SANDEL, KOMUNITARIANISME DAN BATAS-BATAS KEADILAN

Oleh: Iqbal Hasanuddin

 

Michael Sandel (1953-) dikenal sebagai salah seorang filsuf politik yang beraliran komunitarianisme atau komunitarisme. Bersama Charles Taylor, Michael Walzer dan Alasdair McIntyre, Sandel menjadikan komunitas dan kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-‘ammah) sebagai inti dari pandangan filsafat politik mereka. Di sini, para pemikir komunitarianisme menghidupkan kembali gagasan keutamaan dalam politik sebagaimana pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan merevitalisasi konsep sittlichkeit dari Hegel.

 

Dengan mengemukakan kebaikan bersama yang ada dalam komunitas, Sandel berada dalam posisi yang berlawanan dengan liberalisme. Karenanya, adalah tidak mengherankan jika Sandel juga menjadi pengkritik liberalisme yang dituangkan dalam buku Liberalism and the Limits of Justice (1982). Kritik utama Sandel itu secara khusus diarahkan pada kecenderungan liberalisme untuk mengutamakan keadilan dibandingkan nilai-nilai moral lainnya seperti welas-asih dan keberanian, serta mengutamakan “yang hak” (the right) dari “yang baik” (the good). Bagi Sandel, kekeliruan liberalisme itu terutama disebabkan oleh pemahaman mereka tentang manusia yang bersifat atomistik; konsep diri yang tidak mengakar dalam komunitasnya dan terpisah dari tujuan-tujuan hidupnya.

 

Apa yang dikritik oleh Sandel dari para pemikir liberal kontemporer seperti John Rawls dan Ronald Dworkin bukan gagasan tentang keadilan itu sendiri. Bagi Sandel, keadilan adalah salah satu nilai moral yang sangat penting. Sandel juga tidak keberatan jika keadilan dinyatakan sebagai nilai moral yang paling penting dibandingkan nilai-nilai moral lainnya. Bagi Sandel, keadilan adalah bagian dari hal-hal baik (the good) yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Baginya, keadilan adalah bagian dari kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-‘ammah).

 

Apa yang dipersoalkan oleh Sandel adalah pandangan liberalisme yang menganggap keadilan memiliki status yang khusus sebagai bukan bagian dari konsepsi tentang yang baik. Bagi liberalisme, keadilan mendahului kebaikan dan tidak diturunkan dari suatu konsepsi kebaikan tertentu apapun. Bagi liberalisme, keadilan juga bukan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan lain seperti kebahagiaan, kesejahteraan dan lain-lain. Dalam liberalisme, sebagai konsepsi yang benar (the right), keadilan berdiri di hadapan berbagai konsepsi yang baik (the good): kebahagiaan, kesejahteraan, cinta, persahabatan, kepedulian, dll.

 

Menurut Sandel, di dalam liberalisme, pengutaman keadilan di atas kebaikan didasarkan pada suatu penalaran moral yang dikenal sebagai “etika deontologi” yang bertitik-tolak dari pemikiran Immanuel Kant. Dalam hal ini, etika deontologi memilah-milah manusia ke dalam dua dimensi: Diri yang bersifat rohani atau noumenal di satu sisi, dan diri yang bersifat jasmani atau fenomenal di lain sisi. Diri noumenal itu juga disebut sebagai subyek transendental, sementara diri fenomenal juga disebut sebagai subyek empiris. Jika esensi dari diri noumenal adalah kebebasan atau kehendak bebas, diri fenomenal justru tidak sepenuhnya bebas karena dipengaruhi oleh hukum sebab-akibat yang bekerja dalam semua alam fenomenal.

 

Dalam kerangka etika deontologi, apa yang relevan bagi moralitas adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan kewajiban hukum moral. Istilah “deontologi” sendiri berasal dari kata “deon” yang berarti kewajiban. Lantas, apa itu hukum moral? Hukum moral adalah aturan-aturan (maksim) tindakan yang ditetapkan oleh diri noumenal dalam kebebasannya. Jika manusia melakukan suatu perbuatan yang semata-mata diniatkan untuk melaksanakan kewajiban hukum moral tersebut, maka tindakan-tindakannya itu memiliki makna moral. Sementara itu, jika tindakan-tindakannya bukan didasari oleh niat untuk melaksanakan kewajiban hukum moral, maka tindakan itu tidak memiliki makna moral.

 

Sebagai contoh, ketika mengetahui ada seorang anak yang  kelaparan akut karena sudah berhari-hari tidak makan, saya kemudian memberikannya makanan dan minuman sampai ia tidak merasa lapar. Orang lain yang melihat perbuatan saya itu tentu akan mengatakan bahwa saya telah melakukan tindakan yang baik. Pertanyaan adalah apakah betul saya telah melakukan tindakan yang baik secara moral? Menurut etika deontologi, jika motif saya melakukannya semata-mata untuk memenuhi kewajiban hukum moral (misalnya: menyelamatkan hidup seseorang), perbuatan saya itu memiliki nilai moral (baik secara moral). Tapi, jika motifnya adalah rasa kasihan,  maka tindakan saya itu tidak memiliki nilai moral (baik secara moral).

 

Menurut Sandel, John Rawls menjadikan etika deontologis ini sebagai landasan dalam merumuskan teori keadilannya sebagaimana tertuang dalam A Theory of Justice (1971). Secara khusus, Sandel menyoroti konsep “posisi asali” dalam teori keadilan Rawls sebagai upaya penerjemahan subyek transendental atau diri noumenal dalam etika deontologi Kant. Rawls kemudian mengembangkan etika deontologi itu untuk membangun sebuah filsafat politik. Apa yang disebut oleh Rawls sebagai prinsip-prinsip keadilan adalah upaya untuk mengatur struktur dasar masyarakat dengan titik-tolak keadilan.

 

Dalam penilaian Sandel, Rawls memberikan pendasaran bagi prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan etika deontologi dalam konsepsi “posisi asali” yang dikemukakannya. Dalam liberalisme deontologi a la Rawls, keadilan atau konsep yang hak (the right) bertolak dari diri noumenal (orang-orang dalam posisi asali), sementara kepentingan, tujuan hidup dan semua konsepsi tentang yang baik (the good) bertolak dari diri fenomenal. Bagi Rawls, karena dihasilkan melalui musyawarah imajiner orang-orang yang ada dalam “posisi asali,” dua prinsip pengaturan masyarakat yang dikemukakannya secara niscaya bersifat adil.

 

Menurut Sandel, Rawls sebetulnya gagal memberikan pendasaran bagi teori keadilannya dengan menggunakan perangkat “posisi asali” sebagai padanan dari diri noumenal Kantian. Sebab, konsep diri yang dibayangkannya oleh Rawls dalam “posisi asali” tidak lain adalah diri yang kosong (the unencumbered self), diri yang terlepas dari kepentingan dan tujuan hidup. Di sini, Rawls tidak bisa membuktikan dengan cara yang cukup masuk akal bagaimana dua prinsip keadilan bisa muncul dari konsep diri yang kosong seperti itu. Dengan kata lain, terdapat kesemena-menaan dalam teori keadilan Rawls. Rawls tidak bisa membuktikan dengan argumentasi yang koheren bahwa keadilan dan prinsip yang benar (the right) terpisah dan mendahului konsepsi tentang yang baik (the good).