Menyiasati Pendidikan Era Baru
Panta rhei kai ouden menei (Segala sesuatu berubah dan tidak ada satu hal pun yang tetap) begitu pendapat Heraklitus, seorang filsuf dari Efesus, di zaman Yunani Kuno, ketika mengamati alam semesta. Yang tetap hanyalah perubahan sedangkan semua yang lain, termasuk lajunya perubahan itu sendiripun berubah: semakin pesat! Thomas L. Friedmann, ketika mengomentari bukunya sendiri, The World is Flat, yang dipandang oleh banyak orang sebagai buku yang sangat futuristik mengatakan bahwa jika ada satu hal yang harus diralat dari buku itu maka yang perlu dirubahnya adalah deskripsi tentang lajunya perubahan. Perubahan yang sedang berlangsung melampaui bayangannya sebelumnya. Pola transmisi pengetahuan telah berubah, semakin meluas dan tak berpusat. Lahirnya internet membuat informasi terpampang di mana-mana dan dapat diakses kapan pun dan dimana saja.
Berhadapan dengan perubahan yang riil, eksponensial dan yang menggerogoti semua aspek kehidupan kita seperti ini, muncul pertanyaan yang menganggu, bagaimanakah tanggapan dunia pendidikan? Bukankah selayaknya, pendidikan dibuat agar bersifat relevan dengan pengalaman hidup yang sedang menuntut jawaban kini dan di sini? Bukankah pembelajaran harusnya bersentuhan dengan pengalaman hidup yang nyata? Apakah kurikulum, bahan ajar, cara ajar dan sistem pendidikan kita telah sanggup menyiapkan anak didik kita menanggapi tuntutan dan pertanyaan kehidupan yang setiap saat mengemuka dan menuntut jawaban? Lebih dari itu, apakah sistem pendidikan kita sudah memanfaatkan peluang-peluang yang diciptakan teknologi dewasa ini secara maksimal?
Ledakan informasi
Dalam hal informasi, ilmu dan pengetahuan, misalnya, Robert Kelley dari Carnegie-Mellon University menunjukkan bahwa dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi maka sejak abad ke-20 telah terjadi ledakan informasi yang berkelanjutan sehingga informasi yang lahir di abad tersebut nyaris melampaui seluruh akumulasi informasi yang pernah ada sepanjang sejarah. Semburan-semburan informasi terus berhamburan secara berlipatganda memenuhi jagad maya dan jagad nyata sampai kita seolah dibombardir oleh luapan informasi yang membanjir dan tak sanggup ditampung. Inilah big bombs informasi yang menuntut kerendahan hati semua pihak untuk mengakui bahwa perlahan tapi pasti tidak akan ada seseorang atau satu institusipun yang dapat mengklaim dirinya menguasai atau paling tahu tentang semua informasi yang ada, termasuk seorang guru yang paling jenius sekalipun.
Era penokohan seperti Plato, Aristoteles, Archimedes yang menguasai semua ilmu mulai dari biologi, kimia dan fisika sampai ke astronomi dan teologi telah lewat. Tidak ada seorang figur pun yang sanggup menampung semua informasi yang ada. Ilmu dan informasi telah menyebar dan berserakan. Setelah mesin cetak, internet memperluas akses sekaligus melipatgandakan informasi dan mereproduksi makna dengan intensitas yang lebih tinggi daripada yang pernah dialami dalam sejarah peradaban manusia. Pengetahuan makin menjadi komoditas bebas. Sekat-sekat ruang kelas roboh. Ilmu tidak lagi diperangkap di bangku sekolah melainkan ada di mana-mana dan semakin tak berpusat.
Menanggapi kenyataan ini, cara didik tentu patut diubah. Sekarang bukan hanya apa yang diajari (the content) melainkan bagaimana belajar (the learning process) menjadi sangat menentukan. Fokus perhatian -hendaknya- bergeser dari apa yang dipelajari (what to learn) melainkan juga pada hal bagaimana belajar (how to learn). Isi bahan ajar memang penting untuk diajarkan namun lebih dari itu bibliografi yang kaya, berbobot dan terbarukan termasuk cara mengaksesnya serta bagaimana cara mempelajarinya dan mengembangkannya lebih jauh lagi. Pendidik perlu mengajarkan tentang bagaimana mengakses informasi, ilmu, pengetahuan dan keterampilan, selain memastikan bahwa apa yang dipelajari atau apa yang diakses itu adalah yang terbaik di bidangnya. Di tengah timbunan dan banjiran informasi, seorang pembelajar harus menjadi pengunduh informasi yang tidak hanya tekun melainkan efektif. Di samping memperhatikan aspek etisnya, informasi harus bisa disaring antara mana yang penting, teruji dan akurat dan mana yang dangkal dan asal-asalan.
