HAK BERINFORMASI PADA UU-ITE DAN INTERPRETASI HUKUM PENCEMARAN NAMA BAIK

Oleh Bambang Pratama

Sebagai salah satu bentuk negara demokrasi maka negara menjamin kebebasan berpendapat warga negara sebagaimana diamanatkan pasat 28 UUD’45. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) maka muncul hak baru yang dikenal dengan hak berinformasi (hak untuk mendapat informasi, menyimpan informasi, dan menyebarkan informasi). Hak warga negara ini selain diamanatkan UUD’45 juga dijamin oleh Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai lex generalis dari HAM. Untuk mengakses (mendapat) informasi publik dijamin dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan untuk mengakses informasi privat diatur dalam berbagai undang-undang terkait data pribadi. Pakar hukum privasi, Daniel J. Solove membaginya menjadi 4 bagian, yaitu: perlindungan data pribadi terkait: tempat kerja, sekolah/pendidikan, kesehatan, dan tempat tiinggal. Artinya, petunjuk yang diberikan oleh Solove bisa kita kaitkan dengan hukum positif yang ada batasan dan ruang lingkupnya.

Bagian yang paling sering menjadi polemik di republik ini adalah tentang tata cara berinformasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (UU-ITE). Masalah yang paling sering terjadi dari penerapan UU-ITE adalah pasa; 27 dan pasal 28 tentang penyebaran informasi. Jika diamati secara seksama, masalah utama dari hak berinformasi adalah budaya berinformasi masyarakat dan pemerintah. Pada masyarakat, kendala yang dialami adalah tentang bagaimana cara berinformasi yang dibenarkan oleh hukum, misalnya tidak menyebarkan informasi kebencian, menyerang kehormatan dan sebagainya. Sedangkan dari sisi pemerintah adalah pengetahuan agen-agen hukum untuk menentukan apaka perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat itu melawan hukum atau tidak.

Salah satu pasal yang selalu ramai dbincangkan dari UU-ITE adalah penyebaran informasi yang mengandung unsur pencemaran nama baik (pasal 27 ayat (3) UU-ITE). Akibat terlalu sering membuat masalah sebagian kalangan hukum menyebutkan sebagai pasal karet. Padahal, pasal itu bukan pasal karet karena ada putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa dalam menafsir pasal 27 ayat (3) harus mengacu pada pasal 310 dan pasal 311 KUH Pidana. MK juga berpendapat bahwa dalam hal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU-ITE tidak memunculkan norma baru. Kosekwensi logis dari putusan MK ini adalah interprestasi hukum unsur-unsur dari pasal 310 dan pasal 311 di dalam lingkup cyberspace.

Lucunya, isu amandemen UU-ITE terus dikumandangkan oleh Kominfo hingga DPR. Pertanyaannya: apa yang perlu diamandemen dari pasal 27 ayat (3) jika cara menafsirnya sudah diajarkan oleh MK?. Ini menunjukan adanya asimetrik informasi dari pihak Kominfo dan DPR terhadap putusan MK ini. Selain itu, mereka juga seperti tidak memahami bangunan dari hukum siber yang terbentuk oleh bidang-bidang hukum lainnya seperti hukum media, hukum informasi dan hukum telekomunikasi. Padahal bidang hukum induk dari hukum siber (baca: UU-ITE) sudah dijelaskan di dalam penjelasan UU-ITE.

Untuk dapat menjelaskan secara yuridis normatif penyebaran informasi di dalam cyberspace, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan teori-teori hukum saja. Alasannya, cyberspace adalah hasil kovergensi dari 4 bidang ilmu, yaitu: teknologi, telekomunikasi, informasi dan komunikasi. Alhasil, teori dianatara tiga bidang tersebut di atas perlu digunakan untuk menhelaskan aktivitas siber. Kemudian setelah penjelasan tentang aktivitas tergambar secara utuh mka penentuan norma hukum pencemaran nama baik bisa ditempatkan secara tepat. Oleh sebab itu hal penting yang perlu dilakukan oleh Kominfo sebagai the guardian of ITE Law adalah memberikan informasi yang sebesar-besarnya kepada masyarakat tentang budaya yanb baik dalam berinformasi. Harapannya, akan banyak masyarakat yang memahami tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam melakukan aktivitas informasi.