Foto: Prof. Juneman menyampaikan Orasi Ilmiah dalam acara Pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Psikologi Sosial

Foto: Prof. Juneman menyampaikan Orasi Ilmiah dalam acara Pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Psikologi Sosial

Korupsi berpangkal pada korupsi ilmu. Keduanya memiliki kompatibilitas. Baik otoritas publik maupun otoritas sains kehilangan kualitas-kualitas positifnya karena misapropriasi, penyalahgunaan otoritas yang dipercayakan, untuk kepentingan-kepentingan yang jauh lebih sempit …. Transparansi merupakan syarat perlu untuk mengatasi korupsi, namun tidak cukup. Transparansi tanpa pemahaman/pengertian hanya akan menghasilkan korupsi terbuka. Sains Terbuka tanpa Trajektori berbasis Pancasila, Agama, dan Konstitusi, tidak akan efektif melawan korupsi ilmu.” – Prof. Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.

Prof. Juneman menyampaikan gagasan dalam orasi ilmiah yang berjudul, “Melawan Korupsi Ilmu: Trajektori Sains Terbuka dan Psikoinformatika”. Dia menggagas bahwa melawan korupsi berawal dari melawan korupsi ilmu, dan melawan korupsi ilmu berawal dari pemahaman yang tepat tentang korupsi. Pemahaman yang tepat tidak mungkin dihasilkan oleh sains yang terkorupsi (corrupted).

Ia mengutip sebuah data bahwa sepanjang tahun 2017 hingga 2022, terdapat kasus yang mengindikasikan tautan antara korupsi seorang pejabat publik – yang merugikan negara 4,3 triliun rupiah – dan dugaan plagiat karya ilmiahnya. Meskipun tidak terbukti secara hukum di tingkat Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, namun Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemristekdikti sempat menyatakan adanya temuan tentang plagiasi itu.

Ia menandaskan bahwa ada hubungan yang kuat antara korupsi ilmu dan korupsi yang umumnya kita pahami, dan keduanya dapat saling mempengaruhi. Korupsi ilmu dapat memudahkan mereka yang berkuasa untuk terlibat dalam korupsi ekonomi maupun politik dengan memanipulasi pengetahuan dan persepsi publik. Sebaliknya, korupsi dapat berkontribusi pada korupsi ilmu dengan mendistorsi atau menekan informasi yang dapat mengungkap praktik korupsi.

Prof. Juneman mengawali pokok pikirannya dengan menyatakan bahwa kendala terbesar melawan korupsi berasal dari pemahaman yang sempit tentang istilah ‘korupsi’. Selama ini, korupsi hanya dipahami sebatas penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan (entrusted power) untuk meraih kepentingan pribadi.

Prof. Juneman mengajak kita untuk meluaskan cakrawala korupsi dengan konsep “Manusia terkorupsi (corrupted people)”. Manusia dapat menjadi koruptor terhadap sesamanya, tidak terbatas pada korupsi finansial.

Koruptor sesungguhnya adalah dia/mereka yang memberikan tekanan baik secara kejiwaan (psikologis) maupun kebudayaan (kultural) kepada orang/pihak lain, sehingga kapasitas dan talenta yang lain itu mengerut dan aktualisasi hidupnya terhambat.

Koruptor sendiri adalah manusia yang telah terkorupsi (corrupted) oleh egonya. Ia kehilangan orientasinya untuk berkontribusi menghadirkan solusi terhadap masalah-masalah di sekitarnya, bahkan bersedia untuk menjadi palsu (counterfeit).

Diri palsu terjadi ketika orang menyangka bahwa kepemilikannya atas benda-benda, juga bakat maupun kemampuan, merupakan hal penting yang menyusun identitas dirinya. Hal ini seringkali merupakan hasil tekanan lingkungan yang menghargai hal-hal tersebut dari penampakan/permukaannya. Demi kepemilikan yang sebanyak-banyaknya, orang mencitrakan kinerjanya seolah-olah lebih baik daripada yang sebenarnya meskipun harus menggunakan cara-cara yang tidak beretika.

