatan bermakna." Misalnya, untuk menjadi pemain bola profesional yang handal, seseorang harus mau berlatih dengan rajin sejak dini. Untuk menjadi yang terbaik, ia harus melakukan banyak hal yang tidak dilakukan oleh orang lain. Ketika saatnya tiba, ia akan bisa mewujudkan semua potensi yang dimilikinya dan menjadi pemain bola yang baik. Tentu saja, tidak mudah untuk memilih kegiatan bermakna seperti apa yang akan kita ambil dalam hidup kita. Di antara berbagai kemungkinan yang ada, kita perlu betul-betul mencari tahu apa yang menjadi bakat atau potensi terbaik dari diri kita. Untuk mengetahui bakat terbaik dari diri kita, kita juga kadang membutuhkan eksperimen berkali-kali di dalam hidup sampai kita betul-betul yakin bahwa itulah pilihan terbaik untuk kemudian dikembangkan dan menjadi pilihan hidup. Tidak sedikit juga orang yang sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan pilihan kegiatan bermakna. Akibatnya, hidupnya menjadi kurang berarti. Kedua, kesatuan naratif. Menurut MacIntyre, upaya untuk menjadi manusia yang baik adalah pencarian tidak akhir sampai akhir hayat. Misalnya, dulu saya menanggap bahwa menjadi pemain bola profesional adalah cita-cita hidup yang wajib untuk dicapai. Namun demikian, setelah berlatih keras, saya menyadari bahwa kemampuan bermain bola saya ternyata biasa-biasa saja. Karenanya, saya kembali berpikir hal lain untuk dijadikan sebagai panggilan hidup. MacIntyre menyebut upaya menemukan tujuan kita yang bersifat final sebagai kesatuan naratif dalam hidup seseorang. Dalam hal ini, bagi seorang manusia, kehidupan yang baik merupakan cerita atau narasi untuk mencapai apa yang berarti dan menjadi tujuan hidup. Sebagai telah dijelaskan di atas, tujuan final itu hanya bisa dicapai setelah kita melewati berbagai hambatan dan tantangan. Ketiga, tradisi moral. Menurut MacIntyre, keutamaan seseorang bisa diperoleh dalam keterlibatannya di dalam kehidupan komunitas karena keberadaan tradisi moral di dalamnya. Diakui atau tidak, manusia selalu menjadi bagian dari sebuah komunitas, baik itu keluarga, suku, bangsa, dan lainnya. Di dalamnya, kita sudah mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan harapan-harapan kita. Karenanya, narasi individu untuk mencapai tujuan finalnya di dalam hidup juga tidak bisa dilepaskan dari narasi atau tradisi moral komunitasnya. Pada titik ini, sebagaimana Aristoteles dan para pemikir komunitarian lainnya, MacIntyre tampaknya mendukung gagasan politik kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-'ammah). Bagi MacIntyre, kehidupan sosial tidak lain adalah dimensi praxis manusia dalam rangka mencapai keutamaan-keutamaan. Tentu, lagi-lagi, konsepsi tentang masyarakat yang baik juga bertitik-tolak dari pandangan tentang manusia yang baik, manusia paripurna, manusia yang telah mencapai keutamaan-keutamaannya. read more
• February 02, 2021
Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila
Oleh: Iqbal Hasanuddin Dalam Pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK, Sukarno menyatakan bahwa “Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Dari pernyataan Sukarno tersebut, kita melihat bahwa sila Ketuhanan YME dalam Pancasila merupakan bagian dari weltanschauung politis tentang bagaimana menjalankan kehidupan bersama yang beradab dan kerkebudayaan di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistis dari segi agama/keyakinan; Ketuhanan YME dalam Pancasila bukan weltanschauung religius tentang keselamatan/pembebasan. Sementara itu, Mohammad Hatta (1956) menyatakan bahwa “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.” Dari pernyataan Hatta ini, kita melihat Ketuhanan YME dipandang sebagai postulat bagi moralitas politik agar penyelenggaraan negara diarahkan kebaikan bersama. Karena Tuhan YME dipahami sebagai “kebaikan tertinggi” (summum bonum), maka negara Indonesia juga dipahami sebagai “perkakas” untuk menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) bagi seluruh warga negara: segala yang benar, adil dan baik. Dalam hal ini, kita perlu membedakan antara weltanschauung politis yang terkandung di dalam Pancasila di satu sisi, dan weltanschauung religius yang menjadi inti dari ajaran agama-agama di lain sisi. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila adalah falsafah kenegaraan yang berfokus pada dimensi sosial manusia, yaitu: Menjalankan kehidupan politis untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune). Sementara itu, weltaschauung religius dalam berbagai ajaran, tradisi, dan komunitas agama berfokus pada dimensi spiritual manusia, yaitu: Jalan untuk mencapai keselamatan/pembebasan. Sepanjang Pancasila menjadi weltaschauung politis dan agama-agama tetap menjadi weltaschauung religius, tidak akan ada konflik atau pertentanga antara agama dan Pancasila, serta antara agama dan negara yang berlandaskan Pancasila. Persoalan kemudian akan muncul ketika agama diubah menjadi weltaschauung politis sehingga tampil dalam bentuk aspirasi negara-agama (teokrasi). Sebab, paham negara-agama akan bersaing dengan Pancasila sebagai sama-sama weltaschauung politis. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila tidak akan pernah mendukung paham negara-agama atau negara yang anti-agama. Jika Indonesia diubah menjadi sebuah negara-agama (misalnya: negara Islam), maka Pancasila telah kehilangan posisinya sebagai falsafah dasar kenegaraan. Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tidak akan pernah tampil dalam dua wujud ekstrim: negara-agama atau negara yang anti-agama. Karenanya, Indonesia yang berlandaskan Pancasila tidak anti-agama, bukan negara-agama, tapi sebuah negara yang ramah terhadap agama-agama, negara yang menghormati kebebasan beragama/berkeyakinan warga negaranya. Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tampil dalam bentuk menara-kembar toleransi (twin tolerations). Seperti dua menara yang berdiri sama tinggi, negara dan komunitas-komunitas agama tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Lembaga negara dan lembaga agama saling menghormati otonomi masing-masing. Keduanya mengembangkan sikap toleran satu sama lain. Dalam rumusan ilmuwan politi Amerika Serikat, Alfred Stepan (2001), istilah “menara-kembar” agama dan negara berarti: kelompok-kelompok agama tidak boleh menghalangi kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan kebijakan. Sebaliknya, negara juga tidak boleh menghalangi komunitas-komunitas agama untuk menjalankan ajaran-ajaran/tradisi keagamaan mereka.” Sebagai konsekuensi logis dari gagasan “menara-kembar toleransi”, negara yang berlandaskan falsafah Pancasila secara niscaya mendukung prinsip kebebasan beragama/berkeyakinan. Sebab, dengan tidak ikut campur dalam masalah agama/keyakinan, negara memberikan kebebasan sepenuhnya kepada warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama/keyakinan yang dipercayainya. read more
• February 02, 2021
Filsafat Pancasila
