UU ITE, Kebebasan Berbicara, dan Pentingnya Memahami Hukum di Indonesia
Sosial media menjadi tempat bagi para anak muda untuk berbagi. Berbagai momen kebahagiaan, kesedihan, bahkan berbagi momen ini menjadi sebuah pekerjaan. Tidak sedikit anak muda yang menjadi artis Instagram, atau kerap disebut Selebgram, karena berbagi momen ini. Seiring berjalannya waktu, sosial media menjadi tidak terkendali. Beberapa orang menyalahgunakannya untuk menghina, menerror, dan masih banyak hal lainnya. Hal ini yang mendorong terciptanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang – undang ini digunakan untuk melindungi para pengguna media sosial. Namun, tidak sedikit oknum nakal, yang malah menggunakan UU ITE ini untuk menyerang rakyat biasa, bahkan sampai menjatuhkan hukuman penjara. Seperti yang dialami oleh Stella Monica. Stella menceritakan kisahnya yang dimediasi oleh Instagram IDN TIMES, dan dibawakan oleh Fitria Amida, serta dihadiri Ahli Hukum BINUS UNIVERSITY serta Head of Business Law Program BINUS UNIVERSITY, Bapak Ahmad Sofian sebagai narasumber.
Kisah ini berawal dari Stella yang mencoba krim kecantikan di sebuah klinik kecantikan, Stella merasa bahwa produk yang dipakai tidak cocok (menimbulkan “breakout” pada wajahnya). Tentu sebagai customer, Stella mencoba komplain kepada klinik tersebut. Tapi, klinik tidak menanggapi dengan seharusnya. Stella yang merasa cukup kecewa, memutuskan untuk rehat sejenak dari klinik tersebut.
1-2 bulan kemudian, Stella mencoba klinik lain, dan Dokter di klinik tersebut memberikan pelayanan yang jauh lebih baik kepada Stella. Tentu sebagai customer, yang ingin berbagi kisah ini. Stella membagikan kisahnya di insta storynya. Instagramnya private, sehingga hanya teman – temannya saja yang bisa melihat. Temannya yang melihat story pun, menceritakan juga kepadanya, bahkan pengalamannya lebih parah. Tapi siapa sangka, pihak klinik tidka melakukan konfirmasi di awal, langsung men-somasi (mencemarkan nama baik) Stella.
Kasus pun berlarut – larut, mulai dari harus membuat permintaan maaf di koran, hingga pada 3 Juni 2020, Polda mendatangi rumah Stella dan langsung menyita handphonenya, yang digunakan untuk bekerja sehari – hari. Stella bahkan sudah mencoba minta maaf langsung kepada Dokter “I” (pelapor stella), membuat video maaf lewat instagram, dsb. Pihak kelinik sungguh keras tetap ingin melanjutkan kasus ini ke meja hijau.
Dari LIVE Instagram ini, Stella mengaku bahwa ia tidak mengajak untuk menghujat atau melakukan tindakan buruk lainnya. Ia hanya menceritakan kisahnya saja. Pak Sofian pun menanggapi kisah ini. ini adalah kali ke2 Bapak Sofian bertemu dengan Stella. Menurut Pak Sofian, Stella tidak bersalah jika dilihat dari sisi manapun.
Pak Sofian menjelaskan, bahwa Stella tidak mencemarkan nama baik manapun. Ia disini adalah customer, yang mereview produk kecantikan. Bahkan, jika Stella dituntut dalam pasal UU ITE, Stella tetap tidak bersalah. Pasalnya, UU ITE yang menghukum para pencemar nama baik, harus memiliki unsur mencemarkan perseorangan dan kata – kata yang menyerang. Sedangkan pada kasus Stella, hal ini tidak ada sama sekali.
Menurut pak Sofian, jaksa penuntut sudah “kadung”, mementingkan ego karena sudah menuntut. Tuntutan ini juga sudah melenceng dari pedoman Mentri Komunikasi Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri. Pak Sofian juga menyatakan bahwa jika memang tuntutan itu benar (mengalami kerugian yang sangat besar), harusnya ditunjukkan dan dihitung secara eksternal.
Dari kasus ini, kita belajar bahwa kita dapat melindungi diri dari berbagai tuntutan UU ITE yang semena – mena dilakukan oleh oknum nakal. Kita juga belajar untuk menjadi lebih hati – hati, baik dalam mereview, atau berkomunikasi di media sosial. Semoga KEADILAN segera ditegakkan, pihak Stella dapat dipulihkan, dan para “Gangster Keadilan” ini segera diberantas.
Comments :