MACINTYRE DAN ETIKA KEUTAMAAN

Oleh: Iqbal Hasanuddin

 

Alasdair MacIntyre adalah seorang filsuf moral dan politik kelahiran Glasgow, Skotlandia, pada 12 Januari 1929. Di antara karya-karyanya dalam bidang filsafat moral dan filsafat politik yang banyak menarik minat para pembaca adalah After Virtue (1981) dan Whose Justice? Which Rationality (1988). Dari judul-judul bukunya itu, kita bisa menangkap sikap kritis MacIntyre terhadap liberalisme, dan bahkan modernitas secara keseluruhan.

 

Karena sikap kritisnya terhadap liberalisme itu, MacIntyre sering dikelompokkan dengan para pemikir politik komunitarian atau komunitaris. Pikiran-pikirannya yang bersikap kritis terhadap  liberalisme, modernitas dan Pencerahan sering disamakan dengan pikiran-pikiran Michael Sandel. Sementara itu, cara pandangnya dalam melihat persoalan keadilan sering disamakan dengan cara pandang Michael Walzer. Baik Sandel maupun Walzer adalah sama-sama pemikir komunitarian.

 

Dalam After Virtue, MacIntyre menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh adanya ketidaksepakatan moral. Semangat Pencerahan dan sikap kritis terhadap tradisi di dalam modernitas telah menyebabkan sistem moral menjadi terpecah-pecah, saling bertabrakan dan tidak berkesesuaian satu sama lain. Di dalamnya, tidak ada sebuah standar untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Moralitas tidak lagi menjadi upaya untuk mencari kebenaran, melainkan sekedar adu argumentasi.

 

Menurut MacIntyre, hal ini disebabkan oleh kegagalan masyarakat modern untuk merumuskan apa itu “manusia yang baik.” Tanpa pemahaman yang tepat dan disepakati bersama ihwal konsep “manusia yang baik,” bagi MacIntyre, kita mustahil untuk bisa bersepakat tentang moralitas. Dalam hal ini, kita bisa melihat keberpihakan MacIntyre kepada “etika keutamaan” yang menjadikan filsafat manusia sebagai titik-tolak bagi etika atau moralitas.

 

Karenanya, bagi MacIntyre, masyarakat modern juga cenderung didominasi oleh pandangan yang bersifat emotivistik dan instrumental. Emotivisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kalimat etis sebetulnya sekadar mengungkap perasaan-perasaan subyektif kita, tapi tidak memiliki muatan kognitif. Karenanya, emotivisme menolak universalitas dari klaim-klaim moral. Sebagai akibatnya, filsafat moral digunakan semata-mata untuk membenarkan nalar instrumental di mana apa yang dianggap baik adalah alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan.

 

Dalam keadaan yang ditandai oleh ketidaksepakatan moral tersebut, dalam ulasan MacIntyre, kita bisa memilih sikap yang ditawarkan oleh Nietzsche atau Aristoteles. Jika mengikuti Nietzsche, kita menerima nihilisme di dalam kehidupan kita di mana tidak ada lagi nilai-nilai yang patut dijadikan pegangan. Jika mencoba untuk menengok kembali kepada warisan Aristoteles, kita akan mulai merumuskan kembali apa itu manusia yang baik dan bagaimana mengembangkan tatanan sosial berdasarkan konsep manusia yang baik itu.

 

Untuk mengatasi kegagalan etika Pencerahan yang berujung pada emotivisme, nalar instrumental dan nihilisme tersebut, MacIntyre sendiri tampaknya mengajak kita untuk kembali kepada etika keutamaan yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles. Bagi MacIntyre, etika keutamaan memiliki segala prasyarat untuk dijadikan sebuah kerangka bagi moralitas karena berpijak dari suatu konsep manusia yang baik. Istilah “keutamaan” dalam istilah “etika keutamaan” itu sendiri sebetulnya menunjukan sebuah konsep tentang hidup yang baik di mana manusia menjalani kehidupan dalam rangka mewujudkan potensi-potensi terbaik yang dimilikinya.

 

Aristoteles sendiri membedakan antara konsep manusia yang nyata ada dan manusia yang telah mewujudkan tujuan-tujuan atau telosnya. Di sini, manusia dikatakan telah berkeutamaan jika ia telah berhasil mewujudkan atau mengoptimalkan apa yang terbaik dari dirinya. Jika itu telah terjadi, maka manusia tersebut telah sampai pada level manusia utama atau manusia yang baik.