by: Iqbal Hasanuddin Pancasila telah disepakati oleh bangsa Indonesia sebagai dasar falsafi kenegaraan bagi Republik Indonesia. Hal ini mengacu kepada kata-kata Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag. Belakangan, kelima poin pemikiran filosofis itu disebut sebagai dasar negara di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) yang disepakati pada 18 Agustus 1945. Apakah sebetulnya makna dari ungkapan bahwa Pancasila adalah sebuah philosophiesche grondslag? Apa yang dimaksud dengan falsafah kenegaraan Pancasila? Apakah dengan demikian Pancasila layak disebut sebagai suatu filsafat politik? Secara lebih umum, dapatkah kita berbicara tentang filsafat Pancasila? Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi ulasan tentang filsafat Pancasila, atau jawaban atas pertanyaan dalam pengertian seperti apa Pancasila itu layak disebut wacana filsafat. Bagian kedua berfokus pada pembahasan Pancasila sebagai filsafat politik, meskipun bahan dasarnya berasal dari dunia-kehidupan dan pandangan-dunia non-politis. Bagian ketiga mengulas pengertian Pancasila sebagai philosophische grondslag atau dasar falsafi kenegaraan. Pancasila sebagai Wacana Filosofis Apakah Pancasila adalah suatu filsafat? Jika kita hendak menempatkan Pancasila dalam kerangka filsafat, kita perlu menjadikan Pancasila sebagai sebuah diskursus yang bersifat rasional. Artinya, kita tidak menempatkan Pancasila sebagai dogma yang diterima begitu saja, melainkan mengulasnya melalui proses refleksi. Di sini, Pancasila bukan kepercayaan yang tak boleh dibantah atau dipertanyakan, tapi justru merupakan wacana yang bersifat terbuka, dialogis dan kritis. Selain itu, perspektif filosofis dalam membaca Pancasila juga menuntut kita untuk berfokus pada aspek-aspek yang paling mendasar dari Pancasila, bukan aspek-aspeknya yang bersifat artifisial. Misalnya, jika dikatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, maka kita akan mengarahkan telaah hanya pada wilayah moralitas politik, bukan moralitas individual warga negara, bukan pula pada soal sopan-santun perilaku manusia. Di sini, kita tidak akan berbicara tentang cara duduk atau makan yang Pancasilais, melainkan tentang bagaimana kekuasaan negara sejatinya dikelola. Dengan pengertian filsafat sebagai diskursus yang bersifat rasional dan mendasar tersebut, lima rumusan dasar negara yang disampaikan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 memang cukup layak untuk disebut sebagai wacana filosofis. Sebab, lima rumusan pemikiran Sukarno itu dikemukakan dengan didukung oleh argumentasi yang bersifat rasional. Karenanya, kelima rumusan Sukarno itu cukup terbuka untuk didiskusikan dan ditanggapi secara kritis. Selain itu, rumusan pemikiran yang dikemukakan Sukarno tersebut juga menyangkut suatu masalah yang sangat mendasar, yaitu: dasar negara. Jika Pancasila itu adalah diskursus rasional tentang landasan kehidupan bernegara, persoalannya kemudian adalah dari mana datangnya masing-masing sila dari Pancasila tersebut? Apakah kelima sila itu diturunkan dari premis-premis lain yang lebih tinggi melalui penalaran yang bersifat deduktif? Atau, kelima sila itu merupakan hasil abstraksi dari pengalaman atau sejarah kongkret melalui penalaran yang bersifat induktif? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait dengan metode filsafat yang dipakai untuk merumuskan Pancasila. Berdasarkan pengakuan Sukarno, kelima sila dari Pancasila tersebut digali dari lapisan-lapisan kepribadian bangsa. Adapun lapisan-lapisan itu terbentuk dalam waktu di sepanjang perjalanan sejarah para penduduk yang tinggal di kepulauan Nusantara, dari masa yang paling purba hingga masa paling akhir. Bagi Sukarno, kelima sila itu memang telah lama ada dalam berbagai pandangan hidup masyarakat. Karenanya, apa yang perlu dilakukan oleh Sukarno adalah tinggal menggalinya, bukan menciptakannya. Dalam istilah yang bersifat teknis, upaya penggalian yang dilakukan oleh Sukarno adalah sebuah proses untuk membuat eksplisit hal-hal yang sebelumnya bersifat implisit melalui refleksi filosofis. Hal-hal implisit di sini terdiri dari lingkungan hidup, nilai-nilai, kepercayaan, kebiasaan, cara pandang dan lain sebagainya. Kemudian, hal-hal implisit itu dirumuskan, ditematisasi, dan diteoritisasi menjadi rumusan falsafi yang bersifat eksplisit. Karena bahan-bahan dasar yang diabstraksikan bukan kenyataan-kenyataan alamiah seperti elemen-elemen, mineral, tumbuhan, hewan dan manusia sebagai realitas fisik, melainkan bentuk-bentuk laku hidup manusia, maka hasil dari proses abstraksi itu adalah norma-norma kehidupan. Dengan kata lain, refleksi filosofis yang dilakukan oleh Sukarno adalah menyangkut dimensi praxis, bukan theoria. Karenanya, sebagai wacana filosofis, Pancasila termasuk kategori filsafat praktis (etika), bukan filsafat teoritis (ilmu). Filsafat Politik Pancasila Meskipun berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) dan pandangan-dunia (weltanschauung) yang bersifat implisit dan dibuat eksplisit menjadi norma-norma kehidupan melalui refleksi filosofis, kelima sila dalam Pancasila itu sudah menjadi diskursus rasional tentang dimensi politis dari kehidupan bersama bangsa Indonesia. Karenanya, meski berasal dari pandangan kebudayaan, etnisitas, agama, dan lain-lain, Pancasila telah melampaui pandangan-pandangan privat itu dan menjadi sebuah filsafat politik atau falsafah Kenegaraan. Intinya, Pancasila bukan lagi wacana keagamaan atau kebudayaan, melainkan wacana politis. Dalam konteks ini, ketika Sukarno menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah weltanschauung, apa yang dimaksudkannya itu bukan lagi pandangan-dunia relijius atau etno-kultural, melainkan weltanschauung yang bersifat politis, yang sepadan dengan istilah filsafat politik atau philosophische grondslag. Jika pandang-dunia religius atau etno-kultural biasanya diterimanya secara taken for granted oleh anggota-anggota komunitas yang bersangkutan, weltanschauung politis justru bisa didiskusikan oleh siapa saja yang menjadi bagian dari warga komunitas politis itu. Karenanya, Sukarno tidak merasa keberatan jika Pancasila 1 Juni yang dirumuskannya kemudian diperdebatkan melalui deliberasi publik dalam BPUPK dan PPKI. Misalnya, meskipun mungkin berasal dari pandangan-dunia relijius tertentu, sila Ketuhanan dalam Pancasila adalah bagian dari konstruksi filsafat politik, bukan wacana agama. Dalam wacana keagamaan, Tuhan dipahami sebagai jalan dan sumber keselamatan. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila tidak ada hubungannya sama sekali dengan jalan keselamatan. Dalam Pancasila, sila Ketuhanan bermakna pengakuan negara terhadap eksistensi berbagai tradisi agama, kepercayaan dan spiritualitas di Indonesia. Karenanya, dalam kerangka Pancasila sebagai filsafat politik, keberadaan sila Ketuhanan tidak lantas membuat Indonesia serta-merta menjadi sebuah negara agama atau negara teokratis. Dalam negara agama (teokrasi), negara menjadi pelayan bagi ajaran atau komunitas agama tertentu. Atau, sebaliknya, otoritas agama menjadi pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Sementara itu, sila Ketuhanan dalam Pancasila hanya menunjukkan bahwa negara tidak memusuhi agama, kepercayaan atau tradisi spiritualitas. Sebaliknya, dimensi publik agama diterjemahkan ke dalam keutamaan-keutamaan publik melalui negara. Contoh lain adalah tentang musyawarah atau mufakat. Praktik musyawarah bisa jadi sudah menjadi tradisi hidup dalam bentuk urun-rembuk di dalam berbagai komunitas desa, adat dan suku yang ada dalam masyarakat Nusantara. Atau, musyawarah juga bisa saja merupakan ajaran yang terkandung dalam tradisi keagamaan tertentu yang ada di negeri ini. Namun demikian, sila musyawarah atau mufakat dalam Pancasila tidak sama persis dengan praktik dan ajaran tentang musyawarah dalam dunia-kehidupan atau pandangan-dunia komunitas religius atau etno-kultural yang bersangkutan. Sebab, musyawarah atau mufakat dalam Pancasila adalah hasil abstraksi dari semua itu dan telah menjadi filsafat politik atau falsafah kenegaraan. Dalam kerangka filsafat politik, sila musyawarah atau mufakat bertitik-tolak dari nilai kesetaraan antar-individu sebagai warga negara. Prinsip kesetaraan antar-individu inilah yang besar kemungkinan tidak ada dalam praktek urun-rembuk pada masyarakat tradisional atau praktek konsultasi dalam tradisi agama tertentu. Sebab, urun-rembuk atau konsultasi dalam komunitas etno-kultural atau relijius biasanya tetap mengandaikan adanya hirarki sosial yang menjadi dasar pembentuk komunitas tersebut. Karenanya, kesetaraan dalam musyawarah menjadi pembeda dalam filsafat politik Pancasila. Pada intinya, sebagai filsafat politik, Pancasila memiliki karakter publik. Karakter publik ini tidak ada pada berbagai ajaran, kebiasaan, kepercayaan, tradisi, nilai-nilai atau cara pandang yang termasuk kategori dunia-kehidupan atau pandangan-dunia dalam komunitas religius atau komunitas etno-kultural tertentu. Karakter publik yang melekat pada Pancasila ini juga yang membuat sila-sila dalam Pancasila bisa disebut sebagai keutamaan-keutamaan publik (public virtues). Pancasila Sebagai Philosophiesche Grondslag Sebagai catatan penutup, saya ingin kembali kepada ungkapan Sukarno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag. Berdasarkan