Jakarta – Kinerja sektor perbankan nasional tertekan akibat pandemi COVID-19 dan kebijakan PSBB yang ditetapkan di berbagai wilayah. Namun seiring adanya prospek pemulihan ekonomi tahun ini, sektor perbankan disebut menjadi sektor siklikal yang sahamnya masih layak koleksi.

Dilansir dari CNBC Indonesia, salah satu saham emiten perbankan yang patut dicermati adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Bank beraset terbesar di Indonesia ini turut terdampak pandemi, terbukti laba bersih yang dicatatkannya hingga November 2020 drop 46,7% (yoy) atau hanya Rp 16,4 triliun (bank only).

Ketika pandemi melanda, Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK nomor 11/2020 memberi keringanan kepada debitur melalui restrukturisasi kredit. Langkah ini dapat menjaga kualitas aset perbankan yang tercermin dari rasio kredit macet (NPL) yang tetap rendah. Namun pada saat yang sama ada hal yang harus diwaspadai, yakni kenaikan portofolio kredit yang tercermin dari tingkat loan at risk (LaR) yang tembus 20% per Oktober 2020.

“Sebagai bank yang memiliki spesialisasi menyalurkan kredit ke UMKM, BBRI juga terekspos ke risiko tersebut. Namun menariknya risiko tersebut masih bisa dikelola oleh BBRI sehingga berpeluang mencatatkan kinerja yang solid untuk tahun ini,” dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (22/1/2021).

UMKM tentu menjadi perhatian pemerintah sebagai ultimate stakeholder BBRI. Segmen ini menjadi gerbang perlindungan akhir untuk bertahan di tengah resesi dan ujung tombak bagi Tanah Air agar dapat keluar dari resesi. Segmen ini juga disebut penting karena tidak terlepas dari fakta UMKM adalah mayoritas, yakni hampir 97% dari total pelaku usaha yang tercatat di Indonesia.

Ketika krisis global melanda di tahun 2008, UMKM yang berhasil meloloskan Indonesia dari jeratan krisis ekonomi. Sementara restrukturisasi dilakukan sebagai komitmen pemerintah untuk menyelamatkan UMKM yang pada pandemi COVID-19 ini menjadi salah satu pihak paling terdampak.

“Komitmen Pemerintah selaku ultimate shareholder BBRI untuk tumbuh berkembang bersama UMKM di masa krisis ini tentu saja menjadi keyakinan tersendiri bahwa kemungkinan besar UMKM akan direstrukturisasi dan hanya berkemungkinan kecil untuk di default,” lanjut keterangan CNBC Indonesia.

Mengenai restrukturisasi, BBRI menjadi satu-satunya bank yang mampu mencatat penurunan jumlah utang yang direstrukturisasi selama 3 bulan beruntun. Per Desember 2020, total portofolio kredit yang direstrukturisasi BBRI mencapai Rp 187 triliun (20% total kredit), turun dari September 2020 yang masih di angka Rp 194 triliun (21% total kredit).

BBRI juga mampu menjaga kualitas aset melalui kebijakan restrukturisasi kembali yang rigid. Dalam laporan riset oleh IndoPremier, proporsi kredit yang mengalami restrukturisasi hingga dua kali hanya sebesar Rp 11 triliun per November 2020 atau 6% dari total kredit yang disalurkan. Ini juga berpengaruh terhadap perubahan profitabilitas perbankan seperti terlihat dalam rasio net interest margin (NIM) yang meningkat menjadi di atas 5% per November dari periode April yang hanya 3% saja.

BBRI per November 2020 juga berhasil membukukan NIM 5,8% dan menjadi yang paling besar dibandingkan 3 bank aset terbesar lainnya, yakni BBCA, BMRI, dan BBNI. Rasio profitabilitas seperti return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) BBRI masih yang terbaik dibandingkan dua bank pelat merah lain (BMRI dan BBNI).

Rasio kredit bermasalah (NPL) gross BBRI tercatat sebesar 3,12% per September 2020 dari periode yang sama pada tahun sebelumnya, 3,1%. Namun masih di bawah rata-rata industri. BBRI juga telah membentuk pencadangan kredit yang mencukupi sehingga ketakutan jika nanti terjadi pemburukan kualitas kredit menjadi tidak berdasar. Berdasarkan dokumen corporate presentation BBRI, nilai NPL coverage ratio BBRI mencapai 215% per September 2020.

