MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA
Nama : M. Dana Anggara Putra dan Rusliansyah Anwar
Pendahuluan
Pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila bukan hanya dasar negara yang bersifat statis, melainkan juga dinamis karena Pancasila pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, dan sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamalannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengingat hal tersebut, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/memaksa. Oleh karenanya setiap warga negara Indonesia harus tunduk dan taat kepadanya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang sangat pesat seperti saat ini, nampaknya nilai-nilai Pancasila cenderung mulai berubah dan dilupakan oleh sebagian masyarakat kita. Ini tercermin dari banyaknya sifat dan pola pikir yang ditunjukkan masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Yang nampaknya selalu menjadi perbincangan adalah terkait dengan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini tergambar dengan kenyataan situasi Indonesia pada dewasa ini dimana masyarakatnya selalu cenderung berseteru tentang masalah agama. Upaya untuk menciptakan toleransi dalam rangka menciptakan kerukunan antar umat beragama selalu mengalami berbagai macam hambatan. Bahkan sangat rentan untuk terjadinya konflik di masyarakat kita yang ujung-ujungnya berpotensi akan mengancam persatuan bangsa kita.
Melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi tersebut, penulis ingin mengungkapkan betapa pentingnya untuk membaca, memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembahasan
Istilah Ketuhanan dalam Sila Pertama berasal dari kata Tuhan, yaitu Allah, pencipta segala yang ada di muka bumi ini termasuk semua mahluk. Yang Maha Esa berarti yang Maha tunggal, tiada sekutu, Esa dalam zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam Perbuatan-Nya, artinya bahwa zat Tuhan tidak terdiri dari zat-zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa sifat Tuhan adalah sempurna, bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat disamai oleh siapapun. Jadi ke-Tuhanan yang maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya. Keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika.
Atas keyakinan yang demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, dan Negara memberi jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Bagi dan di dalam negara Indonesia, tidak boleh ada pertentangan dalam hal ketuhanan yang maha esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti ketuhanan yang Maha Esa, dan anti keagamaan serta tidak boleh ada paksaan agama, dengan kata lain di negara Indonesia tidak ada paham yang meniadakan Tuhan yang Maha Esa (atheisme).
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan hubungan antarumat beragama
Berkaitan dengan hubungan antar umat beragama, Pancasila memaknai segala sesuatu yang ditujukan dalam rangka untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat Indonesia. Namun kenyataan menunjukkan bahwa apa yang diinginkan oleh sila pertama ini nampaknya belum sepenuhnya selalu berjalan mulus. Ternyata masih banyak terdapat hambatan-hambatan yang muncul, baik dari campur tangan pemerintah maupun dari golongan penganut agama dan kepercayaan itu sendiri. Hal ini disebabkan bisa saja karena penghayatan terhadap Pancasila, khususnya sila Ketuhanan, tidak dapat dipahami dan dihayati secara mendalam dan menyeluruh oleh sebagian masyarakat kita. Akibatnya muncul ideologi-ideologi atau paham-paham yang berbasiskan ajaran agama tertentu. Sehingga seakan-akan bahwa sila pertama dari Pancasila itu hanya dimiliki oleh salah satu agama tertentu saja. Dengan kata lain bahwa toleransi dan sikap menghargai agama atau umat kepercayaan lain ternyata belum sepenuhnya dapat disadari dan diwujudkan. Hal ini disebabkan adanya anggapan dari golongan-golongan tertentu yang memiliki paham bahwa hanya kepercayaannya atau hanya ajaran agamanya sajalah yang paling baik dan benar, semenatar yang lainnya tidak benar. Pandangan atau paham yang sempit mengenai pamahaman terhadap agama dan kepercayaan yang seperti ini dapat menimbulkan atau mengundang konflik serta gejolak dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Konflik antar kelompok agama terkadang juga dapat dipicu oleh adanya kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang atau otoritas di bidang urusan agama. Semestinya lembaga semacam ini adalah lembaga yang bersifat netral, yang membawahi seluruh unsur-unsur agama yang ada atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta memegang teguh nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila. Jangan malah mengeluarkan suatu kebijakan yang merugikan ataupun menguntungkan agama-agama tertentu, yang dapat menimbulkan konflik atau ketegangan antar uamat beragama yang tentu saja berbeda agama dan kepercayaannya.