ulasan di atas, kita bisa memahami dengan baik apa maksud yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, yaitu: Pancasila adalah filsafat politik. Dengan kata lain, Pancasila adalah diskursus rasional tentang dasar-dasar kehidupan politis bangsa Indonesia. Di sini, Sukarno sangat mengerti perbedaan antara dimensi kehidupan politis dan dimensi kehidupan non-politis bangsa Indonesia. Sebagai philosophische grondslag, Pancasila mengikat dan menentukan pada bagaimana kekuasaan negara dijalankan dan dikelola. Siapapun nanti yang memegang kursi kekuasaan, ia tidak akan diperkenankan untuk melewati batasan minimal, yaitu: lima sila dalam Pancasila. Jika ada salah satu sila saja yang tidak diindahkan oleh seorang penguasa di Indonesia, maka ia telah menghancurkan bangunan politis bangsa ini. Karenanya, Sukarno juga menyebut Pancasila dengan istilah meja statis. Bagaimana dengan kebiasaan, ajaran, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya yang ada dalam dunia-kehidupan dan pandangan-dunia yang bersifat non-politis? Apakah itu semua masih bisa berjalan seperti biasa meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara? Jawabannya: tentu saja bisa. Dalam kegiatan sehari-hari, kita tidak perlu repot-repot memikirkan cara berjalan kaki atau cara berpakaian yang bersifat Pancasilais. Kita bisa mengikuti norma-norma non-politis untuk menjadi panduan kehidupan kita, baik yang berasal dari ajaran agama, nilai-nilai etno-kultural atau ajaran-ajaran moral yang bersifat filosofis. Sebab, Pancasila itu adalah falsafah kenegaraan, bukan etiket atau aturan sopan-santun yang mengatur urusan-urusan privat dan perilaku individual. read more
• February 02, 2021
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai Landasan Kebebasan Beragama di Indonesia
by: Heru Widoyo Indonesia merupakan negara yang sangat melekat dengan kata “keberagaman” yang disebabkan wilayah Indonesia yang sangat beragam dan memiliki berbagai pulau. Tentunya keberagaman tersebut menghasilkan banyak perbedaan atau keberagaman; agama menjadi salah satunya. Kebebasan beragama dalam perspektif Pancasila sendiri merupakan hal yang sangat jelas. Pancasila sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tentunya telah mengidentifikasi pluralisme agama di Indonesia. Dalam sila pertama, kita dapat mengetahui bahwa setiap orang berhak memiliki kepercayaan dan Tuhannya masing-masing dengan menghormati satu sama lain dan juga mendapatkan perlakuan yang setara. Pancasila sendiri merupakan dasar negara yang perlu diikuti dan juga diimplementasikan oleh bangsa Indonesia. Kebebasan dalam beragama itu sendiri termasuk dalam HAM dan peraturan pun sudah dikeluarkan berdasarkan Pasal 281 ayat (1) UUD 1945 yang berisi mengenai hak untuk beragama itu termasuk dalam hak asasi manusia; juga pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengenai negara yang menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk memeluk agama yang di percaya. Keberagaman di Indonesia sendiri sudah tercantum dalam beberapa poin di Pancasila, seperti pada sila ketiga yaitu “Persatuan Indonesia” yang dapat kita ketahui keberagaman yang ada di Indonesia menjadikan kita agar terus bersatu lalu lebih spesifiknya di sila pertama mengenai ketuhanan yang di dukung oleh sila kedua mengenai negara yang adil dan beradab. Tentunya dalam menjadi bangsa Indonesia kita perlu mengetahui bahwa semua masyarakat adalah setara dan perlu diperlakukan dengan adil. Pancasila dijadikan sebagai pemersatu bangsa Indonesia atau sebagai filsafat serta pikiran yang mendalam menurut Soekarno yang disebut folosofische grondslag. Kita dapat mengetahui dengan jelas dalam sila pertama Pancasila bahwa kebebasan beragama dilindungi oleh beberapa peraturan serta termasuk dalam HAM. Hal tersebut berguna mengurangi dampak buruk yang bisa saja terjadi jika kita tidak dapat menghormati satu sama lain. Contohnya arogansi sebuah oknum yang merasa lebih baik dari yang lain tentunya dapat menyebabkan berbagai macam konflik, seperti truth claims hingga perang antar daerah yang mungkin terjadi. Hal ini tentunya dapat teratasi jika masyarakat sudah dengan benar memahami dan dapat melakukan pengimplementasian nilai – nilai pancasila terutama sila pertama terkait keberagaman agama dan kebebasan untuk memilikinya. read more
• February 02, 2021
Pendidikan Karakter berbasis Pancasila
Nama : Paramita Retno Utam NIM : 2401968021 implementasi kebijakan pembangunan bidang sumber daya manusia di Indonesia sudah berjalan dengan cukup baik, contohnya dengan pengadaan beberapa kebijakan dan bantuan pemerintah kepada masyarakat yang belum mampu melangsungkan kepentingan pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, di lain hal, pembangunan di bidang SDM ini masih memiliki beberapa kekurangan seperti belum meratanya akses pendidikan ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Pernyataan tersebut juga ditunjang oleh laporan Human Development Report tahun 2019, IPM Indonesia memiliki peringkat kualitas hidup ke-111 dari 189 negara menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan PBB. IPM sendiri merupakan ukuran standar yang telah ditetapkan oleh United Nations dengan tujuan supaya capaian pembangunan sumber daya manusia dapat dibandingkan. IPM terdiri dari 3 (tiga) indikator utama yang meliputi dimensi kesehatan seperti ukuran angka harapan hidup, dimensi pendidikan seperti ratarata lama sekolah, dan dimensi ekonomi sebagai ukuran hidup layak. Dengan masih tergolong rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan kompetisi dan survival dikaitkan dengan tantangan dan dinamika global (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). Salah satu contoh yang menyebabkan persoalan tersebut adalah ketika implementasi dari nilai Pancasila sebagai pendidikan karakter sekaligus parameter kualitas SDM tidak ada dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukti dengan lemahnya pemahaman nilai Pancasila pada tiap individu sehingga melahirkan generasi yang rentan akan SARA, lemahnya teladan diri yang berujung pada korupsi, serta kebebasan berekspresi tanpa etika dan aturan. Dalam hal ini, pendidikan karakter dalam membentuk kepribadian peserta didik sangat penting adanya. Dengan adanya pendidikan karakter, peserta didik dapat mempelajari dan memahami bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat mereka dan merefleksikan karakter yang baik dalam setiap sikap dan aktivitasnya. Menurut Abidin (2012) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Sehingga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya pada pendidikan karakter, nilai nilai Pancasila hendaknya diresapi dan diimplementasikan secara nyata. Setiap sila yang terkandung dalam Pancasila merupakan modal dasar pendidikan karakter. Nilai-nilai yang dapat diambil dari Pancasila untuk menguatkan pendidikan karakter adalah: Pada sila ke-1 ada nilai toleransi beragama dalam pendidikan karakter peserta didik Pada sila ke-2 yaitu nilai memahami dan menghargai sesama manusia sehingga membentuk karakter yang beradab Pada sila ke-3 dapat memahami nilai persatuan dan cinta tanah air sehingga pendidikan selalu mengutamakan keragaman budaya di Indonesia Pada sila ke-4 menjadi nilai penting untuk memahami kehidupan demokrasi yang sesuai dengan hati nurani, serta adanya keharusan taat pada hukum sehingga menjadi pribadi yang disiplin Pada sila ke-5 mengandung nilai memperjuangkan kepentingan bersama dalam kehidupan bersosialisasi, sehingga keadilan sosial selalu ada dalam kehidupan sehari-hari Kemudian, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM juga harus bersumber pada nilai Pancasila, sehingga nantinya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia sudah hilang adanya dan output dari kebijakan pemerintah bidang SDM dapat terlaksana dengan maksimal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut dapat dicapai dengan adanya bantuan dan dukungan dari pemerintah seperti adanya kemajuan dalam bidang teknologi, industri sehingga menghasilkan kecerdasan, kreativitas, dan inovasi dari sumber daya manusia yang berkompetensi tinggi. