BANGKOK, KOMPAS.com – Pandangan bahwa generasi milenial (tahun lahir 1985-1995) di dunia kerja berbeda dengan angkatan sebelumnya, seperti generasi baby boomers (lahir sebelum tahun 1963) dan generasi x (tahun lahir1963-1980) ternyata tidaklah benar. Fakta itu terungkap dari diskusi bertema “Are Millenials Really That Different In The Workplace, Myths, Exaggerations and Reality?” atau “Apakah Milenial Benar-benar Berbeda dalam Dunia Kerja, Mitos, Berlebihan atau Kenyataan?”.

Diskusi ini diselenggarakan Bina Nusantara ( Binus) University di Midown Hotel, Bangkok, Sabtu (13/4/2019). “Sebenarnya cara generasi milenial, baby boomers dan generasi x dalam dunia kerja adalah sama saja. Meski ada perbedaan tetapi itu hanya sedikit saja sehingga tidak terlalu signifikan” ucap Kepala Program Teknologi  Game dan Aplikasi  Binus, Andry Chowanda yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. Menurut Andry hal itu sesuai dengan hasil 3 riset lembaga yang sudah pernah dipublikasi sebelumnya. Pertama, riset dari George Washington University and Departement of Defense (2012). Kata Andry, penelitian tersebut melakukan meta-analisi terhadap 329 artikel yang membahas masalah generasi dan dunia kerjanya. Namun, dari 329 tulisan itu hanya 20 tulisan yang memenuhi kualifikasi secara statistik. “Dari 20 artikel itu mengkrucut ke 3 variabel yang sangat memengaruhi setiap generasi dalam bekerja, yakni kepuasaan dalam bekerja, komitmen terharap perusahaan dan pekerja, serta keinginan untuk pindah tempat kerja,” ucap Andry. Hasilnya, baik itu milenial, generasi x, dan baby boomers tidak ada yang berbeda.

Ada pun perbedaan yang muncul ke masyarakat atau pekerjaan lain lebih ke atribut dari setiap generasi, seperti sense of life, tingkat umur atau kematangan dari mereka. “Misalnya generasi milenial dewasa dengan milenial yang tidak dewasa sebenarnya ada perbedaan. Begitu juga dengan generasi x dan baby boomers,” kata Andry. Kedua, riset dari IBM Institute for Bisnis Value (2014). Penelitian yang mensurvei lebih dari 1.700 pekerja di enam industri dari 12 negara (dominan benua eropa dan amerika) ini menggunakan 10 variabel dalam menilai tiga generasi tersebut. Sepuluh variabel tersebut, yakni membuat efek positif untuk perusahaan, membantu menyelesaikan tantangan sosial dan lingkungan, bekerja dengan beragam kelompok masyarakat, bekerja di perusahaan terbaik di industry, dan bekerja sesuai dengan passion. Lalu menjadi ahli di bidangnya, keseimbangan bekerja dan hidup, menjadi senior leader, mencapai kondisi finansial yang aman, memulai bisnis sendiri. “Hasilnya dari 10 variabel itu perbedaannya hanya 1-5 persen dari setiap generasi. Contoh ekspektasi membuat dampak besar bagi perusahaan, milenial (25 persen), generasi x (21 persen), dan baby boomers (23 persen),” tegas Andry Chowanda.

Mitos generasi milenial

 Bukan hanya mendapati perbedaan yang tipis antara 10 variabel tersebut, riset dari IBM Institute for Bisnis Value ini pun mencoba menjawab lima mitos tentang generasi milenial. Pertama, mitos yang menyebutkan bahwa karier goal dan ekspektasi milenial berbeda dengan yang lain.Temuan riset mendapati baik milenial, generasi x dan baby boomers memiliki ekspektasi karier yang tidak jauh berbeda. Kedua, kaum milenial ketika kerja ingin dihargai atau mendapatkan reward.  Hasil survei menyatakan, sebenarnya mereka memang butuh dihargai, tetapi hal ini bukanlah jadi faktor utama. Justru yang jadi faktor utama adalah, mereka ingin leader atau atasannya bersikap adil dan transparan.

“Ketiga, milenial sampai generasi ke bawahnya, yakni alfa (tahun lahir 2010-2024) identik dengan digital. Mereka ingin semuanya digital. Namun kenyataan berkata lain. Milenial ingin pergi ke kantor, tetapi yang ada sponsor event,” ucap Andry. Lebih dari itu, kata Andry, mereka ingin pula bertemu dengan banyak orang, training secara tatap muka, dan bekerja dengan kolega-kolega yang punya pengetahuan banyak. Keempat, milenial membutuhkan orang banyak untuk mengambil keputusan. Survei menjelaskan bahwa ini memang terjadi disemua generasi dan juga tergantung ke karakter orang masing-masing.

Mitos terakhir menyebutkan, bila milenial akan mudah berpindah-pindah tempat kerja kalau tidak sesuai dengan passion atau ekspektasi. “Hasil riset menyatakan, generasi milenial (42 persen) punya keinginan itu, generasi x (47 persen) dan baby boomers juga punya (42 persen),” tutur Andry. Namun, lanjut dia, alasannya utamanya bukan karena passion. Mereka memilih berpindah tempat kerja karena dasar pertimbangan tempat kerja atau perusahaan yang lebih kreatif workspace. Baru setelah itu alasannya karena uang. Riset terakhir, yaitu dari AC Nielsen.