Padahal, nilai-nilai religius yang hidup dalam masyarakat Indonesia telah lama memotivasi manusia Indonesia untuk adil sejak dalam pikirannya, bahwa segala kepemilikan, konsumsi, dan kehebatan manusia bukanlah hal yang penting kecuali ditundukkan dalam relasinya dengan Yang Maha Kuasa.

Identitas manusia yang hakiki terletak pada usaha sadar manusia untuk “memberikan diri” (selflessness, psychological decentering) dengan pelayanannya kepada Yang Maha Kuasa melalui pelayanannya kepada sesama. Dengan begitu, manusia pasti tidak akan mengacaukan perbedaan antara ‘aku’ dan ‘milikku’ karena “milikku” sebenarnya hanyalah sebuah “kecelakaan sejarah yang dititipkan-Nya kepadaku”.

Pemahaman tentang identitas manusia itu lah yang digagas oleh Prof. Juneman agar diintegrasikan dengan cara kita memahami korupsi.

Ilmu Terkorupsi dalam Ekosistem Sains Global

Sayangnya, pemahaman demikian sulit tercapai karena manusia Indonesia telah terasing dari pengetahuan tentang diri dan komunitasnya sendiri. Keterasingan ini diistilahkan Prof. Juneman sebagai “krisis pengetahuan tentang manusia”.

Penyebab dari krisis itu adalah karena pengabaian kita untuk memadukan pengetahuan antara ‘yang global dan yang lokal’, ‘yang Barat dan yang Timur’, ‘yang Utara dan yang Selatan’. Di sinilah korupsi ilmu terjadi.

Kita lebih sering terpukau dan bergairah untuk menyediakan mata dan telinga kita untuk membaca dan mendengarkan “satu sisi”, yaitu apa kata Sains Global (dengan sumber pengetahuan dan metode dari negara-negara Barat dan Utara) tentang Indonesia ketimbang apa kata peneliti kita yang berdedikasi tentang negeri kita sendiri.

Padahal Sains Global saat ini cenderung menghasilkan ilmu yang terkorupsi (corrupted science). Ini ditandai dengan krisis reprodusibilitas/replikabilitas, yang secara sederhana berarti hasil dari banyak studi ilmiah sulit atau tidak mungkin untuk dijumpai kembali dalam studi berikutnya.

Krisis itu disebabkan akibat tekanan ekosistem sains global yang egosentrik dan kompetitif. Banyak dosen dan peneliti – termasuk di Indonesia – berlomba-lomba untuk secara instan mendongkrak jumlah publikasi, sitasi, H-index, karena hal-hal tersebut telah menjadi “mata uang” dalam ekosistem akademik dewasa ini.

Semakin semarak bias-bias publikasi ilmiah (misalnya, menerbitkan hasil-hasil yang secara statistik signifikan atau “dibuat signifikan”; memutarbalikkan hipotesis riset agar sejalan dengan hasil yang dianggap lebih berpotensi untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah), pelaporan berstandar lemah (misalnya, menyembunyikan informasi proses penelitian), dan penyalahgunaan ukuran-ukuran publikasi (misalnya, mengagungkan Quartile Scopus atau pun Impact Factor Web of Science sebagai ukuran kualitas riset, padahal sejatinya tidak tepat demikian).

Krisis tersebut telah meluluhlantakkan sejumlah temuan psikologi yang pernah dianggap kuat (robust) di banyak cabang psikologi. Psikologi yang demikian, menurut Prof. Juneman, disebut sebagai “Psikologi yang terkorupsi (corrupted psychology)” dan dapat dapat menimbulkan konsekuensi serius, seperti menyesatkan publik dan merusak kepercayaan publik terhadap psikologi. Jika psikologi terkorupsi, maka pemahaman tentang manusia pun terkorupsi.