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ke-lima sila Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. Di era modern saat ini, Pancasila tetap harus menjadi pedoman utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila nilai-nilai tersebut diterapkan oleh seluruh elemen bangsa maka dapat menyelamatkan bangsa dari konflik serta membangun karakter kuat yang dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia. Kemudian, dengan adanya sinergi antara kebijakan pemerintah dan implementasi pendidikan karakter bersumber pada nilai Pancasila, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat ditingkatkan sekaligus taraf hidup masyarakat Indonesia yang lebih baik. References: Abidin, Yunus. 2012. Model Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Beroreintasi Pendidikan Karakter. Jurnal. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia Poespowardojo, S dan Hardjatno, N. J. M. T. 2010. Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Dalam Modul 1. Sub Bidang Studi Pancasila dan Perkembangannya. Pokja Ideologi. Lemhannas, Jakarta United Nations Development Programme. 2019. Human Development Report 2019. New York, USA read more
• January 08, 2021
Pembangunan di bidang sumber daya manusia mengacu pada topik “Pendidikan Karakter Berbasiskan Pancasila”
NAMA: LUH PUTU RIKA WIDIANDARI NIM: 2440087265 Suatu bangsa harus memilki karakter yang kuat untuk terus mempertahankan eksistensinya, terutama dalam persaingan kuat di era globalisasi saat ini. Banyak sekali paham-paham baru di era saat ini, karena semua informasi bebas masuk ke Indonesia. Semua kalangan dari anak kecil sampai dewasa dengan mudahnya bisa mendapatkan begitu banyak informasi dari dunia maya melalui jejaring Internet. Tentunya seluruh informasi yang ada di internet beraneka ragam, ada yang sifatnya positif dan ada yang sifatnya negatif. Di sinilah perlu adanya filterisasi terhadap seluruh informasi yang masuk. Karakter Berbasis Pancasila Karakter yang kuat adalah salah satu alat filterisasi di jaman globalisasi. Sulistyarini dalam pembahasannya mengenai Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila menjelaskan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtue) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri dari sejumlah nilai, moral, dan norma. Pengembangan Karakter Bangsa dapat dimulai dari pengembangan individu, yang dilakukan dalam lingkungan sosial budaya bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara yang didalmnya terdapat nilai-nilai luhur bangsa. Sudah sepantasnya pancasila menjadi patokan dalam pengembangan karakter bangsa. Namun realita di lapangan memperlihatkan kondisi yang bertolak belakang dari apa yang diharapkan tentang pendidikan karakter berbasis Pancasila. Diakui oleh banyak pihak bahwa saat ini terjadi degradasi nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan karakter bangsa. Menurut pandangan Pemerintah Republik Indonesia (2010:16-19) dewasa ini terdapat enam permasalahan yang dihadapu bangsa, yaitu : Disorientasi dan belum dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosofi dan Ideologi Bangsa. Keterbatasam Perangkat Kebijakan Terpadu dalam mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Memudarnya kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa Ancaman Disintegritas Bangsa Melemahnya Kemandirian Bangsa Terdapat banyak sekali kasus di masyarakat yang menunjukkan 6 hal disorientasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Dikutip dari media online merdeka.com (10 Februari 2019), terdapat sebuah berita yang menerangkan adanya siswa yang berani menantang Guru Honorer dikarekan ditegur saat merokok. Kasus itu berawal dari saat dirinya hendak mengajar di kelas namun mendapati ada siswanya yang tidak ada di ruang kelas. Kemudian guru honorer mencari siswa tersebut, dan mendapatinya sedang berada di sebuah warung koi yang tidak jauh dari sekolah. Ketika sang guru menegur siswanya, siswa tersebut kemudian berbalik marah dan mengancam gurunya. Dari kasus tersebut terlihat bahwa nilai-nilai sopan santun yang mendasari karakter siswa tersebut sudah mengalami degradasi karena tidak lagi mau menghormati guru yang berusaha mendidiknya. Ancaman degradasi karakter bangsa ini tentunya perlu menjadi perhatian bersama pemerintah dan masyarakat. Karena bagiamanapun juga pembangunan SDM harus saling mendukung dari pendidikan formal dan non formal. Tak bisa dipungkiri Pemerintah saat ini juga sudah berjuang dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, salah satunya dengan menekankan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD sampai jenjang perguruan tinggi. Ditambah lagi saat ini dimasa pandemi covid 19, ini tantangan pemerintah dan seluruh masyarakat dalam pendidikan karakter bangsa ini tentunya akan semakin berat. Dengan dilakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh saat kolaborasi antara orang tua dan anak dalam belajar adalah menjadi penentu keberhasilan studi. Mnurut Kemendikbud (Kompas.com) pendidikan life skill seperti membantu orang tua membersihkan rumah, memasak, dan berkebun saat ini juga sudah menjadi salah satu tugas pokok di rumah untuk anak di jenjang SD yang dapat menunjang karakter anak. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat begitu eratnya peran orang tua, lingkungan sosial dan masyarakat dalam pembentukan karakter bangsa. Sehingga perlu adanya kolaborasi satu sama lain. Karena program pembinaan karakter yang telah dibuat pemerintah tidak akan bisa suskes tanpa kolaborasi seluruh segmen masyarakat. Apabila karakter yang kuat telah terbentuk maka wawasan dan kesadaran bernegara, perilaku cinta tanah air,dan ketahanan bangsa akan terjaga dalam menghadapi arus globalisasi saat ini. Reference: Universitas Tanjung Pura. Pengembangan Karakter Berbasis Pancasila com (06/05/2020). Kemendikbud Jelaskan Bentuk Pendidikan Karakter Selama Belajar di Rumah : https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/06/150000371/kemendikbud-jelaskan-bentuk-pendidikan-karakter-selama-belajar-di-rumah?page=all diakses 13/09/2020 com (10/02/2019. Kronologi Lengkap Kasus Siswa Tantang Guru Honorer karena Ditegur Saat Merokok: https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-lengkap-kasus-siswa-tantang-guru-honorer-karena-ditegur-saat-merokok.html diakses 13/09/2020 read more
• January 08, 2021
Kriminalitas dan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
Kristan, S.E., M.Ag (D6325) Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” bukan saja sebagian bagian dari dasar filsafat negara, melainkan pada waktu yang bersamaan juga harus dijadikan rujukan dan pedoman dalam menuntun perilaku semua warga negara dalam berurusan dengan segala situasi. Tragedi-tragedi kasus kejahatan di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, terutama karena proses penegakan hukum di Indonesia yang lemah. Bahkan, tidak mustahil ada di antara aparat penegak hukum yang bermain mata dengan para pelaku kejahatan itu. Akibatnya, Indonesia yang sudah ber-Pancasila ini masih saja oleng dan labil secara moral, sehingga keadilan dan keadaban publik sering menghilang ditelan oleh ketidaksungguhan kita mengamalkan Pancasila, khususnya disini dalam bentuk penegakan hukum yang adil. Masalah ini sangat mendasar yang wajib segera dituntaskan jika ingin mempunyai masa depan yang lebih adil dan beradab dan tidak ingin intensitas dan frekuensi tindakan kejahatan semakin bertambah. Secara alami, selain memiliki relasi dengan Tuhannya, manusia juga memiliki relasi dengan sesama. Relasi dengan sesama manusia ini dapat dijelaskan via negative atau dengan makna negatif. Yang pertama, bukan materialisme, sebagai manusia yang hidup dengan berkemanusiaan yang beradab seharusnya tidak melihat manusia lain sebagai objek. Hal ini dapat diaplikasikan pada kasus pemerkosaan. Beberapa manusia yang tidak beradab seringkali melihat manusia lain sebagai objek pemuas nafsu, bukannya sebagai subjek yaitu manusia sesamanya yang tidak hanya memiliki raga tapi juga jiwa. Relasi etis