Menurut survei yang dipublikasi pada 2015 ini sebenarnya perbedaan antar masing-masing generasi ada, tetapi hanya lebih ke pergantian prioritas dalam menjalani hidup. “Penelitian itu menyebutkan responden yang lebih muda biasanya memprioritaskan uang dan mengejar karier. Sementara itu, responden lebih tua lebih prioritaskan tetap fit dan sehat serta menghabiskan banyak waktu buat keluarga,” ucap dia. Dari situ pun kelihatan bahwa generasi milenial dan z (1995-2010) masih lebih menempatkan teratas urusan uang, karir, sedangkan generasi x dan baby boomers sebaliknya. Kesehatan dan waktu untuk keluarga jadi lebih diprioritaskan.

Di lapangan berbeda

Meski cenderung sama, tetapi di lapangan kerja tidak bisa seperti itu. Ada faktor-faktor yang membuat masing-masing generasi berbeda, terutama buat golongan milenia. “Faktor tersebut yaitu, parenting problem, teknologi, impaction, dan environment,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Binus, Gatot Soepriyanto yang menjadi pula narasumber dalam diskusi tersebut. Menurut Gatot, parenting problem yang dimaksud adalah orang tua yang kurang memberikan kasih sayang ke anaknya. Akibatnya mereka jadi rendah diri dan rapuh.

Berangkat dari hal itu, Binus pun ingin melibatkan peran orang tua dalam perkuliahan. Mulai dari pertama kali anak ingin masuk kuliah hingga lulus kuliah. Contohnya, orangtua dapat memantau nilai dan perkuliahan anak setiap hari melalui sistem online yang hanya dapat orangtua akses. “Ini karena kami ingin meminta komitmen dari para orangtua untuk mendidik mereka. Karena keberhasilan anak didik bukan hanya tanggung jawab lembaga pendidikan tetapi juga orang tua,” ucap gatot. Bukan cuma itu, setiap semester pihak universitas pun mengadakan pertemuan dengan para orang tua mahasiswa. Untuk faktor teknologi, kata Gatot, terlihat dari media sosial yang kelewat batas sehingga bisa mempengaruhi karakter milenial.

Mereka jadi lebih suka mengabiskan banyak waktu dengan gadget daripada berinteraksi langsung dengan sesama. Alhasil kemampuan bersosialisasi mereka kurang dan ini memberikan dampak yang buruk bagi mereka ketika terjun ke dunia kerja. Tidak hanya itu, berinteraksi dengan sosial media juga akan membangkitkan hormon dopamine. Nama terakhir adalah salah satu jenis hormon yang bisa membuat seseorang merasa puas sehingga ketagihan dan berakhir dengan kecanduan. Sama seperti orang yang kecanduan alkohol dan narkotika. “Karena itulah generasi milenial rapuh, sehingga tidak kuat menghadapi tekanan di dunia kerja.

Bahkan mereka gampang sekali stres dan bisa lari ke narkoba, alkohol serta bunuh diri,” ucap dia. Untuk impaction, Gatot menjelaskan bahwa dampak yang diinginkan milenial adalah serba instan. Ini terjadi akibat perkembangan internet. Mereka bisa mendapatkan berbagai jawaban atau solusi terkait permasalahan yang dihadapi melalui internet. “Milenial itu tidak sabaran, mereka ingin dapat instant gratification atau penghargaan di tempat kerja” ucap dia. Sedangkan buat environment, ia menyatakan bahwa ini dipengaruhi oleh perusahaan atau organisasi yang hanya memikirikan pertumbuhan target, pencapaian, dan keuntungan.  Perusahaan kemudian lupa untuk mengembangkan kemampuan SDM-nya. Mengembangkan rasa empati karyawan dan nilai-nilai lainnya.

Solusi

Terkait pengembangan SDM, Kepala Program Teknologi  Game dan Aplikasi  Binus, Andry Chowanda mengutarakan solusi yang bisa dilakukan para perusahaan.

Solusi yang dimaksud harus memperhatikan bahwa saat ini sudah era industri 4.0 dan sebentar lagi masuk ke industri 5.0. Maka dari itu bila perusahaan ingin melakukan pelatihan atau training harus memanfaatkan kemajuan teknologi. “Perusahaan bisa melakukan training dengan gamification dan serious games. Virtual Realitiy (VR) dan Augmented Reality (AR) juga bisa dipakai untuk training SDM dikombinasikan dengan 3D.

 Kalau ini dilakukan juga bisa menurunkan waktu belajar mereka,” ucap Andry. Lebih hebatnya lagi, lanjut Andry, training dengan model seperti ini bisa pula diterapkan pada semua generasi yang ada di perusahaan. Sebagai informasi, hadir sebagai peserta diskusi adalah para owner dan perwakilan dari perusahaan yang bekerja sama dengan Binus dalam program Binus Industry Partnership Program (BIPP) 2019. Program tersebut diinisiasi untuk membina kerja sama antara Binus University dengan pihak industri dalam menyelenggarakan program magang.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Di Dunia Kerja, Millenial dan Generasi Sebelumnya Ternyata Sama”, https://edukasi.kompas.com/read/2019/04/14/07000061/di-dunia-kerja-millenial-dan-generasi-sebelumnya-ternyata-sama.
Penulis : Mikhael Gewati
Editor : Mikhael Gewati