Menjadi seorang pemimpin adalah takdir semua orang, termasuk generasi milenial. Takdir tersebut tidak bisa dilewatkan. Leader tidak hanya mereka yang memimpin perusahaan besar. Namun, memimpin keluarga dan diri sendiri juga termasuk peran yang tak bisa dilewatkan seorang leader. Dengan latar belakang seperti itu, setiap orang perlu membekali diri dengan kemampuan memimpin yang baik. 

Dalam kesempatan Studium Generale with BCA, BINUS UNIVERSITY mengajak para mahasiswa dan generasi muda Indonesia belajar tentang kepemimpinan. Dua pemimpin organisasi besar di Indonesia, Armand Wahyudi Hartono (Wapres Direktur BCA) dan Stephen Wahyudi Santoso (Presiden BINUS Higher Education) siap membagikan pengetahuannya dalam bidang leadership kepada para generasi muda dengan tema Millenials and The New Era of Leadership. 

  • Pandemi COVID-19, Disrupsi sekaligus Peluang

Leadership

Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak dunia, Indonesia punya potensi sumber daya manusia (SDM) yang sangat melimpah. Terlebih, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir sebagian besar penduduk di Indonesia masih berusia muda yang mencapai angka 33%. Potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia itu pun diakui oleh Armand Hartono dan Stephen Santoso.

Mengutip data BPS, Armand Hartono mengungkapkan kalau tingkat fertilitas masyarakat Indonesia juga sangat tinggi, yakni di kisaran 2-3 anak per wanita. Data tersebut bakal terlihat sangat kontras dengan situasi di negara maju dunia seperti Jepang, Korea, ataupun Tiongkok yang rata-rata memiliki angka fertilitas di kisaran 1%. Oleh karenanya, generasi muda perlu memanfaatkan peluang besar itu sebaik-baiknya. 

Namun, sebuah pertanyaan besar muncul. Bagaimana cara generasi milenial Indonesia memaksimalkan potensinya di era pandemi seperti sekarang? Apalagi melihat situasi yang tengah berkembang saat ini, pandemi COVID-19 sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Bahkan, para ilmuwan memperkirakan kalau pandemi ini bakal berlangsung setidaknya selama 1-2 tahun ke depan.

Menjawab pertanyaan tersebut, Armand Hartono menjelaskan bahwa keberadaan COVID-19 merupakan indikasi bahwa dunia berjalan dengan normal. “Dunia normal, naik turun,” ujarnya. Bahkan, Armand menuturkan kalau situasi yang lebih parah harus dihadapi oleh orang-orang pada zaman dahulu. Beberapa contoh kejadian yang dianggapnya lebih parah dibandingkan pandemi COVID-19, antara lain: 

  • Spanish flu 1917-1918 dengan infeksi mencapai 800 juta. Bahkan, situasi dunia saat itu diperparah dengan terjadinya Perang Dunia I. 
  • Pandemi SARS 2002-2003 di Cina.

Namun, apakah situasi negatif akibat pandemi ataupun perang dunia tersebut membuat manusia menyerah? Faktanya tidak. Bahkan, populasi masyarakat dunia meningkat secara drastis. Hal ini, ujar Armand, mengindikasikan bahwa manusia memiliki kemampuan beradaptasi dalam situasi apa pun. Kalau orang zaman dahulu saja bisa beradaptasi dengan situasi yang lebih buruk, kenapa sekarang tidak bisa? 

Kehadiran seorang pemimpin menjadi hal yang krusial dalam proses adaptasi tersebut, apalagi situasi buruk di masa lalu menimbulkan disrupsi di setiap aspek kehidupan. Namun, disrupsi itu juga memunculkan peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dunia. 

Di sinilah peran penting yang harus dimiliki pemimpin, yakni mendorong orang-orang yang dipimpinnya sehingga mampu dan siap menghadapi berbagai situasi. Bahkan, dengan kemampuan yang tepat, seorang pemimpin dapat memanfaatkan momen buruk sebagai sarana untuk berkembang. 

  • Pola Kepemimpinan di Era Pandemi

Leadership

Pemimpin harus mengetahui proses pengambilan keputusan yang tepat. Stephen menjelaskan bahwa dalam setiap upaya mengambil keputusan, leader harus melengkapi diri dengan data secara lengkap.  Sementara itu, Armand Hartono menjelaskan bahwa kemampuan mengambil keputusan seorang pemimpin dapat dilatih, mulai dari hal yang sederhana sampai rumit. 

Lebih lanjut, Armand Hartono mengatakan kalau pemimpin yang baik memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan hal yang rumit secara sederhana kepada para bawahannya. Ditambah lagi, leader harus mampu memperlihatkan visi perusahaan dalam sikap ataupun proses pengambilan keputusan. 

Selain itu, setiap proses pengambilan keputusan harus dilakukan dalam empat tahap, yakni: 

  • Menentukan pilihan

Proses pengambilan keputusan perlu dilakukan karena berhadapan dengan beberapa pilihan. Dalam tahapan ini, biasanya pemimpin memiliki permasalahan karena berpikir secara narrow minded. Oleh karenanya, sebelum menentukan pilihan, luaskan cara pandang terlebih dulu. 