Namun kenyataannya, kebijakan lembaga keagamaan di Indonesia seringkali masih menguntungkan agama-agama tertentu. Salah satu contohnya adalah kasus Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB 2 Menteri), terutama menyangku perijinan pembangunan rumah ibadah. Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa syarat untuk bisa mendirikan suatu rumah/tempat ibadah sedikitnya minimal jika ada 100 orang dalam satu wilayah yang beragama sama. SKB tersebut dianggap sangat tidak relevan dan cenderung diskriminatif terhadap agama tertentu, bahkan berpotensi memecah belah kerukunan antar umat beragama melalui isu-isu agama, selain membatasi ruang gerak umat beragama untuk melaksanakan ibadahnya. SKB tersebut dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia dalam hal menjalankan ibadah, dan tidak sesuai dengan Pancasila. Surat keputusan tersebut juga menimbulkan dampak yang cukup serius, yakni tercatat ada lebih dari 1.000 gereja di Indonesia rusak dan hancur akibat dirusak massa karena keberadaannya tidak sesuai syarat yang tertuang dalam SKB tersebut. Materi dari SKB itupun menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hal ini juga bisa menimbulkan berbagai macam kecaman, bahkan dapat menimbulkan suatu konflik yang menuju pada perpecahan.
Jika kita mencoba menganalisis dari isi kebijakan surat keputusan tersebut, terutama yang menyangkut masalah syarat pendirian tempat ibadah, maka di daerah atau di provinsi-provinsi tertentu banyak uamat-umat beragama yang tidak dapat membangun tempat ibadah untuk menjalankan dan menyebarkan ajaran agamanya. Misalnya saja, di Pulau Bali, berarti di pulau ini hanya Pura-Pura sajalah yang boleh didirikan, karena hampir seluruh penduduk Bali menganut agama Hindu. Begitu pula seperti di Papua (mayoritas Kristen), Madura (Islam), dan tempat-tempat lain yang terdapat mayoritas beragama sama. Bukankah hanya akan menimbulkan konflik antar umat beragama. Bahkan menjurus pada perpecahan.
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyebab terjadinya penyimpangan sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di Indonesia salah satunya adalah kerena pancasila sebagai ideologi, falsafah, dasar negara, serta sebagai pandangan hidup, tidak dapat dipahami dan dihayati secara menyeluruh oleh bangsa ini.
Dengan era teknologi ini juga sangat banyaknya berita berita palsu yang membuat masyarakat cepat panas dan bingung mana berita yang benar dan mana berita yang salah. Hal tersebut mengakibatkan secara tidak langsung membuat kita terpicu untuk ikut melawan pancasila. Makna sebenarnya dari Sila Ketuhanan yang Maha Esa adalah bahwa segala aspek penyelenggaraan hidup bernegara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan.
Faktor lainnya yaitu lembaga keagamaan di Indonesia seringkali masih menguntungkan agama-agama tertentu. Hal ini tentu saja memunculkan rasa ketidakadilan terhadap penganut agama yang tidak dominan dan memacu terjadinya konflik antar umat beragama.
References
http://abdulazizalfaruq.blogspot.co.id/2017/04/makalah-pancasila-dalam-pandangan-islam.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Pancasila_(politics)
https://garduopini.wordpress.com/2010/03/29/internalisasi-pancasila-pluralisme-agama-dalam-%E2%80%9Cketuhanan-yangmaha-esa%E2%80%9D/
https://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/06/8/arti-dan-makna-sila-ketuhanan-yang-maha-esa/
https://nuriffahidayati.wordpress.com/2013/05/30/penyimpangan-sila-ketuhanan-yang-maha-esa-di-indonesia/
read more
• May 02, 2020