yang dijelaskan dengan via negative yang kedua adalah bukan pragmatisme, sebagai manusia yang hidup dengan berkemanusiaan yang beradab seharusnya tidak melihat manusia dari manfaat atau kegunaannya. Tentu setiap manusia bermanfaat dalam hidupnya bagi orang-orang di sekitarnya, tapi tidak menjadi beradab jika sikap yang diambil adalah mengambil manfaat manusia tersebut yang akhirnya menimbulkan kerugian. Yang ketiga, bukan spiritualisme, hal ini dapat diaplikasikan bagi pihak berwajib dan pemuka agama. Dalam menghadapi permasalahan pelecehan, perampokan, maupun pemerkosaan, pihak berwajib dan pemuka agama tidak boleh bertindak otoriter dan tidak demokratis dalam mengambil keputusan hanya karena merasa perwujudan dari Yang Kuasa. Setiap korban yang harus diberikan rasa aman, sedangkan setiap tersangka harus mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketiga relasi etis yang dijelaskan via negative tersebut, sebenarnya dapat dijabarkan perilaku-perilaku yang harus dilakukan masyarakat, penegak hukum, maupun pemuka agama untuk menciptakan hidup yang lebih adil dan beradab. Sehingga dapat menurunkan intensitas dan frekuensi tindak kejahatan. Berikut contoh perilaku-perilaku yang harus dilakukan masyarakat, penegak hukum, maupun pemuka agama untuk menciptakan hidup yang lebih adil dan beradab: Masyarakat Mengakui adanya kesamaan hak maupun kewajiban antar sesama manusia. seperti halnya mengakui adanya persamaan derajat di mata hukum. Tidak berbuat semena-mena terhadap orang lain. Hal yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya yaitu akal budi. Sebagai manusia yang berakal budi dan beradab kita harus memanusiakan manusia. Menghormati dan menghargai perbedaan serta bertindak secara adil tanpa memandang ras, suku, agama, dan status sosial. Saling berempati, mengasihi, menyayangi satu dengan yang lain bahkan dengan lingkungan sekitarnya. Tenggang rasa, mampu memberikan dorongan dalam memunculkan sikap tenggang rasa dalam setiap hubungan sosial yang seseorang lakukan dalam kelompok masyarakat. Penegak Hukum Membangun Hukum Indonesia berkarakter. Hukum yang bermoral, hukum yang senantiasa menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia secara konkrit yang berarti menjamin segi-segi manusia/ menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Menjaga integritas dengan legitimasi moral dan legitimasi sosial. Tidak adanya perlakuan hukum yang diskriminatif antara mereka yang berkuasa dan berharta dengan mereka yang tak berkuasa dan tak berharta. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Hal ini berarti yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan dan peradaban yang tidak pasif. Perlu pelurusan dan penegakan hukum yang kuat jika terjadi penyimpangan, karena keadilan harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pemuka Agama Menghormati dan menghargai terhadap umat beragama lainnya. Dengan tidak merendahkan / menjelek-jelekkan terhadap agama lain. Menghargai hak antar umat agama lain. Seperti halnya menghargai hak setiap orang berhak beribadah sesuai keyakinannya atau keimanannya, membangun tempat beribadah, dll. Memberikan arahan serta contoh yang baik kepada pengikut atau umatnya agar menjalankan norma-norma agama yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Apabila seluruh lini masyarakat baik itu masyarakat, penegak hukum atau pemerintah, dan penegak agama dapat mengimplementasikan perilaku-perilaku yang sesuai dengan sila kedua di atas memungkinkan berbagai perilaku penyimpangan nilai-nilai pancasila dapat dengan perlahan diatasi. Selain dari faktor-faktor penyebab kasus kejahatan yang telah kami deskripsikan sebelumnya, terdapat hal utama yang menjadi inti permasalahannya. Menurut analisis kami, maraknya kasus kejahatan di Jakarta bahkan di Indonesia yaitu berasal melalui keinginan/hasrat keliru akibat sikap egois dari diri sendiri. Tidaklah cukup apabila hanya tanggung jawab dari institusi pendidikan, penegak hukum, agama maupun pemerintah saja, tetapi kesadaran dari masing-masing individu lah yang menjadi kunci utamanya. Setiap individu hendaknya mengintropeksi diri apakah sudah mempraktekkan nilai-nilai pancasila terutama dalam berperilaku adil dan bermartabat kepada semua orang yang didukung oleh perbuatan yang nyata. Dengan keikutsertaan masyarakat, kerjasama seluruh pihak dan yang terpenting mulai dari kesadaran masing-masing untuk mengatasi permasalahan ini, memungkinkan penurunan jumlah kasus kejahatan di Jakarta bahkan seluruh Indonesia demi menciptakan lingkungan yang aman, damai dan berkeadilan yang menjadi cerminan utama sifat-sifat luhur bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Lecture Notes Character Building Pancasila Week 5: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Maarif, Ahmad Syafii. 2018. Sila Kedua Pancasila Sedang Mati Suri. https://republika.co.id/berita/pj6mat440/sila-kedua-pancasila-sedang-mati-suri (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 18.42 WIB) Mansyur, M Ali. 2014. Membangun Hukum Indonesia yang Berkarakter. http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/PH/article/view/1486 http://pulausumbawanews.net/index.php/2019/12/27/opini-hukum-tumpul-ke-atas-runcing-ke-bawah-adilkah/ (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 21.05 WIB) https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16557/2/T2_322015024_BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal 28 September 2020, Pukul 21.30 WIB) read more
• January 08, 2021
Pandangan mengenai praktik-praktik hoax dan hate speech,harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila
Kristan, S.E., M.Ag (D6325) Pancasila merupakan pilar ideologis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sila dalam Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Dengan salah satu butirnya yaitu mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa setiap warga negara Indonesia harus dapat menjaga persatuan di Indonesia. Hal yang dapat merusak persatuan di Indonesia diantaranya adalah hoax dan hate speech. Hoax dapat didefinisikan sebagai kabar, informasi, berita palsu atau bohong, sedangkan Hate speech (ujaran kebencian) dapat didefinisikan sebagai ujaran, tulisan, tindakan, atau pertunjukan yang ditujukan untuk menghasut kekerasan atau prasangka terhadap seseorang atau kelompok. Kedua hal tersebut merupakan informasi atau perbuatan yang tercela dan informasi atau perbuatan tidak benar yang dapat merusak tatanan kehidupan di Indonesia. Suatu hoax dan hate speech yang menyebar secara terus menerus dan masif lama-kelamaan dapat dianggap sebagai suatu “kebenaran”, padahal jelas hal tersebut adalah palsu dan penuh kebencian. Kebebasan menyatakan pendapat dan penghormatan Hak Asasi Manusia adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi. Angin reformasi yang sempat melanda Indonesia. Membawa semangat perubahan dan melepaskan warga Negara dari belenggu ketakutan menyatakan pendapat di hadapan negara. Namun, hari ini bisa dilihat ‘wajah lain’ kebebasan berekpresi dan menyatakan pendapat di hadapan umum. Pada kondisi saat ini cukup banyak orang yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi untuk menyebarkan kebencian dan provokasi melalui media sosial. Bahkan bukan hanya melalui media sosial, namun sudah merambah hingga ke kanal-kanal platform online, bahkan aplikasi layanan pesan. Padahal jika kita mengingat kembali sila ke-2 dalam Pancasila dapat dimaknai bahwa kita harus beradab dan bermoral, tidak terkecuali ketika berekspresi di media sosial. Kondisi tersebut bisa menjadi sebuah ancaman atau justru memberikan dampak negatif yang mengarah pada perpecahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini penyebaran berita ujaran kebencian, bentuk-bentuk intoleransi dan informasi palsu (hoax) sedang marak menghiasi media sosial di Indonesia. Hal ini berlangsung khususnya pada situasi tertentu. Salah satunya adalah ketika memasuki masa-masa Pesta Demokrasi. Praktik hate speech dan hoax sering dilakukan oleh pihak pendukung calon tertentu untuk menjatuhkan calon pasangan lawan mereka dan mengurangi rasa kepercayaan pendukung terhadap calon pasangan lawannya tersebut. Seperti dalam kasus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Dimana, kelompok pendukung salah satu pasangan calon memberikan ujaran kebencian kepada pasangan calon yang lainnya. Ujaran kebencian yang paling dominan saat itu adalah mengenai ras dan agama dari salah satu pasangan calon. