Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila

Oleh: Iqbal Hasanuddin

 

Dalam Pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK, Sukarno menyatakan bahwa “Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati  satu sama lain.”

 

Dari pernyataan Sukarno tersebut, kita melihat bahwa sila Ketuhanan YME dalam Pancasila merupakan bagian dari weltanschauung politis tentang bagaimana menjalankan kehidupan bersama yang beradab dan kerkebudayaan di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistis dari segi agama/keyakinan; Ketuhanan YME dalam Pancasila bukan weltanschauung religius tentang keselamatan/pembebasan.

 

Sementara itu, Mohammad Hatta (1956) menyatakan bahwa “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.” Dari pernyataan Hatta ini, kita melihat Ketuhanan YME dipandang sebagai postulat bagi moralitas politik agar penyelenggaraan negara diarahkan kebaikan bersama. Karena Tuhan YME dipahami sebagai “kebaikan tertinggi” (summum bonum), maka negara Indonesia juga dipahami sebagai “perkakas” untuk menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) bagi seluruh warga negara: segala yang benar, adil dan baik.

 

Dalam hal ini, kita perlu membedakan antara weltanschauung politis yang terkandung di dalam Pancasila di satu sisi, dan weltanschauung religius yang menjadi inti dari ajaran agama-agama di lain sisi. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila adalah falsafah kenegaraan yang berfokus pada dimensi sosial manusia, yaitu: Menjalankan kehidupan politis untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune). Sementara itu, weltaschauung religius dalam berbagai ajaran, tradisi, dan komunitas agama berfokus pada dimensi spiritual manusia, yaitu: Jalan untuk mencapai keselamatan/pembebasan.

 

Sepanjang Pancasila menjadi weltaschauung politis dan agama-agama tetap menjadi weltaschauung religius, tidak akan ada konflik atau pertentanga antara agama dan Pancasila, serta antara agama dan negara yang berlandaskan Pancasila.

 

Persoalan kemudian akan muncul ketika agama diubah menjadi weltaschauung politis sehingga tampil dalam bentuk aspirasi negara-agama (teokrasi). Sebab, paham negara-agama akan bersaing dengan Pancasila sebagai sama-sama weltaschauung politis. Sebagai weltaschauung politis, Pancasila tidak akan pernah mendukung paham negara-agama atau negara yang anti-agama. Jika Indonesia diubah menjadi sebuah negara-agama (misalnya: negara Islam), maka Pancasila telah kehilangan posisinya sebagai falsafah dasar kenegaraan.

 

Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tidak akan pernah tampil dalam dua wujud ekstrim: negara-agama atau negara yang anti-agama. Karenanya, Indonesia yang berlandaskan Pancasila tidak anti-agama, bukan negara-agama, tapi sebuah negara yang ramah terhadap agama-agama, negara yang menghormati kebebasan beragama/berkeyakinan warga negaranya.

 

Dalam kerangka falsafah kenegaraan Pancasila, relasi agama dan negara tampil dalam bentuk menara-kembar toleransi (twin tolerations). Seperti dua menara yang berdiri sama tinggi, negara dan komunitas-komunitas agama tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Lembaga negara dan lembaga agama saling menghormati otonomi masing-masing. Keduanya mengembangkan sikap toleran satu sama lain.

 

Dalam rumusan ilmuwan politi Amerika Serikat, Alfred Stepan (2001), istilah “menara-kembar” agama dan negara berarti: kelompok-kelompok agama tidak boleh menghalangi kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan kebijakan.  Sebaliknya, negara juga tidak boleh menghalangi komunitas-komunitas agama untuk menjalankan ajaran-ajaran/tradisi keagamaan mereka.”

 

Sebagai konsekuensi logis dari gagasan “menara-kembar toleransi”, negara yang berlandaskan falsafah Pancasila secara niscaya mendukung prinsip kebebasan beragama/berkeyakinan. Sebab, dengan tidak ikut campur dalam masalah agama/keyakinan, negara memberikan kebebasan sepenuhnya kepada warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama/keyakinan yang dipercayainya.