BBRI juga ditopang dengan rasio permodalan yang kuat ditengah gempuran pandemi. Ini terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR) di angka 20% dan masih di atas ketetapan regulator di angka 12%. Selain itu BBRI juga menjadi perbankan raksasa yang layak dipantau karena di tahun pemulihan ini kabarnya BBRI akan melancarkan aksi korporasi raksasa. Disebutkan aksi ini akan menjadi aksi korporasi terbesar dalam sejarah Indonesia.

Kabarnya BRI akan mengakuisisi 2 perusahaan raksasa sekaligus, yakni PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Ini tentu saja akan menurunkan biaya dana (cost of fund) dan meningkatkan efisiensi dalam hal biaya operasional, terutama di terkait kantor cabang, sistem IT, hingga SDM.

Ini merupakan racikan mujarab visi dan misi Menteri BUMN, Erick Thohir. Dengan adanya holding ultra mikro, diharapkan bisa menggarap 30 juta ultra mikro yang belum mendapatkan akses keuangan formal.

Sementara dari sisi PNM dan Pegadaian yang nantinya akan menjadi anak usaha BBRI, keuntungan yang bisa mereka peroleh adalah pendanaan dan likuiditas dari bank sekelas BBRI yang mempunyai aset terbesar di Indonesia. Sebelumnya, pendanaan kedua perusahaan tersebut hanya bisa diamankan melalui penerbitan obligasi korporasi atau pinjaman kepada bank.

Menurut data Refinitiv, saat ini Pegadaian memiliki total outstanding bonds senilai Rp 10,8 triliun hingga 2025, Rp 5,8 triliun di antaranya akan jatuh tempo pada tahun depan. Apalagi jumlah ini terus meningkat, total nilai obligasi jatuh tempo sebelumnya selama 22 tahun terakhir hanya Rp 13,42 triliun yang menunjukkan kebutuhan dana Pegadaian dari tahun ke tahun kian naik.

Ini juga berlaku pada PNM yang memiliki total outstanding bonds Rp 12,37 triliun hingga 2025, Rp 4,1 triliun di antaranya akan jatuh tempo pada tahun depan. Jumlah kebutuhan PNM akan dana segar juga terus meningkat yang ditunjukkan dengan total nilai obligasi jatuh tempo sebelumnya selama 9 tahun hanya Rp 6,9 triliun.

Hal ini menyebabkan biaya dana (cost of funds) perusahaan membengkak dari tahun ke tahun. Tercatat biaya bunga PNM pada 2019 sebesar Rp 1,59 triliun, naik dari posisi tahun sebelumnya pada angka Rp 0,99 triliun. Dengan sinergi ini, Pegadaian dan PNM tak perlu lagi mencari sumber dana segar. Kalaupun ingin menerbitkan obligasi, suku bunganya nanti bisa ditekan karena memiliki daya tawar lebih tinggi dan tingkat gagal bayar lebih rendah sehingga cost of funds bisa ditekan.

Sementara itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) memutuskan perubahan direksi, ada direktur yang tergolong milenial. Pemegang saham memberhentikan Direktur Keuangan, Haru Koesmahargyo; Direktur Bisnis dan Ritel, Priyastomo; dan Direktur Human Capital BRI, Herdy Rosadi. Sementara Direktur Kepatuhan, Wisto Prihadi diberhentikan karena tidak lulus fit and proper test di OJK.

Posisi tersebut diisi oleh Viviana Dyah Ayu Retno diangkat sebagai Direktur Keuangan, Amam Sukriyanto sebagai Direktur Bisnis Kecil dan Menengah, Arga Mahanana Nugraha sebagai Direktur Jaringan dan Layanan dan Agus Winardono sebagai Direktur Human Capital. Satu nama yang tergolong milenial adalah Arga Mahanna Nugraha, pria kelahiran Jakarta, 5 Januari 1981 lulusan S1 Teknik Informatika Universitas Bina Nusantara dan S2 Carnegie Mellon University.

