Mohamad Ikhsan Modjo
Dosen Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas BINUS

Hidup di tengah pandemi adalah hidup di tengah ketidakpastian dan resiko, yang akhirnya memicu juga satu pandemi lain berupa pandemi ketakutan (pandemic of fear) di tengah masyarakat.
.
Rasa takut nemberi efek spiral pada dampak di bidang kesehatan, sehingga kemudian menyebabkan krisis multidimensi di semua aspek kehidupan sosial ekonomi.

Takut pula menyebabkan pembatasan dan karantina sosial, yang selanjutnya menyebabkan berhentinya proses produksi dan jatuhnya konsumsi, hingga menekan ekonomi pada titik nadir.

Berbagai ketidakpastian dan resiko ini hanya bisa ditekan melalui tes secara masif serta ditemukannya vaksin yang efektif dalam mencegah dan melawan virus Covid-19. Selama kedua hal ini tidak terjadi, maka segala aktivitas dan kegiatan sosial memiliki resiko.

Bagi Indonesia, resiko yang ada belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Informasi hingga 6 Juni 2020 menunjukkan baik jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 terus meningkat. Bahkan untuk keduanya Indonesia termasuk tertinggi di kawasan Asia Tenggara, di posisi kedua teratas setelah Singapura.

Dengan sederet kerusakan yang ditimbulkan, maka pertanyaannya kapan Pandemi Covid-19 ini akan berakhir?

Dari sejarah yang ada, satu pandemi akan berakhir untuk dua alasan: alasan medis dan alasan sosial. Pandemi berakhir karena alasan medis dengan ditemukannya vaksin yang bisa memberikan kekebalan untuk melawan virus. Sementara secara sosial, pandemi berakhir bila masyarakat sudah mencapai satu tahap di mana frustasi dan lelah terhadap rasa takut yang disebabkan pandemi memunculkan keberanian untuk memulai aktivitas walau dengan segala resiko yang ada.

Dari segi medis dan pengobatan, puluhan bahkan ratusan upaya tengah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk menemukan vaksin yang bisa memberikan kekebalan terhadap Covid-19.

Namun ikhtiar ini membutuhkan proses. Mereka yang paling optimis pun menyebut bahwa paling cepat baru pada awal 2021 vaksin yang efektif melawan Covid-19 bisa ditemukan. Selain itu, selalu ada kemungkinan untuk gagal dan tidak ditemukan vaksin sama sekali.

Sebab sejarah pandemi adalah juga sejarah pertarungan antara satu virus yang mematikan dan kemajuan pengetahuan manusia di bidang pengobatan dan medis.

Fakta yang tidak menyenangkan adalah pertarungan ini lebih sering dimenangkan oleh virus. Satu hal yang menunjukan betapa lemah dan selalu tertinggalnya kemajuan peradaban manusia di bidang pengobatan dan medis dibanding penyakit baru yang muncul.

Dalam sebuah artikelnya belum lama ini, Gina Kolata, jurnalis sains terkemuka Amerika, menulis bahwa dalam sejarah sangat jarang ditemukan vaksin efektif melawan virus yang menyebabkan pandemi besar yang menewaskan ratusan ribu sampai jutaan manusia seperti Bubonic Plaque (Black Death), Flu Spanyol 1918, dan Flu Hong Kong 1968.

Bahkan menurut Gina, virus penyebab pandemi Flu Hong Kong 1968 masih ada dan hidup sampai saat ini di dunia sebagai penyakit flu musiman, tanpa pernah ditemukan vaksin yang memberikan daya imun.

Alhasil, tidak mengherankan bila sebagian besar pandemi di dunia berakhir bukan karena alasan medis, dengan ditemukannya vaksin, Akan tetapi mayoritas pandemi berakhir karena alasan sosial. Di mana frustasi terhadap kerusakan dan kelelahan akan rasa takut terhadap pandemi membuat masyarakat memberanikan diri melanjutkan kembali aktivitas sosial ekonomi.

Demikian pula agaknya dengan pandemi Covid-19, ia akan berakhir lebih dahulu secara sosial ketimbang secara medis. Terbukti, banyak negara berangsur membuka diri dan melakukan relaksasi dari pembatasan dan karantina sosial. Termasuk Indonesia yang mencoba bertransisi meski pandemi masih tinggi.

Tentu langkah ini menyebabkan perdebatan sengit. Para ahli medis dan kesehatan dengan alasan keselamatan nyawa publik keras menolak langkah pelonggaran., Sementara sebagian elemen lain masyarakat, yang dimotori kalangan pengusaha, dengan alasan ekonomi mengadvokasi diakhirinya pembatasan dan karantina sosial.

Satu perdebatan yang rumit mengingat kedua belah pihak memiliki alasan yang sama-sama kuat. Namun sebagaimana biasanya, argumen yang bersandar pada alasan ekonomi hampir selalu saja dimenangkan dalam sebuah perdebatan kebijakan publik.

Untuk itu new normal nampaknya adalah sebuah keniscayaan. Karena suka tidak suka, diakui aku tidak, pandemi Covid-19 akan segera berakhir, setidaknya secara sosial.

New normal sendiri adalah hidup dengan tetap melakukan berbagai aktivitas sosial-ekonomi, walau menerapkan beberapa protokol tindakan untuk meminimalisir resiko penularan. Satu hal yang menuntut perubahan pada pola rutinitas dan kebiasaan dalam berbagai aktivitas sosial ekonomi.

New normal beresiko meningkatnya kembali penularan virus Covid-19 sebagaimana pengalaman di beberapa negara. Korea Selatan, misalnya, new normal meningkatkan kembali penularan virus Covid-19, lazim disebut sebagai pandemi gelombang kedua (second wave). Akibat second wave pandemi, otoritas Korea pun menunda new normal dan memperpanjang kewajiban pembatasan dan karantina sosial bagi rakyatnya.

Namun new normal tidak selalu gagal. Contoh kasus di Asia adalah Hong Kong yang sukses menerapkan new normal dan menghindari second-wave dari pandemi. Begitu juga beberapa negara di Eropa seperti Austria dan Jerman, berhasilkan menerapkan new normal dengan tidak adanya lonjakan kasus penderita Covid-19 terkonfirmasi.

Kesuksesan beberapa negara ini pada intinya bersandar pada dua hal: terus dilakukannya pengujian, pelacakan dan pengobatan (testing, tracing and treatment) secara masif kepada penderita dan diduga penderita Covid-19. Serta, adanya disiplin tinggi dalam menerapkan protokol kesehatan di berbagai aktivitas.

Hal pertama sangat tergantung pemerintah di pusat dan daerah dalam menyediakan fasilitas untuk pengujian, pelacakan dan pengobatan secara menyeluruh dan terjangkau, karena sifatnya yang sudah menjadi barang publik.

Hal kedua balik ke pada kesadaran individu pribadi masing-masing, untuk tidak lengah dan tetap berdisiplin menerapkan protokol yang ada dalam beraktivitas kembali.

Dr. Ikhsan Modjo, FM STR Finance di Fakultas Ekonomi dan Komunikasi