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna sila ke-1 dalam Pancasila. Karena semua agama niscayanya bertujuan sama yaitu untuk menciptakan kehidupan yang damai dan tentram. Bukan hanya bertentangan dengan sila ke-1, kasus ini juga sangat bertentangan dengan sila ke-4, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Dalam sila tersebut, bahwa dalam pemilihan umum harus dilaksanakan dengan hikmat. Yang dimana, kasus seperti itu tidak ada. Untuk mewujudkan sila ke-4 salah satu cara ialah tidak melakukan paksaan pada orang lain agar menyetujui apa yang kita katakana atau lakukan. Dengan melakukan ujaran kebencian, sudah termasuk melakukan paksaan terhadap orang lain untuk memilih pasangan yang kita pilih. Situasi lain yang marak terjadinya penyebaran hate speech dan hoax adalah pada saat sekarang ini ketika bangsa Indonesia sedang dilanda wabah pandemic covid-19. Banyak beredar berita hoax yang membuat masyarakat tidak menghiraukan anjuran dari pemerintah dan menganggap remeh pandemic covid-19. Dalam situasi-situasi tersebut berita hoax atau hate speech mengancam sila ke-3 yaitu Persatuan Indonesia dan menjadi isu yang berbahaya dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat. Terlebih lagi data yang disampaikan oleh kementerian komunikasi dan informatika menurut CNN ada sejumlah 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebaran berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech). Melihat masyarakat yang mudah terpengaruh dengan berbagai informasi yang beredar tanpa mencari tahu kebenarannya, pemerintah serta masyarakat memiliki peran penting untuk mengatasi dan mengantisipasi bahaya hoax, dengan melakukan klarifikasi berita yang benar kepada masyarakat. Yoshihiro Francis Fukuyama, seorang ilmuan politik dan penulis Amerika Serikat dalam bukunya The End of History and the Last Man mengatakan, transisi era masyarakat industri menuju era informasi akan melahirkan great disruptions yang akan merusak tatanan sosial. Barangkali, era informasi yang dimaksud Fukuyama adalah yang tengah melanda dunia saat ini. Kemajuan teknologi dan perkembangan yang mengiringinya, perlahan tapi pasti menunjukkan tanda-tanda disrupsi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi memberi kemudahan bagi penyebaran hoax dan hate speech di masyarakat Indonesia. Hal ini jika terus dibiarkan bergulir tanpa adanya regulasi yang memagarinya akan mengancam keharmonisan kehidupan bermasyarakat yang telah dipupuk lama dalam semangat Bhineka Tunggal Ika dan tertuang didalam Pancasila pada sila ketiga. Alih-alih kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di era keterbukaan seperti saat ini tetapi jika perbuatan hate speech dan hoax ini terus kita biarkan atau malah kita sendiri sebagai salah satu pelakunya, maka ini akan menjadi kebebasan yang kebablasan dan akan mengancam Persatuan Indonesia. Agar tidak menjadi api dalam sekam dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, perlu penegakan hukum secara tegas tanpa pandang bulu seperti bagaimana dimaksud sila ke-5 Pancasila. Pelaku yang menyebarkan hoax harus dapat dituntut secara hukum positif seperti tercantum pada Pasal 154, 155, 156, 156 a dan 157 KUHP serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28 ayat 2 dan pasal 45 ayat 2 selain itu diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pasal 16. Selain pemberian sanksi kepada pelaku, maka masyarakat di Indonesia dituntut untuk melakukan cek dan ricek, memfilter semua informasi yang ada, dan tidak menyebarkan atau meneruskan informasi yang masih diragukan kebenarannya. Bahkan ketika informasi tersebut diyakini kebenarannya, namun jika berdampak pada renggangnya hubungan dan persatuan di Indonesia, sebaiknya tidak disebarluaskan. Dengan cara seperti itu, diharapkan nilai-nilai Persatuan di Indonesa dapat dipertahankan sepanjang masa. Di samping itu kita harus kembali kepada pijakan awal berdirinya bangsa dan negara kita ini yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar yang dapat menyaring kemajuan global demi kemajuan dan kemakmuran bangsa kita ini. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesimpulannya adalah kasus Hoax atau Hate Speech bukan suatu kejadian yang jarang terjadi melainkan sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat kita. Penyebaran hoax atau hate speech di era yang sekarang ini sangatlah mudah dikarenakan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Banyak sekali orang yang salah dalam mengartikan “Kebebasan Berpendapat” dengan melakukan hoax ataupun hate speech. Hoax atau Hate Speech sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki Pancasila. Pancasila berperan penting dalam pemberantasan atau memberhentikan penyebaran berita hoax maupun hate speech ini dengan memperhatikan nilai Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila sebagai dasar falsafah dan ideologi negara kita diharapkan dapat menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara kita Indonesia. Sumber: Maraknya Ujaran Kebencian Berkaitan Erat dengan Politik. 22 Februari 2018. com. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Bentuk Penghinaan yang Bisa Dijerat Pasal tentang Hate Speech. 10 September 2018. Hukumonline. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Mengenal Arti Hoax Atau Berita Bohong, Ketahui Jenis dan Ciri-Cirinya. 13 Mei 2020. com. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Ujaran Kebencian. 8 Februari 2018. Remotivi. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Ujaran Kebencian dan Berita Bohong, Apa Beda di Eropa dan Indonesia?. 19 Oktober 2018. Hukumonline. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Tekankan Nilai Pancasila untuk Tangkal Penyebaran Berita Hoax. 1 Juni 2018. Redaksi. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Peran Pancasila dalam Pemberantasan dan Pemberhentian Berita Hoax. 6 Juni 2019. Kompasiana. Diakses tanggal 11 Desember 2020 Lecture Notes Chapter 3 read more
• January 08, 2021
ANALISIS KASUS KEJAHATAN DI INDONESIA BERDASARKAN PERSPEKTIF SILA KE-2 PANCASILA Kejahatan di Indonesia: Angka Kriminalitas Naik Tahun 2020
Kristan (D6325) Jumlah kejahatan di Indonesia yang bersifat fluktuatif. Kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, perampokan, kekerasan rumah tangga, pembunuhan atau kejahatan susila, intensitasnya masih cukup tinggi dan semakin bervariasi. Pada tahun 2020, dunia internasional mengalami tantangan baru. Kemunculan virus yang menyebar begitu cepat menjadi pandemi Covid-19 menguji keberlangsungan hidup negara, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menanggulangi wabah. Pandemi nyatanya membawa efek domino lain yang melebar tidak hanya dalam permasalahan kesehatan, namun juga perekonomian. Selain sektor kesehatan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap sektor ekonomi khususnya keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan. Data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 mencatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (Lipi.go.id, 2020). Hal ini terjadi karena sejumlah perusahaan mengalami penurunan produksi bahkan berhenti berproduksi. Dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari sisi pekerja, pengusaha dan usaha mandiri. Dari sisi pekerja, terjadinya gelombang putusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja dan penurunan pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian besar sektor. Sebanyak 15,6% pekerja mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan, diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50% (Lipi.go.id, 2020). Kondisi ini berpengaruh pada kelangsungan hidup pekerja serta kehidupan keluarganya. Dampak dari pandemi Covid-19 kemudian