Di usianya yang memasuki 70 tahun, perkembangan Indonesia secara keseluruhan memang stagnan, kalau tak mau dibilang jalan di tempat. Sebagai salah satu tolak ukur perkembangan suatu Negara, Human Development Index (HDI) Indonesia  memang mengalami peningkatan dari urutan 121 pada 2012 menjadi urutan 108 di 2014. Angka itu membuat Indonesia masuk dalam kategori negara Medium Human Development.

Medium? Dengan kekayaan alam yang dibanggakan sebagai negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ Indonesia hanya masuk dalam kategori medium? Hanya itu yang diraih Indonesia di usianya yang jauh lebih dewasa dibandingkan tetangganya; Singapura dan Malaysia?

Faktanya memang begitu. Kita tak bisa mungkiri. Peringkat HDI Singapura dan Malaysia memang jauh di atas Indonesia. Masing-masing “tetangga” kita itu ada peringkat 9 dan 62, dan masuk kategori Very High Human Development dan High Human Development. Sementara itu, Vietnam, si “anak kemarin sore”, secara perlahan tapi pasti sudah mengintai di posisi 121.
Apa yang salah?

Bukan “Macan Asia”

Sejatinya, Indonesia ibarat orang tua yang sangat cukup umur. Usia beranjak sepuh, bahkan sangat matang. Matang segala-galanya. Punya rumah besar dan mewah, secara finansial sangat tercukupi, tabungan menggembung dengan investasi di mana-mana. Sangat cukup untuk hidup anak-cucu.

Semestinya, tak ada yang tidak dimiliki Indonesia. Jangankan hutang menumpuk, piutang pun kalau perlu dijadikan semacam program corporate social responsibility (CSR), yang disumbangkan Indonesia untuk Negara-negara tetangganya yang lebih membutuhkan. Indonesia sudah tak perlu itu, duitnya banyak!

Tapi, kenyataannya tak demikian. Bukankah kita masih saling sibuk menyalahkan karena rupiah terjerembab dihantam dollar AS? Pemimpin kita saling serang lantaran korupsi dan mempertahankan jabatan. Sementara di sekolah, orang tua, guru, dan kita semua menangis dan marah lantaran anak-anak didik kita di sekolah saling bullying.

Kita lupa sejarah, sepertinya. Padahal, jika sejenak mau menengok kembali sejarah masa lalu, kita dan Jepang misalnya, pernah sama-sama terpuruk akibat perang. Bahkan, Jepang lebih hancur lebur akibat ulahnya sendiri pada Perang Dunia Kedua setelah bertekuk lutut kepada Amerika dan Sekutu. Baik secara fisik maupun mental, Negara Matahari Terbit itu hancur berkeping-keping dihantam bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Lalu, apa yang terjadi? Jepang membutuhkan tak kurang dari 50 tahun untuk bangkit lagi dari keterpurukannya. Budaya tak mau menyerah telah menyatukan rakyatnya. Pemimpin mereka berdiri di depan, menggerakkan rakyatnya untuk maju bersama-sama bergandeng semangat untuk membangun kembali negaranya.

Kini, siapa tak kenal Jepang? Raksasa otomotif dan teknologi dunia, yang bahkan perlahan-lahan sejajar dengan “musuh” yang mengalahkannya dalam perang; Amerika Serikat.
Malaysia dan Singapura pun begitu. Meski lebih muda merdeka dari Indonesia, keduanya bisa “menyalip” di tikungan saat Indonesia “lengah” ketika Indonesia begitu bangga disebut-sebut sebagai “Macan Asia”.

Ya, di era 80-an, siapa tak kenal Mahathir Muhammad, yang sukses membawa Malaysia dari negara berbasis pertanian dan perkebunan menjadi negara industry? Dari Negara yang tak diperhitungkan oleh Indonesia sekalipun, Malaysia berhasil mengejar ketinggalannya. Mahathir mengucurkan investasi besar-besaran di sektor pendidikan untuk mendidik anak-anak muda Malaysia yang berkarakter, penuh percaya diri dan berjiwa maju.

Lalu, bagaimana dengan Singapura? Jangan dibandingkan dengan kita! Bukan tidak percaya diri, tapi sebaiknya kita memang harus belajar banyak dari Negeri Kepala Singa itu.

Khusus di tingkat ASEAN saja, Indonesia masih bertengger di posisi keenam. Indonesia berada di bawah Singapora, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adapun di bawah Indonesia sudah siap menguntut Vietnam dan Myanmar.

Sekali lagi, apa yang salah dengan kita?

M LATIEF/KOMPAS.com Prof Harjanto Prabowo, Rektor Binus University, mengatakan orang-orang Indonesia lupa tentang betapa pentingnya anak didik punya keterampilan untuk hidup (life skill), bukan cuma kepentingan memiliki nilai Matematika tinggi. Selama ini semua yang dipelajari di sekolah hanya diukur dengan nilai akademik.

Pendidikan yang jujur

Prof Harjanto Prabowo, Rektor Binus University, mengatakan orang-orang Indonesia lupa tentang betapa pentingnya anak didik punya keterampilan untuk hidup (life skill), bukan cuma kepentingan memiliki nilai Matematika tinggi. Selama ini semua yang dipelajari di sekolah hanya diukur dengan nilai akademik.

“Mengajari anak punya nilai Fisika tinggi itu susah, tapi lebih susah lagi ketika anak didik kita menemukan masalah Fisika dan tahu cara mencari solusi masalahnya itu,” ujar Harjanto saat menyampaikan materi ‘Mengelola Pengetahuan di Sekolah; Pendekatan system Leadership’ kepada para guru peserta School Executive Excursion 2015 yang digelar Binus University di Bangkok, Selasa (1/9/2015) lalu.