  • Analisis

Tahapan kedua adalah melakukan analisis dari masing-masing pilihan. Problem yang sering terjadi saat melakukan analisis adalah cara pandang biasa. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang sudah mencoba salah satu pilihan. Solusi untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan membuat asumsi dan tes untuk masing-masing pilihan. 

  • Mengambil keputusan

Tahap ketiga adalah mengambil keputusan. Kecenderungan yang sering terjadi pada tahapan ini adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan keterkaitan emosional. Solusinya, pemimpin dapat menjaga jarak terlebih dahulu sebelum memutuskan. 

  • Jalani keputusan

Terakhir, pemimpin harus menjalani keputusan yang telah diambilnya. Problem yang sering terjadi, leader merasa terlalu percaya diri bahwa keputusannya bakal berjalan lancar. Padahal, kondisi di dunia nyata tidak berjalan seperti itu. Oleh karenanya, pemimpin perlu melakukan mitigasi dan persiapan ketika terjadi kesalahan. 

Selain memperhatikan empat tahapan proses pengambilan keputusan, pemimpin juga perlu mengetahui skala prioritas. Misalnya: 

Mendesak Tidak mendesak
Penting Jalankan Susun rencana
Tidak penting Atur ulang, delegasikan Eliminasi

 

  • Studi Kasus Kepemimpinan di Era Pandemi (BCA dan BINUS)

Leadership

Pandemi COVID-19 menimbulkan disrupsi dalam berbagai aspek kehidupan. Lalu, bagaimana cara BCA dan BINUS UNIVERSITY mengatasinya? 

Di BCA, Armand Hartono mengungkapkan kalau langkah penanggulangan dibagi dalam tiga kelompok, yakni: 

  • Jangka pendek

Untuk solusi jangka pendek, BCA memprioritaskan faktor kesehatan dan keamanan. Selain itu, pihak perusahaan juga mencermati aspek biaya dan capital control

  • Jangka menengah

Selanjutnya, terdapat solusi untuk jangka menengah. BCA melakukan persiapan saat perusahaan ingin melakukan recovery, reopen, ataupun restart layanan tertentu. 

  • Jangka panjang

Solusi jangka panjang berkenaan dengan upaya menciptakan customer experience yang baru disertai investasi infrastruktur yang memadai. 

Dalam pandangan Armand Hartono, pandemi COVID-19 memang memberi dampak pada BCA yang dibuktikan dengan penurunan transaksi perbankan. Namun, pandemi juga menimbulkan efek positif karena dapat mempercepat proses digitalisasi perusahaan. 

Digitalisasi dalam tubuh BCA dilakukan dalam berbagai aspek, meliputi:

  • Perhitungan biaya untuk investasi di dunia digital oleh bagian Finance. 
  • Pelaksanaan pemasaran secara digital oleh karyawan di bagian Marketing. 
  • Agile development, keamanan IT, serta speed digitalization di bidang IT dan Operation. 

Hasilnya sangat positif. Digitalisasi di tubuh BCA mampu meningkatkan transaksi mobile oleh para pelanggan. Selain itu, BCA juga menjadi satu-satunya bank di Indonesia yang memiliki fasilitas integrated cash location center. Teknologi ini membuat proses pengiriman uang end-to-end berjalan secara real time. Selain itu, proses perhitungan uang juga sudah menggunakan mesin dan dibantu karyawan yang jumlahnya hanya 80 orang. 

Sementara itu, BINUS UNIVERSITY mengedepankan spirit believe in God yang merupakan landasan dasar organisasi. Sebagai seorang pemimpin, Stephen Santoso pun memberlakukan beberapa kebijakan sebagai langkah antisipasi terhadap COVID-19, di antaranya: 

  • Embrace technology dan mendorong proses inovasi
  • Komunikasi yang lebih terbuka
  • Birokrasi yang sederhana dan tidak terlalu formal
  • Lingkungan yang membuat proses belajar jadi lebih menyenangkan
  • Adanya recognition dan feedback
  • Pemberian gaji secara penuh
  • Binusian Care

 

  • Tips Mengembangkan Sikap Kepemimpinan untuk Generasi Milenial

Leadership

Kepada para generasi muda yang bakal menjadi pemimpin di masa depan, Armand Hartono pun memberi contoh framework perkembangan personal, yakni: 

  • Level 1 (Highly capable individual). Melengkapi diri dengan skill, kebiasaan bagus, pengetahuan, dan produktif. 
  • Level 2 (Contributing team member). Mendapatkan pencapaian di grup dan bekerja efektif dalam grup. 
  • Level 3 (Competent manager). Kemampuan mengorganisasi bawahan dan resource sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan. 
  • Level 4 (Effective leader). Mendorong komitmen dan upaya meraih tujuan yang jelas, memiliki performa berstandar tinggi. 
  • Level 5 (Executive). Membangun greatness melalui paradoxical blend of personal humility and professional skill

Sebagai penutup, Armand Hartono mengatakan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh seorang leader tidak menjamin keberhasilan. Namun, pemimpin yang mampu beradaptasi dengan perubahan adalah sosok yang paling dibutuhkan. “Kalau tidak ada perubahan, perusahaan tidak akan berkembang. Tidak ada garansi hasil, tetapi (pemimpin) pasti harus berusaha. Karena namanya juga pengusaha,” ujarnya.