memicu potensi peningkatan tindakan kriminal karena desakan kebutuhan ekonomi. Tingkat kriminalitas di Indonesia meningkat. Data Kepolisian RI menunjukkan terjadi kenaikan angka kriminalitas pada pekan ke-24 tahun 2020 dibandingkan pekan sebelumnya. Pada minggu ke-23 dan minggu ke-24 di tahun 2020 mengalami kenaikan gangguan kamtibmas sebesar 38,45 persen. Berarti, terdapat 4.244 kasus kriminalitas yang terjadi pada pekan ke-23 dan meningkat menjadi sebanyak 5.876 kasus pada pekan ke-24 (Halim, 2020). Dari catatan kepolisian, terdapat lima kasus yang mengalami peningkatan signifikan, yakni perjudian, pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan pemberatan, penggelapan dan penyalahgunaan narkotika. Pada kasus perjudian, kenaikan kasus menjadi yang tertinggi dengan 52 kasus di pekan ke-23 dan jumlahnya naik dua kali lipat menjadi 104 kasus di pekan berikutnya. Kasus pencurian kendaraan bermotor, khususnya roda dua, meningkat 98,25 persen dari 114 kasus menjadi 226 kasus di pekan ke-24. Kasus pencurian dengan pemberatan mengalami peningkatan lebih dari 50 persen. Pada minggu ke-23 terjadi sebanyak 411 kasus, dan pada minggu ke-24 693 kasus. Dengan demikian, kasus pencurian dengan pemberatan mengalami kenaikan hingga 282 kasus atau 68,61 persen. Pada kasus penggelapan, terjadi kenaikan sebanyak 126 kasus atau 42,71 persen dengan total 421 kasus di pekan ke-24. Terakhir, kasus penyalahgunaan narkotika. Polri mencatat terdapat 649 kasus narkotika di pekan ke-23. Lalu, jumlahnya menjadi 743 kasus di pekan berikutnya atau mengalami kenaikan sebesar 14,48 persen (Halim, 2020). Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono melalui siaran langsung di akun YouTube Tribrata TV Humas Polri mengungkapkan bahwa kenaikan angka kriminalitas dalam dua pekan terakhir disebabkan pandemi Covid-19 (Halim, 2020). Pandemi yang terjadi membuat banyak masyarakat mengalami kesulitan ekonomi yang berakibat pada kehilangan sumber pendapatan. Hal tersebut kemudian menjadi jalan pintas bagi oknum tertentu untuk melakukan kejahatan. Kenaikan angka kriminalitas disebabkan pelaku kejahatan memanfaat situasi meningkatnya aktivitas masyarakat di tengah masa transisi menuju kenormalan baru (new normal) untuk beraksi. Butir Pancasila Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan (Ristekdikti, 2016). Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad. Oleh karena itu, dalam alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia. Hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas 3 monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan). Sastrapratedja (2010, dalam Ristekdikti, 2016) menjabarkan prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Relevansi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menghadapi Kasus Kejahatan di Indonesia Berbagai kasus kejahatan yang ada pada saat ini semua nya melanggar sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Walaupun kejahatan itu di lakukan atas alasan tertentu, sebagai manusia kita tidak di ajarkan dan tidak di perbolehkan melakukan tindak kejahatan apapun dengan alasan apapun.. Sebagai umat manusia dan warga negara yang baik hendak nya kita bertindak sesuai adab-adab manusia yang saling menghormati,melindungi,menyayangi dan adil terhadap sesama manusia lainnya. Penegakan hukum yang adil atau perlindungan HAM dan sikap masyarakat sebagai manusia untuk menjalankan adab-adab kemanusiaanlah yang menjadi kunci menghadapi berbagai kejahatan yang ada. Implementasi Pancasila Dalam Melindungi Hak Asasi Manusia Indonesia adalah negara hukum, yang operasionalisasinya tertuang melalui konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagai hukum dasar tertinggi UUD 1945 menurunkan berbagai peraturan perundang-undangan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945. Sebagai Negara yang berdasarkan hukum sudah seharusnya penyelenggaraan negara bersumber dari hukum dan peraturan yang berlaku. Maka operasional Pancasila sebagai dasar negara diwujudkan dengan membentuk sistem hukum nasional yang tertib hukum dan Pancasila menjadi norma yang mendasarinya. Dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theoriy and Practice in Europe and America,Carl J.Friedrich memperkenalkan sebuah istilah negara hukum dengan nama rechtstaat atau constitutional state, sebagaimana dikutip Mariam Budiarjo. Tokoh lainnya yang memberi istilah rechtstat adalah Friedrich Julius Sthal yang memberikan ciri-ciri rechtstat sebagai berikut : Adanya perlindungan hak asasi manusia; Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politica. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Dapat dipahami dari penjelasan tentang negara hukum diatas maka sudah menjadi poin utama bahwa sebagai negara hukum Indonesia harus mengakui adanya hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti negara menjamin dan bertanggungjawab atas perlindungan dan penegakan hak asasi para warga negaranya. Oleh karena UUD 1945 sebagai wujud operasionalisasi Pancasila harus mengalirkan atau mengejewantahkan nilai-nilai pancasila kedalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, baik dalam bentuk norma original ataupun norma jabaran yang lebih konkrit. Mengutip kata-kata seorang filsafat hukum Rudolf Stammler, norma mengenai HAM yang terdapat dalam UUD dapat menjadi bintang pemandu (leitstern) bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM. Berdasarkan penjelasan tersebut maka norma HAM yang terdapat dalam UUD 1945 dapat berfungsi regulatif maupun konstitutif. Regulatif yaitu menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok ukur untuk menguji apakah undang-undang atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sedangkan sebagai fungsi konstitutif adalah menentukan, tanpa semangat HAM dalam UUD maka hukum positif akan kehilangan maknanya sebagai kemslahatan masyarakat. Oleh karena hak asasi manusia (HAM) di Indonesia adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 28A-J UUD 1945, maka pelanggaran atas HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi. Pengakuan akan HAM di Indonesia telah tercantum dalam UUD 1945 sebagai konstitusinya yang sebenarnya lebih dahulu ada dibanding dengan Deklarasi Universal PBB yang lahir pada 10 Desember 1948. Selanjutnya pengakuan akan HAM selain diatur dalam UUD 1945 juga tersebar dalam peraturan perundangundangan lainnya adalah sebagai berikut: Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama HAM Sebenarnya sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh Karena itu, bisa dikatakan bahwa negara Indonesia sendiri sejak masa berdirinya, tidak bisa lepas dari HAM itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama yang berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”. Berdasarkan hal ini, bangsa Indonesia mengakui adanya hak untuk merdeka atau bebas. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat Di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dengan jelas tersirat bentuk perlindungan HAM di Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia dan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Peraturan Perundang-Undangan Secara horizontal, pengaturan HAM dalam UUD di Indonesia relatif telah ditegaskan. Dari seluruh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, meskipun dalam dinamika pasal yang terkadang sumir, secara tegas memberikan jaminan atas perlindungan HAM dan Hak Asasi Warga Negara secara baik. Pengakuan ini menunjukkan sebuah komitmen atas kepentingan dan perlindungan rakyat. Pemajuan dan perlindungan HAM telah menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung. Bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap yang lebih tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan No. XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti dengan perubahan Kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal yang secara rinci dan tegas mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No. XVII/ MPR/ 1998, pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang diundangkan ke dalam Lembaran Negara (LN) Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3886. Dalam hal kedudukannya, undang-undang ini merupakan payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM. Sedangkan hak-hak yang ada dalam UU No. 39 Tahun 1999 tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1. Hak untuk hidup (Pasal 4); 2. Hak untuk berkeluarga (Pasal 10); 3. Hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16); 4. