Suara.com – Semasa SMP, Tyovan Ari Widagdo pernah menjadi hacker kartu kredit. Begitu SMA, di usia 17 tahun, lelaki kelahiran 12 Januari 1989 mendirikan perusahaan berbasis digital.

Dia memulainya dari Wonosobo tahun 2005, saat internet masih jadi barang mahal, sekali pun di Ibu Kota, Jakarta.

Jebolan fakultas ilmu komputer Universitas Binus itu menjadi salah satu dari sedikit anak muda Indonesia yang kiprahnya diakui dunia. Tahun 2007 lalu, Forbes memberikan predikat sebagai inovator muda global dan pendiri muda yang luar biasa dari Asia.

Perjalanan Topan, sapaan akrabnya, tak mulus. Mulai dari jadi hacker, sampai menjadi otak inovasi digital di Indonesia. Sekarang Topan tengah mengembangkan website dan aplikasi yang berguna untuk publik Indonesia.

Sisi kemonceran perjalanan inovasi Topan tak lepas dari latar belakangnya. Topan prihatin dengan era digital dan informasi saat ini yang justru tidak melindungi pengguna internet di Indonesia.

“Indoesia sekarang dijajah sebetulnya secara ekonomi. Ini tambah lagi dijajah secara digital. Kedaulatan kita sudah nggak ada. Ketika kita masuk ke dunia digital, ya nggak ada kedaulatan sama sekali,” kata Topan.

Kasus kebocoran data Facebook baru-baru ini, menurut Topan perlu dijadikan pemicu agar pemerintah Indonesia mendukung pengembangan aplikasi lokal. Agar datanya tidak lari ke luar. Contoh saja apa yang sudah dilakukan Cina saat ini.

Suara.com panjang lebar mengobrol santai dengan Topan di kantornya di kawasan Gambir, Jakarta Pusat akhir pekan lalu.

Di antara isi obrolannya soal perjalanan kariernya hingga menjadi salah satu inovator berpengaruh di Indonesia.

Berikut wawancara lengkapnya:

Anda mendirikan perusahaan berbasis teknologi di usia yang sangat muda. Bagaimana perjalanan karier Anda hingga menekuni dunia IT?

Saya sudah suka IT dari SMP tahun 2005. Waktu itu karena suka main game dan duit habis karena buat rental Play Station. Saya berpikir, kok duit habis terus? Minimal gratis lah kalau main. Lalu saya pikir bagaimana cara bikin game?

Saat SMP sudah belajar komputer, saya berpikir sepertinya harus diperdalam. Dari situ saya mulai belajar lagi, diseriuskan dengan pakai komputer di warnet dan komputer sekolah. Saya belajar otodidak Karena yang bisa di Wonosobo cuma saya saja.

Saya tidak bisa menemukan orang yang bisa mengajarkan. Jadi saya belajar lewat buku dan internet. Dari belajar membuat game, saya nyasar kedunia hacking. Bukan mau bikin game, malah hacking.

Saya perdalam terus, sampai bisa bikin aplikasi, software, virus dan antivirusnya. Bahkan saya pernah hack kartu kredit Belanda untuk belanja. Tapi sebatas penasaran saja, bukan murni cari duit.

Saat kelas 1 SMA, saya chatting dengan bule Amerika pakai Yahoo Messenger. Karena bule itu mau ke Indonesia, saya minta untuk mampir di Wonosobo. Dia tanya, Wonosobo itu apa? Masa nggak ada waktu searcing. Saya merasa aneh, kok bisa nggak ada Wonosobo?

Di luar Wonosobo, internet sudah lumayan. Akhirnya saya cek situs pemerintah. Kebetulan aku bisa, akhirnya aku bikin portal Wonosobo, bikin projek mercusuar, mempromosikan Wonosobo, bikin sendiri dengan modal Rp100 ribu.

Website itu saya promosikan ke dinas-dinas saat masih berseragam SMA. Tapi tidak direspon. Sampai saya bertemu humas Pemda Wonosobo, dan usulan saya diterima sampai launching, ewonosobo.com. Beberapa hari setelah launching, websitenya mati. Hanya saja website itu bisa dibuka di luar. Curiganya ada yang retas.

