KOMPAS.com – Sementara banyak perhatian ditujukan pada lengan robot Wayan Sutawan (31) yang kontroversial sebab diklaim menggunakan teknologi encephalography (EEG), banyak usaha pengembangan perangkat robotik dengan teknologi itu yang selama ini luput dari perhatian publik.

Universitas Bina Nusantara (Binus), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia adalah sejumlah institusi yang mengembangkan perangkat dengan teknologi EEG itu. Mereka yang mengembangkan memang orang sekolahan sehingga mungkin banyak orang menganggap, “wajarlah, namanya juga orang pintar.”

Tapi sungguh, mereka yang mengembangkan mengakui bahwa perangkatnya masih jauh dari sempurna. Pada Selasa (26/1/2016), saya mewakili Kompas.com berkesempatan menjajal alat bantu gerak dengan teknologi EEG yang dikembangkan Binus, bernama Bina Nusantara Wheelchair (BNW). Ivan Halim dan Jennifer Santoso dari Fakultas Teknik Informatika Binus adalah dua yang berperan mengembangkan.

Jennifer SantosoBagian pengontrol kursi roda BNW.

Penampakan BNW

Sekilas, yang membedakan BNW dengan kursi roda biasa hanyalah kabel-kabel. Tapi bila mengamati lebih detail, ada sejumlah bagian penting yang terdapat pada kursi roda selebar sekitar 1 meter itu, yaitu aki, pengontrol, kabel USB, tombol darurat, motor driver, dan motor DC.

Pengontrol menerima sinyal yang telah diolah untuk diteruskan ke motor driver dan motor DC, memungkinkan perangkat bergerak. Tombol darurat berfungsi untuk menghentikan kerja perangkat dalam kondisi bahaya. Sementara kabel USB berfungsi menghubungkan pengontrol dengan komputer.

Terpisah dengan kursi roda, ada neuroheadset. Bentuknya seperti headset biasa tetapi memiliki 14 tonjolan. Di ujung tonjolan, ada elektroda yang berfungsi menangkap sinyal dari otak dan memperkuatnya. Bagian luar elektroda harus dibasahi dengan cairan elektrolit sehingga membantu menangkap sinyal.

Neuroheadset terhubung dengan laptop via bluetooth. Di dalam laptop itulah tersimpan perangkat lunak yang berfungsi mengolah sinyal. “Otak” BMW tersebut akan menghilangkan noise dan menggolongkan sinyal sesuai kebutuhan sebelum dikirim ke pengontrol.

BNW sendiri tidak hanya bisa bekerja dengan sinyal otak, tetapi juga gerakan leher serta kedipan mata. Pengembangan itu penting sehingga sesuai dengan kebutuhan pengguna. “Kalau tidak mengalami lumpuh total, pengguna masih bisa menggunakan gerakan leher. Jadi menyesuaikan,” kata Jennifer.

Yunanto Wiji UtomoLayar muka aplikasi pengolah sinyal otak.

Ternyata Rumit

Jangan menyangka awal penggunaan perangkat ini mudah.  Persiapannya saja cukup rumit. Tahap awal adalah memasang neuroheadset. Masing-masing elektroda harus terpasang baik agar tangkapan sinyal dari otak maksimal. Akan muncul cahaya hijau bila pemasangan 14 elektroda yang ada tepat.

Selanjutnya, saya harus memasukkan data. Inti input data kira-kira adalah menyamakan persepsi antara otak dan perangkat. BNW punya mode EEG dan gyroscope. Untuk menguji kecanggihan alat dan mengetahui kemudahan penggunaan, saya mencoba keduanya.

Apa yang dilakukan? Contoh, untuk menyetel gerakan maju, saya memilih setelan “forward” di perangkat lunak, lalu berkonsentrasi, memandang ke depan seolah-olah ada obyek di depan saya. Untuk setelan gyroscope, hal serupa dilakukan. Hanya saja, yang dilakukan adalah menggelengkan kepala.

Waktu menyetel, semuanya tampak mudah. Mesin seolah memahami pikiran. Tapi, saat benar-benar menjalankan, ternyata semua tak berjalan sesuai yang diinginkan. Ketika mencoba mengoperasikan kursi roda dengan pikiran, saya hanya berhasil membuat perangkat maju sedikit.

Operasi kursi roda dengan gerakan leher lebih mudah namun juga tak selalu tepat. Contoh, ketika menatap ke depan untuk bergerak maju, kursi roda maju sebentar. Tetapi kedipan mata sedikit saja ternyata membuat kursi roda berhenti.

Saat ingin menggerakkan kursi roda ke kiri dan saya menoleh ke kiri, kursi roda berhasil berbelok. Namun, saat ingin membuatnya berbelok ke kanan, kursi roda malah tetap berputar ke kiri. Alhasil, saya bukan berbelok ke kanan malah hanya berputar di tempat.

Jennifer Santoso Bagian motor DC Bina Nusantara Wheelchair

Masih Perlu Penyempurnaan

Kesulitan operasi BNW bisa karena dua sebab. Pertama, Jennifer dan Ivan mengatakan, menjalankan kursi roda dengan kendali gerak leher atau EEG memang butuh pembiasaan. “Sama saja seperti kita awalnya naik motor atau mobil, kita tidak langsung bisa mengendalikannya, kan? ungkap Ivan.

Menjalankan kursi roda dengan EEG apalagi, waktu yang dibutuhkan lebih lama. Jennifer sendiri mengaku, ia masih kesulitan untuk melakukannya. Di samping itu, butuh konsentrasi tinggu untuk menjalankan hanya dengan EEG. “Sebentar saja sudah akan merasa lelah,” katanya.

Kedua, perangkat sendiri masih perlu disempurnakan. Ivan dan Jennifer sudah melakukan penyempurnaan dari sisi akurasi dalam proyek yang dilakukan Februari hingga Oktober 2015 lalu.

Mereka mengembangkan perangkat lunak yang mengoptimalkan pengolahan sinyal hingga gerakan perangkat lebih sesuai dengan perintah. Gerak kursi roda juga dipercepat.

Namun, tetap saja masih ada yang harus diperbaiki. Ivan menyebut, pengontrol pun masih perlu dikembangkan.

Pada perangkat lunak, masih ada pekerjaan rumah soal sensitivitas dan akurasi sehingga bisa mengolah sinyal optimal, menghasilkan gerakan seperti diinginkan pengguna.

“Harapan saya ke depan, ada publik atau peneliti yang mau meneruskan ide kami,” katanya.

Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2016/01/27/08000091/Menjajal.BNW.Kursi.Roda.Kendali.Otak.Bikinan.Mahasiswa.Indonesia