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17, 18, 19); 5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27); 6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35); 7. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42); 8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44); 9. Hak wanita (Pasal 45-51); 10. Hak anak (Pasal 52-66). Selanjutnya, sesuai dengan amanat Bab IX Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 199942, maka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, dibentuklah suatu pengadilan khusus HAM di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000, berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten/ Kota yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Selain itu pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Namun sangat disayangkan memang terstruktur dan rapihnya aturan terkait dengan HAM, tidak diikuti dengan penegakan HAM didalamnya. Dalam bidang praktis, masalah hak asasi manusia yang muncul diantaranya terkait dengan ketidakadilan, kemelaratan, kesewang-wenangan, keakuan tindakan/ kebijaksanaan seenaknya, dan berbagai praktik yang mengandung unsur ketidakpastian, kecemasan terhadap manusia lain. Kasus lain yang banyak terjadi di masyarakat saat ini misalnya saja pelecehan, pencurian, perampokan, pemerkosaan dengan intensitas dan frekuensi yang semakin bertambah. Sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penegakan HAM sangat tergantung dari konsistensi lembaga negara. Memang persoalan HAM bukanlah berada dalam wilayah politik, namun dalam praktik bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggungjawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara. Political Will yaitu adanya kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil kebijakan. Sedangkan Political Action berkaitan dengan implementasi dari apa yang diharapkan atau dicita-citakan para pemimpin negara. Apabila antara political will dan political action berjalan beriringan maka harapan tentang perlindungan HAM di Indonesia akan terwujud. Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia Nilai-nilai Pancasila harus menjadi rujukan yang utama dalam perumusan atau pembentukan undang-undang KUHP yang akan dibentuk oleh legislatif. Bukan justru karakter dan nilai kolonialisme yang masih melekat dalam KUHP. Setidaknya ada 3 masalah pokok dalam hukum pidana yaitu: (1) tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, serta (3) pidana dan pemidanaan, masing-masing merupakan subsistem dan sekaligus pilar-pilar dari keseluruhan bangunan sistem pemidanaan yang harus menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanan dalam KUHP tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk percobaan, pemufakatan jahat, penyertaan, perbarengan (concurus), dan pengulangan (recidive). Hanya saja di dalam KUHP, pemufakatan jahat dan recidive tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus (Buku II atau Buku III). Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang menginternalisasi nilai-nilai Pancasila harus tetap diarahkan pada tujuan nasional yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. KUHP yang saat ini masih berlaku merupakan produk hukum pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yang perlu disesuaikan dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 harus dijadikan tolak ukur untuk pelaksanaan pembaharuan tersebut. Dengan kata lain pembaharuan hukum pidana harus menjadi sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta menciptakan keseimbangan berdasarkan nilai Pancasila yaitu landasan moral religius Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait dengan pembaharuan hukum pidana, paling tidak terdapat dua tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana yaitu tujuan ke dalam dan tujuan keluar. Tujuan ke dalam, adalah pembaharuan hukum pidana dilakukan sebagai sarana untuk perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kedua tujuan tersebut sebagai batu landasan (acornerstone’) dari hukum pidana dan pembaruan hukum pidana. Sedangkan tujuan keluar adalah ikut serta menciptakan ketertiban dunia sehubungan dengan perkembangan kejahatan internasional (international crimes) (Kittichaisaree, 2001:3). Perlindungan masyarakat (social defence) dengan penegakan hukum dalam pidana dan pembaharuan pidana yang dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) perlindungan masyarakat dari perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka tujuan pemidanaan adalah mencegah dan menanggulangi kejahatan, (2) perlindungan masyarakat dari sifat berbahayanya seseorang, maka pidana/ pemidanaan dalam hukum pidana bertujuan memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, (3) (3) perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya, maka tujuan pidana dirumuskan untuk mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan sewenangwenang di luar hukum, (4) perlindungan masyarakat dari gangguan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai akibat dari adanya kejahatan, maka penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kesimpulan : “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dimana dalam sila kedua ini menjelaskan bahwa sebagai rakyat Indonesia selayaknya memperlakukan setiap manusia secara adil dan beradab dengan cara saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Dari sila kedua juga menjelaskan kita sebagai umat manusia seharusnya saling mencintai sesama manusia dan memperlakukan manusia selayaknya manusia bukan sebaliknya yang dilakukakn dalam kasus perampokan dan pembunuhan ataupun tidak kriminal lainya sungguh ini tidak mencerminkan pada pancasila sila kedua. Dari banyaknya kasus yang terjadi juga dapat diartikan bahwa kebutuhan manusia masih sangat kurang, Karena masih banyak pengangguran dinegara Indonesia sehingga mereka untuk mendapatkan uang dengan cara kriminal ( membunuh, merampok, pelecehan, pencurian, beraneka ragam ) untuk memenuhi segala kebutuhan kehidupan mereka sehari hari. dari ini juga kita sebagai umat yang berperi kemanusiaan harus saling menghargai satu sama lain. Referensi: Lipi.go.id. 2020. Survei Dampak Darurat Virus Corona terhadap Tenaga Kerja Indonesia. Tersedia di http://lipi.go.id/siaranpress/survei-dampak-darurat-virus-corona-terhadap--tenaga-kerja-indonesia/22030 [diakses pada 3 Oktober 2020]. Halim, Devina. 2020. Polri Sebut Angka Kriminalitas Naik 38,45 Persen dalam Sepekan. Kompas.com. Tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2020/06/16/18151321/polri-sebut-angka-kriminalitas-naik-3845-persen-dalam-sepekan [diakses pada 3 Oktober 2020]. Ristekdikti. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Sila kedua pancasila sedang mati suri. Tersedia di https://republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/12/04/pj6mat440-sila-kedua-pancasila-sedang-mati-suri Arti sila kedua Pancasila dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tersedia di https://bobo.grid.id/read/081950596/arti-sila-kedua-pancasila-dan-penerapannya-dalam-kehidupan-sehari-hari?page=all Yuli Asmara Tri Putra. Perlindungan Hukum HAM di Negara Hukum Pancasila : https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jh/article/viewFile/10397/9343 Rizqi Maulidiyah. Aturan dan Tipe Kelompok Kepentingan dan Political Action Commitee http://najiyah-rizqi-maulidiyah-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-79164-SISTEM%20POLITIK%20AMERIKA%20SERIKAT-Aturan%20dan%20Tipe%20Kelompok%20Kepentingan%20dan%20Political%20Action%20Committees.html Erfandi, Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia http://journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/5933 read more
• January 07, 2021