Ternyata diblokir salah satu orang pemda sendiri. Nggak tahu tujuan blokir itu apa? Akhirnya saya bertemu bupati, bertemu ahli IT, dan besoknya website itu hidup kembali. Saya tahu pelaku blokirnya. Sampai hari ini orang-orangnya masih kesal.

Akhirnya saat itu, saya diangkat jadi staf khusus bidang I, dapet SK Bupati ketika masih SMA. Saya mengelola Friendster Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arif (2005 – 2016). Dia pejabat publik pertama yang punya sosial media.

Lalu mulai kapan Anda memulai membuat perusahaan?

Saat masih SMA itu, saya membuat CV. Saya datang ke notaries, bikin perusahaan apa? IT? Vemobo System. Saat itu nggak ada yang mengerti. Karena nggak boleh pakai bahasa Inggris, saya pakai nama citra angkasa. Saya butuh untuk menjalankan bisnis software.

Tapi untuk membuat perusahaan itu, pendirinya harus minimal usia 21 tahun. Akhirnya saya pulang dan putar otak. Saya bikin KTP dengan menambah usia jadi 21 tahun. Tapi tetap ditolak notaris karena mencocokan wajah nggak sesuai. Karena wajah saya masih kayak anak kecil.

Tapi saya terus datangi notaris yang berbeda, akhirnya bisa juga membuat perusahaan. Saya sendirian mengerjakan proyek kurang dari 2 pekan, honor pertama saat itu Rp25 juta. Uangnya saya belikan laptop Toshiba Rp23 juta. Laptop itu setiap hari saya tenteng ke sekolah. Selain itu langganan internet IM2 Rp600 perbulan.

Saat membuat perusahaan, berapa usia Anda?

Aku bikin perusahaan kelas 2 SMA berusia 17 tahun. Sata mulai bisa membayar tim kerja setelah mendapatkan project dari pemda, dan saya punya kantor di Pemda Wonosobo.

Lalu Anda ke Jakarta setelah kuliah…

Di Jakarta, saya semakin berkembang, banyak project. Hampir semua project kementerian pernah saya kerjakan. Tahu 2012, aku pernah jadi reporting coordination SBY.

Anda membuat aplikasi Bahaso, aplikasi yang membuat orang bisa belajar bahasa Inggris via online. Sudah sejauhmana perkembangannya?

Idenya, karena saya dulu nggak punya uang buat les bahsa Inggris. Aku merasa orang Indonesia pendidikannya harus dinaikkan. Knowledge basicnya bahasa Inggris. Kalau orang menguasai Bahasa asing, tingkat ekonominya naik. Karena itu personal experience.

Karena aku belajar IT, semua materinya Inggris. Jadi aku ke warnet bawa kamus. Lama-lama jadi mengerti polanya. Dari bisa bahasa Inggris, aku bisa belajar IT, dari bisa IT aku dapet duit banyak. Project ini juga saya tuliskan di skripsi.

Tahun 2015 saya bikin perusahaan Bahaso, lalu saya wisuda tahun 2016. Saya development sambil menyelesaikan teori yang belum selesai.

Saya melihat kita punya mimpi untuk meningkatkan pendidikan dan ekonomi masyarakat Indonesia melalui bahasa asing. Kita kerjasama dengan Universitas Indonesia mengenai konten. Siapapun mau belajar di Bahaso bisa dapat sertifikat FIB UI dari rektor langsung.

Tapi awalnya saya disepelekan di Binus. Ya sudah akhirnya saya pindah kampus ke UI. Pesimis sih. Tapi malah mereka menerima dan mau memberikan sertifikat.

Sampai kini, kami punya 400.000 siswa yang menggunakan aplikasi di Indonesia maupun luar negeri. Banyak di luar negeri, TKI yang belajar. Waktu itu ada ibu-ibu di Dubai datang ke kami mengucapkan terima kasih karena merasa terbantu. Dia pekerja rumah tangga.

Beberapa minggu setelahnya, rating aplikasi itu naik. Ibu ini yang mempromosikan.

Kami pun baru tahu ternyata TKI disiksa itu karena masalah komunikasi. Karena disuruh A malah melakukan B. Akhinrya exsiting saya muncul lagi. Semangat lagi karena bisa membantu banyak orang.

Bicara soal keamanan data, Facabook tengah diguncang kebocoran data pelanggannya. Indonesia pun protes karena data pelanggannya juga bocor. Sejauh mana kerentanan data warga negara Indonesia yang menggunakan sosial media?