Jalan Sains Terbuka Indonesia dan Basis Pancasila

Sains Terbuka (Open Science) hadir sebagai solusi untuk mengatasi korupsi ilmu sejak dari pembentukan ilmu. Dalam hal ini, Sains Terbuka bukan hanya sebatas membuat proses-proses penelitian menjadi terbuka/transparan (dengan pra-pendaftaran riset, protokol terbuka, laboratorium terbuka, data terbuka, akses terbuka, kutipan terbuka, ulasan terbuka pascapublikasi, dan sebagainya) sehingga dapat diverifikasi siapapun, juga bukan hanya Akses Terbuka (Open Access), yaitu membuat artikel dan data ilmiah tersedia bagi siapapun.

Melainkan juga, Sains Terbuka menghendaki keterlibatan warga (public engagement, citizen science) dan menghasilkan sains yang menghargai keragaman cara mengetahui (termasuk kultur indijenus yang seringkali kurang terepresentasi di jurnal-jurnal ilmiah) dan yang terkomunikasikan dengan baik pada masyarakat sebagai pemangku kepentingan sains yang utama.

Masalahnya, Sains Terbuka juga tidak lepas dari tudingan-tudingan, seperti ada tuduhan bahwa Sains Terbuka bermuatan ideologi neoliberal untuk menyerahkan proses sains kepada pasar, juga sedang mempromosikan model bisnis akademik yang baru di tengah kejenuhan proses sains saat ini, serta menjadikan warga hanya sebagai “pekerja lepas” yang dieksploitasi pikirannya.

Prof. Juneman mengungkap bahwa mendesak adanya basis etis (ethical basis) dari trajektori (lintasan jalan) untuk Sains Terbuka di Indonesia yang tak tergoyahkan, dan orasi Prof. Juneman menyatakan Pancasila dan Agama adalah basis trajektori sains terbuka.

Pada ulasan sebelumnya, sudah dikemukakan, mengapa agama (sebagai spiritualitas, moralitas publik) layak sebagai penyempurna pemahaman antikorupsi.

Pancasila pun layak sebagai dasar dari trajektori Sains Terbuka dalam melawan korupsi ilmu karena Pancasila menginginkan Perikemanusiaan, Keadilan Sosial, Demokrasi, Kebangsaan, Ketuhanan yang juga diidealkan oleh Sains Terbuka.

Sebagai contoh, gerakan Sains Terbuka setuju bahwa akademisi harus diapresiasi atas upayanya meningkatkan transparansi, seperti berbagi data. Hal ini sejalan dengan nilai persatuan. Berbagi data (data sharing) – selain mencegah menipulasi hasil – sangat mendukung nilai-nilai persatuan dalam keragaman (unity in diversity) – khususnya di era dewasa ini yang nyaris tanpa sekat dan yang semakin mengandalkan data besar (big data) untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.

Alih-alih hanya mengandalkan jurnal ilmiah dan gengsinya, gerakan Sains Terbuka mempromosikan keilmuwanan terbuka (open scholarship), yang memungkinkan akses langsung dan universal ke karya ilmiah melalui berbagai platform. Hal ini mendorong evaluasi setiap karya (bukan hanya paper jurnal, tetapi juga data, kode, protokol, reagen, dan materi pelatihan keterampilan) berdasarkan kelayakannya, bukan berdasarkan tempat dan indeks publikasinya. Hal itu sejalan dengan nilai demokrasi.

Melawan Korupsi Ilmu: Personal, Organisasional, hingga Negara

Prof. Juneman menyerukan kita semua untuk “berhenti bermain” dalam arti berhenti mengeruk keuntungan – secara langsung maupun tak langsung (misalnya, melalui ranking, insentif publikasi, dan sebagainya) – dari ekosistem sains yang diciptakan oleh para penerbit kapitalistik. Tidak hanya itu, tetapi juga mengubah sistem yang mendorong ketimpangan itu melalui Trajektori Sains Terbuka.