Pendidik berperan sebagai pelatih
Heidi Hayes Jacobs dalam ceramahnya yang bertajuk The Twenty First Century Teaching and Learning within the Common Core di Salt Lake City mengajak para pengajar di dunia pendidikan untuk mencontoh cara didik para pelatih di dunia olah raga. Di sana bukanlah para pelatih yang mengambil waktu terbanyak untuk terjun dalam menekuni sesi latihan, permainan dan pertandingan melainkan sang olahragawan yang bersangkutan. Semakin sering sang olahragawan melakukan sendiri keterampilan yang diajarkan maka semakin mumpuni dia di bidang yang bersangkutan. Practice makes perfect! ‘Ala bisa karena biasa’, demikian kata-kata bijak sejak jaman leluhur kita yang pesannya akan langgeng sepanjang masa. Peran pendidik, dengan demikian, adalah menjadi pendamping sedangkan anak didiklah actor, pelaku pembelajaran. Pendidik melatih tetapi anak didiklah yang berlatih. Pendidik menunjuk jalan bagi anak didik, mengevaluasi dan mendorong pengembangan keterampilan yang berkesinambungan namun anak didiklah yang menekuni dan menjalaninya. Pendidik menjadi model yang meneladankan apa yang diajarkannya tetapi anak didiklah yang harus menguasainya. Semakin sering anak didik menunaikan latihannya maka semakin terampillah mereka.
Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu dan Kreatifitas
Pembelajaran diarahkan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar dari dalam diri anak didik akan ilmu pengetahuan dan informasi yang aktual dan relevan dengan kehidupan terkini. Di tengah hutan informasi, hanya orang yang memiliki akses kepada informasi yang akurat dan bermutu dan yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat yang akan diuntungkan. Mereka yang takjublah yang akan berpengetahuan dan semakin terampil karena dari rasa takjublah lahir pengetahuan dan keinginan untuk menekuni sesuatu (from wonders grow knowledge and skills). Pembelajaran harus dapat mengembangkan rasa terkesima untuk terus mengeksplorasi bahan ajar secara lebih luas dan lebih dalam lagi.
Di samping rasa ingin tahu, kreatifitas perlu dibiasakan. Kreatifitas adalah salah satu atribut yang paling dicari di dunia dewasa ini karena ialah ragi kemajuan peradaban dan motor penggerak inovasi yang produktif. Tanpa kreatifitas peradaban macet, bangsa menjadi pasif dan akan menjadi pasar penadah yang hanya bisa mengkonsumsi. Kreatifitaslah pijakan untuk meloncat keluar dari stagnansi ketertinggalan suatu bangsa maupun institusi. Karena itu, ruang kelas harus menjadi ajang bagi anak didik untuk mengkonstruksi hal baru sebab kreatifitas tidak dapat dibiasakan jika tidak dimulai sejak dini, mungkin mulanya dengan meniru dan memodifikasi (karena semua keahlian awalnya datang dari kesanggupan meniru) namun kemudian beranjak untuk menghasilkan sesuatu yang lebih orisinal ataupun mendatangkan nilai tambah yang lebih besar. Proses pembelajaran dan ujian, idealnya menelurkan kreasi baru. Karya baru, bukan hafalan, menjadi hasil dari proses pembelajaran. Dengan kata lain, belajar adalah untuk menciptakan. Dari rahim pendidikan yang demikian akan lahir generasi penemu dan pencipta. Dan dengan generasi yang kreatif dan inovatif seperti inilah bangsa akan maju dan menjadi terdepan.
*Petrus Lakonawa, S.S., M.Th
Program Development Specialist di BINUS University, Jakarta.
Comments :