Sebetulnya wewenang data ada di masing-masing individu. Mereka (media sosial) tidak punya data kalua kita tidak taruh data di situ. Ada dampak negatifnya, karena ketidaktahuan kita terhadap masalah privasi dan sebagainya.

Sebetulnya kalau saya lihat Facebook sebetulnya mungkin kecolongan, karena Cambridge Analytica membuat tools untuk mengambil data para pengguna, itu pun dengan metode yang biasa-biasa saja.

Cuma dengan game kuis. Kita tak tahu, isi-isi saja kan enak. Padahal itu cara ngegrab data. Masyarakat harus diberikan pemahaman masalah literasi digital, privasi digital, dan lain-lain.

Berikutnya harus diregulasi.

Indoesia sekarang dijajah sebetulnya secara ekonomi. Ini tambah lagi dijajah secara digital. Kedaulatan kita sudah nggak ada. Ketika kita masuk ke dunia digital, ya nggak ada kedaulatan sama sekali.

Facebook, pemain dari luar Indonesia main sesuka hati di sini, nggak dibatasi. Akhirnya memberikan efek negatif, tapi ada juga positifnya. Efek negatifnya lebih besar, karena ini dimainkan untuk hoax, dan mengadu domba.

Makanya pemerintah harus meregulasi atau membatasi akses-akses dari luar negri.

Kalau perlu mendorong platform lokal karena lebih bisa diatur. Satu model yang berhasil adalah Cina. Selama ini dunia menilai Cina membelengg warganya.

Tapi sekarang baru sadar bahwa apa yang dilakukan Cina betul, itu melindungi warganya. Kita nggak tahu kayak Alibaba masuk Indonesia dan investasi ke Tokopedia, udah mengakuisisi ecommerce local.

Data pelanggannya semua lari ke Cina. Cina sudah tau, dia bikin great wall. Arahnya ekonomi. Ini udah keliatan.

Yang punya data UMKM Indonesia siapa? Yang punya data transaksi atau potensi? Alibaba lah, lewat Tokopedia.

Dia tahu barang mana yang paling laku di Indonesia. Lalu Cina memproduksi sama dengan harga yang lebih murah dijual di Indonesia.

Yang akan mati UKM lokal Indonesia.

Hal seperti itu yang pemerintah kita tidak tahu, itu yang perlu diproteksi.

Apakah usaha Indonesia untuk melindungi warganya dari internet belum cukup?

Masih banyak celah, sehingga itu harus benar-benar dikaji terus, dibutuhkan effort untuk masalah ini karena dampaknya ke depan. Harus benar-benar diproteksi.

Skema blokir adalah kalau menurut kita selama platform itu tidak menuruti apa yang memang menjadi regulasi di sini, opsi block itu adalah yang paling memungkinkan.

Mau bagaimana? Kalau gamau diatur ya blok aja. Itu tepat asalkan di Indonesia sudah memiliki alternatif karena mau nggak mau akan ada dampak negatif. Yang tadinya orang punya usaha lewat jalur ini harus dihentikan.

Maka pemerintah harus menyediakan platform-platform lokal sebagai alternatif.

Bicara potensi pengguna internet, kelompok milenial ini paling berpotensi di masa depan. Bagaimana masukan Anda, agar generasi milenial bisa memaksimalkan internet di jalan yang benar?

Milenial itu, yang harus mereka lakukan tentunya manfaatkan sumber atau akses pendidikan dan ekonomi yang berjalan di industri digital. Kita kan sekarang sudah bisa mau belajar apa saja. Kita memanfaatkan internet juga mudah.

Generasi milenial ini harus memanfaatkan sebagai alat mengupgrade diri.

Jangan sampai terlena menggunakan platform digital hanya untuk memuaskan diri mereka sendiri. Hanya sebagai konsumen atau sebagai entertain. Kita mau belajar apapun ada. Free.

Ada orang Bali yang bikin robot yang tutornya dari Youtube. Itu salah satu contoh yang bagus. Gunakan resource ini untuk upgrade diri.

Mereka harus sadar dan membatasi diri sama digital, harus melek lagi karena bahaya. Yang bersifat privat ya jangan diumbar di sosmed. Terus yang lebih open minded, jangan mudah percaya pada satu sumber berita saja, harus kroscek, mana yang benar dan salah.