 

Pertanyaannya kemudian apakah manusia yang baik itu? Bagaimana Keutamaan-keutamaan bisa dicapai? Dalam hal ini, MacIntyre mengemukakan tiga hal terkait peran penting komunitas bagi pengembangan keutamaan-keutamaan sehingga manusia bisa sampai kepada tujuan atau telosnya; kegiatan bermakna, kesatuan naratif dan tradisi moral.

 

Pertama, kegiatan bermakna. Mengikuti Aristoteles, MacIntyre mengemukakan bahwa keutamaan-keutaman tidak mencul dengan sendirinya dalam diri setiap orang. Sebaliknya, keutamaan-keutamaan hanya bisa diperoleh dalam latihan terus menerus setiap saat dalam  “kegiatan bermakna.” Misalnya, untuk menjadi pemain bola profesional yang handal, seseorang harus mau berlatih dengan rajin sejak dini. Untuk menjadi yang terbaik, ia harus melakukan banyak hal yang tidak dilakukan oleh orang lain. Ketika saatnya tiba, ia akan bisa mewujudkan semua potensi yang dimilikinya dan menjadi pemain bola yang baik.

 

Tentu saja, tidak mudah untuk memilih kegiatan bermakna seperti apa yang akan kita ambil dalam hidup kita. Di antara berbagai kemungkinan yang ada, kita perlu betul-betul mencari tahu apa yang menjadi bakat atau potensi terbaik dari diri kita. Untuk mengetahui bakat terbaik dari diri kita, kita juga kadang membutuhkan eksperimen berkali-kali di dalam hidup sampai kita betul-betul yakin bahwa itulah pilihan terbaik untuk kemudian dikembangkan dan menjadi pilihan hidup. Tidak sedikit juga orang yang sampai akhir hayatnya tidak bisa menemukan pilihan kegiatan bermakna. Akibatnya, hidupnya menjadi kurang berarti.

 

Kedua, kesatuan naratif. Menurut MacIntyre, upaya untuk menjadi manusia yang baik adalah pencarian tidak akhir sampai akhir hayat. Misalnya, dulu saya menanggap bahwa menjadi pemain bola profesional adalah cita-cita hidup yang wajib untuk dicapai. Namun demikian, setelah berlatih keras, saya menyadari bahwa kemampuan bermain bola saya ternyata biasa-biasa saja. Karenanya, saya kembali berpikir hal lain untuk dijadikan sebagai panggilan hidup.

 

MacIntyre menyebut upaya menemukan tujuan kita yang bersifat final sebagai kesatuan naratif dalam hidup seseorang. Dalam hal ini, bagi seorang manusia, kehidupan yang baik merupakan cerita atau narasi untuk mencapai apa yang berarti dan menjadi tujuan hidup. Sebagai telah dijelaskan di atas, tujuan final itu hanya bisa dicapai setelah kita melewati berbagai hambatan dan tantangan.

 

Ketiga, tradisi moral. Menurut MacIntyre, keutamaan seseorang bisa diperoleh dalam keterlibatannya di dalam kehidupan komunitas karena keberadaan tradisi moral di dalamnya. Diakui atau tidak, manusia selalu menjadi bagian dari sebuah komunitas, baik itu keluarga, suku, bangsa, dan lainnya. Di dalamnya, kita sudah mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan harapan-harapan kita. Karenanya, narasi individu untuk mencapai tujuan finalnya di dalam hidup juga tidak bisa dilepaskan dari narasi atau tradisi moral komunitasnya.

 

Pada titik ini, sebagaimana Aristoteles dan para pemikir komunitarian lainnya, MacIntyre tampaknya mendukung gagasan politik kebaikan bersama (the common good, al-mashlahah al-‘ammah). Bagi MacIntyre, kehidupan sosial tidak lain adalah dimensi praxis manusia dalam rangka mencapai keutamaan-keutamaan. Tentu, lagi-lagi, konsepsi tentang masyarakat yang baik juga bertitik-tolak dari pandangan tentang manusia yang baik, manusia paripurna, manusia yang telah mencapai keutamaan-keutamaannya.