Ia sudah berkarir cukup lama di bank BRI. Pada 2017 hingga 2018, ia dipercaya menjadi Group Head Cash Management Divisi Transaction Banking. Setelah itu pada 2018 hingga 2020 ia menjadi Wakil Kepala Divisi Bidang E-Banking Divisi Retail Payment. Lalu menjadi Executive Vice President BRILink Network Division sejak 2020.

Selain Arga, Viviana juga tergolong milenial. Perempuan kelahiran Surakarta, 30 September 1978 ini merupakan lulusan S1 Peternakan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat dan S2 MBA di University Rochester.

Terpilihnya 4 direktur baru ini menjadi bukti janji Menteri BUMN, Erick Thohir yang akan menempatkan anak muda hebat di jajaran direksi BUMN. Kehadiran direksi muda dapat membawa spirit perubahan di BRI yang merupakan salah satu bank mapan. Generasi muda kerap membawa inovasi sesuai kebutuhan zaman, hal ini yang kurang dihadirkan oleh para bankir dari generasi yang lebih senior.

Kehadiran direksi yang berkarir dari bawah di BRI juga menunjukkan adanya jenjang karir bagi pegawai BRI. Hal ini bisa meningkatkan semangat para pegawai karena mereka bisa terus menanjak karirnya, bahkan hingga ke level puncak.

Selain itu, sinergi dengan Pegadaian dan PNM juga akan menjadi sentimen pendukung terhadap arah bisnis BBRI ke depan, yakni go smaller untuk memberikan kredit ke segmen ultra mikro. BRI mengincar porsi pembiayaan UMKM bisa naik ke 85% dari posisi sebelumnya, yakni sekitar 80%.

Selama ini, BBRI belum banyak menggarap segmen ultra mikro yang masih unbankable atau tidak terjangkau layanan perbankan. Salah satu segmen ini adalah productive poor yang diyakini memiliki pangsa pasar sangat besar, namun hanya sangat sedikit bank yang bermain di Indonesia. Perlu diketahui jumlah masyarakat yang memiliki rekening bank per 2019 hanya 49% dan angka ini disebut akan terus turun jika dibagi kembali menjadi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Segmen yang selama ini digarap perusahaan pembiayaan nonbank, seperti BUMN Pegadaian maupun PNM sehingga dengan bersinerginya ketiga perusahaan ini, gol BBRI untuk merambah pasar ultra mikro akan kian mudah tercapai. Kondisi makroekonomi Indonesia tahun 2021 juga diprediksi naik dari tahun 2020. Bank Dunia telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional berada di angka 4,4%. Inflasi yang jinak dan tren penguatan rupiah akan menopang fundamental ekonomi nasional ke arah yang lebih baik.

Untuk mengubah bias menjadi bullish atau penguatan, perlu melewati level resistance yang ada di area 5.000 yang merupakan level resisten psikologis dan batas BB bagian atas. Bila konsisten menembus level ini, harga saham BBRI berpotensi menguat ke level 5.608 yang merupakan level fibonacci retracement extension 23,6%.

Untuk melanjutkan tren bearish atau penurunan, perlu melewati level support yang berada di area 4.474 yang merupakan level pergerakan rata-rata 20 hari terakhir (MA20). Bila level ini berhasil ditembus, BBRI beroperasi kembali anjlok ke level 4.297 yang merupakan level pergerakan rata-rata 50 hari terakhir (MA50).

Kini RSI berada di area 60 yang belum menunjukkan adanya indikator jenuh beli maupun jenuh jual. Namun, RSI kembali terkonsolidasi naik yang biasanya menandakan pergerakan BBRI selanjutnya cenderung terapresiasi.

Kuatnya momentum ditunjukkan oleh indikator moving average convergen divergen (MACD) yang menggunakan pergerakan rata-rata untuk menentukan momentum. Dengan indikator MACD di wilayah positif, menunjukkan momentum BBRI sedang kuat. Melalui pendekatan teknikal dengan indikator BB yang berada di area batas atas, pergerakan BBRI selanjutnya cenderung bullish. Hal ini juga terkonfirmasi dengan indikator MACD yang masih berada di wilayah positif dan RSI yang terkonsolidasi.

Sumber : https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-5345176/potensi-besar-bri-umkm-rencana-akuisisi-dan-direksi-muda