Bun Tin dan Hoki Segelas Es
VIVAnews – Kedai es itu hampir tak pernah sepi. Pembeli datang dan pergi. Terletak di sudut Pasar Lama, Tangerang, kedai itu memang jadi legenda. Ia sudah ada sejak 1980. Pemiliknya pun, dari dulu tetap si lelaki kurus tua itu. Namanya Lim Bun Tin. Kedai esnya dikenal sebagai Es Bun Tin.
Bun Tin seorang warga keturunan Tionghoa. Kulitnya kuning, meski matanya tak sipit. Ia memang berdarah campuran. Dia adalah salah satu warga “China Benteng” yang keluar dari lingkar kemiskinan di kampung pinggiran Tangerang itu.
Sejak lahir pada 1952, Bun Tin sudah tinggal di kawasan Pasar Lama. Rumahnya tepat di samping Klenteng Boen Tek Bio, yang tertua di Tangerang.
Seperti warga Tionghoa di Pasar Lama kebanyakan, Bun Tin bukan orang berada. Orang tuanya pedagang kecil. Ia tak sempat mengenyam bangku sekolah. Pada usia masih 14 tahun, ia berlatih berdagang. Dan ia sempat bangkrut berkali-kali.
Pada 1980, Bun Tin memilih berjualan es. “Kebetulan alatnya sudah ada. Orang tua menyediakan untuk adik, tapi dia nggak minat,” ujarnya pada VIVAnews.
Es memberinya hoki. Baru tiga hari buka, kedainya laris manis. “Saya buka 2 Januari, tiga hari berturut-turut saat itu hujan. Tapi tetap banyak yang beli,” ujarnya. Kala itu, jualannya hanya kopi dan es campur dengan dua varian rasa: cokelat dan vanilla.
Para remaja, sepulang sekolah kerap mengerubungi kedainya yang berlokasi di beranda rumah. Orang-orang dewasa pun tak kalah. Nama Es Bun Tin akhirnya mereka usulkan. Bun Tin yang saat itu sudah beristri dan beranak satu langsung merasa, peruntungannya ada pada berjualan es.
Jatuh bangun
Berjualan es ternyata tak semanis yang dipikir Bun Tin. Lelaki bernama alias Suriyakitti Halim itu sadar, dia harus bersusah payah setiap hari. Saat fajar menyingsing, ia sudah harus berbelanja sendiri di pasar.
Cincau, susu, buah, sampai balok es ia tenteng dengan kedua tangan kurusnya. Sang istri kebagian meracik sirop untuk pemanis es. Di zaman harga serba naik, dan barang-barang kebutuhan pokok begitu langka, Bun Tin pernah ikut antrean membeli minyak dan gula.
Tempatnya berjualan di samping klenteng pun harus kena “gusur”. Sepetak tempat bernuansa klasik yang dindingnya dipenuhi poster Bung Karno itu diambil yang lebih berhak. Jika ingin menempati, ia harus membayar uang sewa sekitar Rp26 juta per tahun. Jumlah itu terlalu tinggi untuknya.
Akhirnya, Bun Tin mengungsi. Ia menyewa sepetak ruang di depan Klenteng Boen Tek Bio. Sewanya kata dia lebih murah. Di sana lah kini ia berkutat dari pagi hingga sore. Di sampingnya, ada kedai penjual makanan dan minuman lain.
Untunglah, Es Bun Tin tetap meraja. Ia tak kehilangan pelanggan. Hanya beberapa yang tak datang lagi, sejak kerusuhan yang melibatkan etnis Tionghoa sekitar 1998. Namun, itu tak membuat usahanya pincang. Bapak dua anak itu tetap menjajakan es demi menyambung hidup.
Manisnya gula, manisnya laba
Tak mengenyam pendidikan bukan berarti bodoh. Buktinya, Bun Tin tahu betul bagaimana menyukseskan sebuah usaha. Ia paham, pelanggannya akan bosan jika menu di kedainya itu-itu saja. Lelaki dengan 17 saudara kandung itu lantas bereksperimen soal rasa.
“Kebetulan saya memang hobi merasakan makanan,” ucapnya sambil tersenyum. Maka ia mencoba berbagai variasi sirop yang mulai beredar di pasaran. Satu demi satu, ia padankan dengan ragam es yang dijual. Hingga kini, ia punya beragam menu es segar yang didapat dari 11 variasi sirop.
Menu es campur, misalnya. Bisa dipadukan dengan susu cokelat dan sirop leci, susu cokelat dengan sirop stroberi, susu vanilla dengan sirop leci, atau susu vanilla dengan sirop stroberi. Begitu pula dengan menu es lainnya. Variasi sirop itu, disebutnya dengan “gula”.
“Jadi kalau bosan sama susu atau gula tertentu, bisa coba yang lain. Orang kan penasaran juga ingin mencampur-campur rasa,” kata Bun Tin. Tapi, ia tak sembarang memadupadankan sirop. “Harus saya rasakan dulu, pas atau tidak. Nggak asal comot dari satu merek sirop,” ia melanjutkan.
Kini, menunya juga tak semata es campur. Bun Tin juga menawarkan es jeli, es putsal, es aneka buah, sampai beragam jus. “Es jeli itu isinya serba jeli yang kenyal. Es putsal, kependekan dari putri salju, isinya serba putih. Es aneka buah, isinya buah-buahan,” ujarnya.
Hampir tiap tahun, Bun Tin membuat satu eksperimen. Pada VIVAnews ia membocorkan, akan mencampurkan jus buah dengan jeli. “Saya mau serut jelinya jadi seperti sarang burung, ditaruh di atas jus. Jadi kalau diseruput enak,” katanya lagi. Tapi, menu barunya itu belum dicoba.
Berkat kemahirannya memadupadankan rasa, pelanggan Es Bun Tin membludak. Tak hanya warga Pasar Lama yang mengunjungi kedainya. Orang-orang dari Bogor dan Jakarta pun berdatangan hanya untuk menyesap manis dan segarnya Es Bun Tin.
Dalam sehari, ia bisa menjual rata-rata seratus mangkuk es. Itu di hari normal. Khusus Minggu, pelanggannya lebih banyak lagi. “Saya sampai nggak bisa duduk istirahat. Kadang kalau sudah benar-benar capek, saya bilang esnya habis dan mau tutup,” ujarnya santai.
Masing-masing menu, dihargai sekitar Rp6 ribu sampai Rp14 ribu.
Sampai setua ini, Es Bun Tin memang dilakoninya sendiri, dibantu sang istri. Ia tak percaya jika harus menyerahkan kedainya pada tangan orang lain. Menurutnya, hoki ada pada tangannya sendiri. Itu pula alasannya tak membuka cabang meski banyak yang meminta.
“Meskipun resepnya sama, bahannya sama, rasanya bisa beda,” katanya. Jadilah, mulai belanja, bereksperimen, melayani pesanan, sampai meracik es, semua ia jalani sendiri.
Bun Tin memang selalu ingin belajar dan mencoba hal baru. Berkat kerja tekun itulah, lelaki 62 tahun itu berhasil. Dua anaknya kini telah merampungkan sekolah. Satu tamat SMA dan sudah bekerja, satu alumnus kampus Binus. “Dari jualan es saya sudah bisa sekolahin anak, nikahin anak, kasih rumah buat anak,” ujar lelaki itu. (np)
Comments :