“Kalau itu berhasil, maka kita boleh bangga bahwa kita sudah berhasil mendidik anak. Kita belum sepenuhnya berani melakukan itu. Kita, guru, orang tua, belum seutuhnya berpikir demikian. Maunya nilai harus bagus, titik,” tambahnya.

Menurut Harjanto, pada tahapan usianya saat ini para anak didik tidak hidup hanya di sekolah. Mereka juga bagian dari kelompok di masyarakat dan lingkungannya. Ia berharap, jangan sampai pendidikan sudah level SMA, tapi si anak didik tidak punya life skill seusia anak SMA.

“Mereka tidak bisa cepat ambil keputusan, mereka sulit menyelesaikan masalahnya sendiri lewat pengetahuan yang didapatkannya di sekolah. Jangan sampai pelajaran di sekolah bagus semua, tapi tidak membuat si anak punya kemampuan menyelesaikan masalahnya di lingkungan,” kata Harjanto.

“Pada akhirnya kita cuma mendidik anak-anak kita menjadi robot, yang tak mengerti apa-apa. Banyak sarjana kita yang seperti ini setelah mereka lulus. Perusahaan menuntut ini dan itu, tapi ternyata si sarjana tak bisa apa-apa. Apakah kita tidak kasihan,” tambahnya.

M LATIEF/KOMPAS.com Anak-anak Indonesia saat ini harus tahu, bahwa Negara Indonesia bukan Negara kaya raya dengan minyak bumi, dengan pertanian. Anak didik kita harus tahu kondisi itu. Pengelola pendidikan dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi di pemerintahan harus jujur menyampaikan itu dan bersiap diri menyambutnya.

Tentu saja, jika ditarik garis lurus, semua itu bermuara pada pendidikan. Data menunjukan bahwa dalam dimensi pendidikan rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun. Ini jauh berada di bawah negara ASEAN lain seperti Singapura (10,1 tahun), Malaysia (9,5 tahun), Filipina (8,9 tahun), Brunei Darussalam (8,6 tahun), dan Thailand (6,6 tahun).

Itu baru soal durasi, belum bicara kualitas pendidikan yang mencakup kurikulum, tenaga pendidik, infrastruktur pendidikan, dan lain-lain. Kita masih bicara kurikulum yang kerap gonta-ganti, tambal sulam kebijakan, dana pendidikan selalu kurang, sekolah-sekolah rusak, kaum difabel termarjinalkan, dan lain-lain yang bikin kita sendiri mengurut dada.

Kita tak sadar, bahwa persaingan kini sudah terdengar membosankan. Orang-orang sudah tak lagi saling mematikan lewat ilmu pengetahuan, tapi mencari cara untuk bekerjasama dengan keunggulan masing-masing.

Begitu juga yang seharusnya terjadi pada sistem pendidikan nasional kita. Sekolah harus bekerjasama dengan anak didik, dengan guru, dengan orang tua, dengan pemerintah, dengan sekolah lain. Tak cuma di Negara sendiri, tapi juga kerjasama dengan Negara lain.

Anak-anak Indonesia saat ini harus tahu, bahwa Negara Indonesia bukan Negara kaya raya dengan minyak bumi, dengan pertanian. Anak didik kita harus tahu kondisi itu. Pengelola pendidikan dari tingkat bawah sampai tingkat tinggi di pemerintahan harus jujur menyampaikan itu dan bersiap diri menyambutnya.

“Kita harus jujur memaparkan kondisi itu agar anak-anak kita berpikir ke depan dia mau apa dan harus berbuat apa. Kita kondisikan mereka menyiapkan diri bagi dirinya sendiri dan negaranya dengan semua kondisi itu. Kalau kita kasih tahu Indonesia Negara kaya raya gemah ripah, anak didik kita cuma terbuai cerita lama. Mereka cuma hidup dengan mimpi. Pendidikan kita harus berani menyampaikan pada mereka dan membentuk mereka siap menghadapi itu di masa mendatang,” ujarnya.

Tak ada kata lain, pendidikan karakter anak didik harus semakin dijunjung tinggi. Sistem pendidikan nasional harus memperkuat life skill anak didik agar siap menghadapi zaman yang terus berubah.

Lebih dari itu, pengelola pendidikan pun harus siap dan jujur memberikan ilmunya kepada anak didik, bahwa Indonesia, tempat mereka berpijak saat ini, sudah semakin rusak. Hasil buminya semakin menipis, bahkan sebagian sudah habis. Korupsi meraja, membabi buta, lengkap dengan hutang negara sebagai bebannya.

“Itu pendidikan jujur yang harus kita berikan. Kalau life skill mereka kokoh, secara akademik mereka meningkat, mereka bakal menjadi masyarakat yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, dan masalah bangsanya yang menumpuk,” katanya.

Siapkah kita? Ketika lahan pertanian sudah menipis berganti gedung-gedung tinggi dan pabrik, kita akan katakan apa kepada anak didik? Bekal apa yang akan kita siapkan untuk mereka?

Jika minyak bumi juga sudah habis, apa yang mereka perlukan dalam ilmunya agar kelak siap dengan kenyataan itu? Mau kemana anak-anak lulusan SMK dan insiyur lulusan perguruan tinggi jika tak tahu cara membetulkan motor dan mobil yang semakin diproduksi besar-besaran?

Sadarlah, Indonesia semakin tua dan tak lagi kaya raya…

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2015/09/05/13084131/Sadarlah.Jujurlah.Indonesia.Semakin.Tua.dan.Tak.Lagi.Kaya.Raya