Ancaman 2030 Indonesia hancur bisa saja terjadi kalau kita memang nggak melihat hal-hal seperti ini. Tapi sebagai generasi milenial jangan pesimis.

Yang harus disiapkan adalah setelah generasi milenial. Generasi z yang tingkat tantangan hidupnya lebih berat dari ini. Ketika di dunia kerja, ini akan berhadapan di revolusi industri ke 4. Dampak paling besar di generasi z ketika bonus demografi, angkatan kerjanya 65 persen-70 persen.

Tugas pemerintah juga agar mereka siap menghadapi. Kalau kaget ya selesai.

Problem pemerintah kan selalu telat. Kalau tidak antisipasi dari sekarang akhinya lebih baik mencegah api timbul daripada memadamkan ketika api sudah kita.

Pemerintah kita selama ini jadi pemadam kebakaran.

Biografi singkat Tyovan

Lahir di Wonosobo, Tyovan memulai karirnya di industri teknologi. Dia pernah menjadi peretas, dan di tahun kedua sekolah menengah, ia mendirikan perusahaan sendiri, yaitu Vemobo. Perusahaan ini berfokus pada media online, pengembangan web, aplikasi web, dan sistem informasi untuk korporat.

Pada 2012, ia bertanggung jawab pengembangan sistem pelaporan dan koordinasi, proyek dari Presiden Republik Indonesia pada waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, bersama dengan Vemobo, ia mengembangkan beberapa jenis sistem informasi untuk perusahaan swasta, lembaga negara tinggi, dan kementerian di Indonesia.

Pada tahun 2013, Tyovan diundang oleh Stanford University, AS untuk mewakili Indonesia untuk bergabung dengan kompetisi inovasi dalam teknologi dan dia berhasil mencapai lima besar yang bersaing dengan peserta dari 38 negara.

Selama hampir satu setengah bulan di AS, ia berhasil berkeliling Silicon Valley dan Silicon Alley untuk mengamati lingkungan startup di pusat inovasi dunia. Dia bertemu banyak orang berprofil tinggi dan belajar langsung dari mereka.

Pada tahun yang sama, ia bertanggung jawab sebagai Country Representative of Dolphin Browser untuk membawa Dolphin Browser ini memenangkan persaingan di pasar Indonesia.

Tyovan terpilih sebagai salah satu inovator muda ke-100 di dunia dari YouNoodle, yang berbasis di Silicon Valley, AS. Selain itu, ceritanya juga diterbitkan oleh majalah Jerman populer sebagai keajaiban dari Asia. Di Indonesia, ia dikenal sebagai inovator dan pengusaha muda yang menjanjikan.

Saat ini, ia menjalankan perusahaannya di Teknologi Pendidikan, yaitu Bahaso.com. Dengan Bahaso.com, Tyovan dan timnya memiliki misi untuk mendidik masyarakat Indonesia melalui akuisisi bahasa asing dan memimpikan untuk mendorong orang Indonesia untuk dapat bersaing secara global dan siap untuk menghadapi perdagangan bebas ASEAN.

Lelaki yang baru lulus dari Universitas Binus jurusan Ilmu Komputer. Dia memiliki mimpi dan misi untuk memberdayakan pemuda Indonesia untuk menciptakan inovasi kelas dunia dan untuk dapat berkontribusi bagi Indonesia dan umat manusia di dunia.

Pada tahun 2017, Majalah Forbes memberikn predikat sebagai inovator muda global dan pendiri muda yang luar biasa dari Asia. Forbes mendaftarkannya di ASIA ’30 Under 30 ′, daftar anak muda berprestasi di bawah 30 tahun dari seluruh dunia. Dia sejajar dengan Alia Bhatt (Aktris India / Bollywood), Lorde (musisi Selandia Baru / Pemenang Grammy), Margot Robbie (Aktris Hollywood, peran sebagai Harley Quinn dalam Suicide Squad), Martell Graf (Cofounder Lazada), Hiromi Tanji (Peneliti Universitas Tokyo, Jepang), Kavin Bharti (Pendiri Hike Messenger), dan lain-lain.

Source: https://www.suara.com/wawancara/2018/04/24/134119/tyovan-ari-widagdo