Rangka dari trajektori (lintasan jalan) ini terdiri atas tiga sumbu, yakni sumbu personal, sumbu komunitas, dan sumbu negara. Kombinasi ketiganya diharapkan menuju pada demokratisasi pengetahuan, yaitu pengetahuan untuk semua.

Sumbu personal dari trajektori mendorong untuk menghubungkan aktivitas sains terbuka (yaitu gerakan dan praktik yang bertujuan untuk membuat pengetahuan ilmiah multibahasa tersedia secara terbuka, dapat diakses dan digunakan kembali untuk semua orang; dalam definisi UNESCO, 2021) dengan kesehatan dan kesejahteraan pribadi para dosen/peneliti, memberikan insentif terhadap “karier sains terbuka” mereka, serta pengembangan ilmu yang tidak berlandaskan pada ukuran evaluasi kinerja yang gampang dicurangi/dipermainkan.

Sumbu komunitas dari trajektori mendorong agar para ilmuwan melibatkan warga bukan hanya sebagai pekerja lepas untuk menghisap kebijaksanaan orang banyak (wisdom of the crowd), melainkan secara bersama-sama saling meningkatkan kapasitas untuk berjejaring dan mengaplikasikan prinsip-prinsip ilmiah serta prinsip-prinsip keterbukaan dalam hidup keseharian mereka.

Perlu ditumbuhkan model-model organisasional yang menjembatani asosiasi profesi dengan komunitas warga yang berminat terhadap pengembangan ilmu. Mereka bersama menjadi pengawal sains agar ilmu tidak kembali dikorupsi.

Sumbu negara dari trajektori mendorong agar politisi berdasarkan Pancasila dan konstitusi, khususnya mereka yang menduduki jabatan publik, mendorong struktur kebijakan yang kondusif bagi kegiatan-kegiatan penemuan akademik kolaboratif dari ilmuwan dan warga umumnya, seperti memperoleh informasi, mengkritik argumen, memperdebatkan ide, mengevaluasi bukti, dan menelaah berbagai proposal kebijakan publik.

Hal tersebut diyakini akan turut menguatkan selain sains itu sendiri tetapi juga lembaga-lembaga politik menjadi jauh lebih efisien, serta memenuhi mandat masyarakat secara lebih efektif.

Mulai dengan berjejaring mengadvokasi pengetahuan atau sains sebagai barang publik, dan menjadikan Sains Terbuka sebagai salah satu metode penting dari pembangunan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa, dan karenanya politisi perlu merumuskan Peta Jalan Sains Terbuka Nasional dengan mempertimbangkan masukan masyarakat.

Trajektori yang merupakan gabungan ketiga sumbu inilah yang akan menjadi kerangka kerja kita dalam melawan korupsi ilmu. Trajektori ini akan melengkapi upaya Universitas Bina Nusantara yang sudah memiliki dua kebijakan institusional yang penting, yaitu (1) Mahasiswa nyontek dikeluarkan dari universitas, (2) Alumni yang korupsi, dicabut gelar sarjananya (Kompas.com, 2021), serta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah.

Ilustrasi: Kampanye Menjunjung Integritas yang diterapkan BINUS UNIVERSITY

Ilustrasi: Kampanye Menjunjung Integritas yang diterapkan BINUS UNIVERSITY

Dalam konteks itu, Psikoinformatika yang diintegrasikan dengan Trajektori Sains Terbuka Indonesia sangat potensial sebagai instrumen melawan korupsi ilmu.

Psikoinformatika – sebuah sub-disiplin Psikologi baru yang menggunakan alat dan teknik dari ilmu komputer dan ilmu informasi untuk meningkatkan pemerolehan, peorganisasian, dan sintesis data psikologis  – sangat potensial membantu meningkatkan mutu aspek prosedural penelitian, termasuk prosedur riset dan asesmen yang secara serius mempertimbangkan dimensi-dimensi situasi.

