Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin kebebasan berpendapat bahwa warga negara sebagimana diamanatkan pada pasal 28 UUD 1945. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) maka munculah hak baru yang dikenal dengan hak berinformasi (hak untuk mendapat informasi, menyimpan informasi, dan menyebarkan informasi). Tentu dengan munculnya hak baru, akan ada juga undang-undang yang mengiringnya. Dalam hal ini, munculah Undang-Undang Informasi Transaksi dan Elektronik (UU-ITE)

Kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan kebutuhan informasi dan teknologi ditambah dengan berubahnya gaya konsumsi masyarakat yang sudah berubah, dari informasi mendasar dari cetak menjadi digital, memaksa pemerintah untuk bisa menciptakan sebuah peraturan yang dapat menjaga informasi agar tetap sesuai dengan undang-undang yang ada. Hal ini dikarenakan banyak sekali informasi di dunia digital yang perkembangannya sangat pesat dan cepat, penyebarannya sangat luas, sehingga menjadi salah satu perhatian pemerintah untuk bisa mengatasi hal ini.

Bagian yang paling sering menjadi polemik di dalam bangsa kita adalah tentang cara berinformasi sebagaimana diatur dalam undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE. Masalah yang paling sering terjadi dari penerapan UU-ITE adalah pasal 27 dan pasal 28 tentang penyebaran informasi. Jika diamati secara seksama, masalah utama dari hak berinformasi adalah budaya berinformasi masyakarat dan pemerintah. Pada masyarakatm kendala yang dialami adalah tentang bagaimana cara berinformasi yang dibenarkan oleh hukum, misalnya tidak menyebarkan informasi kebencian, menyerang kehormatan dan sebagainya. Sedangkan dari sisi pemerintah adalah pengetahuan agen-agen hukum untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat itu melawan hukum atau tidak.

Dalam acara “Ngopi Bareng Dosen BINUS UNIVERSITY, Dr Bambang Pratama, S.H., M.H selaku dosen Hukum Bisnis BINUS, “untuk dapat menjelaskan secara yuridis normative penyebaran informasi di dalam cyberspace, tentunya tidak bisa mengandalkan teori-teori hukum saja. Alasannya, cyberspace adalah hasil konvergensi dari 4 bidang ilmu yaitu : teknologi, telekomunikasi, informasi dan komunikasi. Alhasil teori diantara tiga bidang tersebut di atas perlu digunakan untuk menjelaskan aktivitas cyber”, Ungkap Dr Bambang Pratama, S.H., M.H. (PM)