Psikoinformatika berpeluang untuk mengembangkan alat bahkan platform untuk mengatasi permasalahan yang berdampak pada inkredibilitas Psikologi.

Prof. Juneman menutup orasinya dengan menyatakan bahwa Sains Terbuka bersama Psikoinformatika hadir dengan upaya-upaya mencegah dihasilkannya sains yang terkorupsi, untuk masa depan psikologi dan pembangunan yang lebih baik. Sains yang terkorupsi adalah ilmu yang orientasinya bukan sebagai barang publik (public goods), melainkan memiliki motif kepentingan privat (finansial, prestise), memiliki bias ideologis, dan hasil dari tekanan produktivitas yang terlampau besar.

Pembangunan hanya akan efektif apabila didasarkan pada kebijakan publik yang melandaskan diri pada sains yang berintegritas, kuat, dan berorientasi pada masyarakat.

Menjadi Guru Besar Untuk Kontribusi Yang Lebih Besar Bagi Masyarakat

Foto: Prof. Juneman didampingi Dewan Pelantik dan Guru Besar Tamu

Foto: Prof. Juneman didampingi Dewan Pelantik dan Guru Besar Tamu

Orasi ilmiah yang berjudul “Melawan Korupsi Ilmu: Trajektori Sains Terbuka dan Psikoinformatika,” disampaikan dalam acara Pengukuhan Guru Besar Tetap bidang Psikologi Sosial Universitas BINA NUSANTARA pada tanggal 29 Maret 2023 di Auditorium BINUS UNIVERSITY Kampus Anggrek.

Upacara Pengukuhan dilakukan pada Sidang Terbuka yang dipimpin oleh Ketua Senat dan Rektor BINUS UNIVERSITY, Prof. Dr. Ir. Harjanto Prabowo, M.M. serta dihadiri Dewan Guru Besar BINUS UNIVERSITY dan Guru Besar Tamu, Pimpinan BINA NUSANTARA, keluarga, dan tamu undangan.

Prof. Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. merupakan Guru Besar Tetap kedua puluh dan menjadi yang termuda yang dikukuhkan BINUS UNIVERSITY. Sebelas tahun berkarir sebagai akademisi membawanya meraih Jabatan Akademik sebagai Guru Besar dalam Bidang Psikologi Sosial. Prof. Juneman merupakan ahli dalam bidang Psychology of Corruption, Integrity, Open Science, Psychoinformatics, Psychology of Public Policy, Consumer Psychology, and Social Psychology. Saat ini beliau tercatat sebagai Research Interest Group Leader – Consumer Behavior and Digital Ethics dan Faculty Member – Psychology Department, Faculty of Humanities BINUS UNIVERSITY.

Pengukuhan Prof. Juneman sebagai Guru Besar bidang Psikologi Sosial turut dihadiri Direktur Penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Bapak Brigjen Pol. Asep Guntur Rahayu, S.I.K., S.Psi., M.H. Dalam wawancaranya dengan BINUS TV, Brigjen Asep menyampaikan bahwa isi orasi Prof. Juneman akan diserahkan kepada Pimpinan KPK untuk meningkatkan pencegahan korupsi melalui Pusat Pendidikan Antikorupsi.

Dengan menjadi Guru Besar, secara khusus Prof. Juneman berharap dapat turut membantu menyelesaikan salah satu masalah sosial yang mendasar dan kronis di Indonesia, dengan menghasilkan naskah kebijakan maupun platform antikorupsi berbasiskan sains terbuka dan psikoinformatika yang dapat dimanfaatkan baik oleh pemerintah, lembaga bisnis dan swasta, maupun masyarakat pada umumnya.

Microsite Guru Besar:

https://binus.ac.id/guru-besar/juneman

BINUS TV Channel:

https://youtu.be/16WLYH7dNo4