Jakarta, kota metropolitan yang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit, ternyata masih menyisikan pemukiman kumuh di pinggirnya. Ironis memang, didalam sebuah kota yang sama kita bisa melihat toilet berbatu marmer bersamaan dengan toilet darurat dipinggir kali. Atau juga apartemen mewah yang terhubung langsung dengan pusat perbelanjaan dengan rumah-rumah susun tak layak huni. Keironisan tersebut membuat Jakarta, ibu kota Indonesia tampak jauh dari kemanusiaan. Keironisan tersebut juga menggerakkan Tomohiko Amemiya untuk membangun kembali daerah-daerah yang tertinggal di Jakarta agar layak huni bagi warga Jakarta yang kurang beruntung.

BINUS UNIVERSITY melalui program studi Arsitektur bersama Nippon Paint mengadakan seminar yang membahas tentang pembangunan yang terjadi di masyarakat modern. Seminar yang diadakan pada Kamis (30/4) tersebut menghadirkan seorang dosen tamu dari Jepang yaitu Tomohiko Amemiya. Ia merupakan Project Researcher di Tokyo University sekaligus adalah cofounder dari UNITYDESIGN.Inc. Pada kesempatan tersebut, Amemiya berbagi tentang pengalamannya dalam pembangunan rumah di daerah urban. Secara khusus ia menceritakan kegiatannya dalam proses pengerjaan proyek dan penelitian tentang perkampungan kumuh di Jakarta, yaitu daerah Cikini.

Menurut Amemiya, perkampungan Cikini yang memiliki luas 40.000m2 merupakan salah satu pemukiman kumuh di Jakarta. Penataan ulang dan renovasi perkampungan Cikini dengan konsep baru dimulainya pada tahun 2011 yang diawali dengan perancangan konsep. Proyek tersebut mulai terlihat hasilnya pada tahun 2015 dan kini telah dinikmati oleh warga. Proyek ini didasari oleh keprihatinan atas lingkungan yang kotor, tempat bermain bagi anak-anak yang semakin sempit, fasilitas MCK yang tidak layak, kurangnya pencahayaan dan ventilasi yang layak. Proyek tersebut diawali dengan membuat sebuah ayunan dari bambu yang didirikan di atas sungai, tujuannya adalah agar anak-anak yang melihat banyaknya sampah di sungai dapat memahami untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Proyek tersebut murni berasal dari keinginan masyarakat di perkampungan Cikini, kemudian keinginan tersebut disampaikan kepada pemerintah, perusahaan, dan masyarakat umum. Apabila dana telah terkumpul, maka donasi atau investasi tersebut akan ditujukan secara penuh untuk membangun kampung tersebut. Bahkan untuk semakin dekat dengan masyarakat, tiga mahasiswa Jepang yang terlibat dalam proyek ini yaitu Yuki, Genta, dan Kazuki tinggal langsung di pemukiman Cikini.

?Membangun sistem perkotaan yang baik bukan dengan menghancurkan semua lalu membangun kembali, tetapi solusinya adalah dengan merapikan perkampungan kumuh?. Ujar Amemiya. Pengajar asal Jepang tersebut juga mengatakan bahwa konsep pembangunan masa kini banyak menghilangkan sisi kemanusiaan dari sebuah hunian, justru sisi kemanusiaan dalam sebuah hunian digambarkan di pemukiman kumuh, ia mencontohkan perkampungan Cikini sebagai konsep yang memiliki sisi kemanusiaan. Ia pun tidak akan mengubah secara total apa yang ada sebelumnya, namun ia memperbaiki apa yang kurang seperti: pencahayaan, ventilasi, dan unsur lainnya agar dapat menjadi sebuah hunian yang layak. Ia bahkan mengatakan bahwa mereka akan mempertahankan jarak antar rumah yang telah ada. Menurut Amemiya, kegagalan arsitektur terjadi ketika menciptakan karya tanpa kemanusiaan.

Selain memberikan kuliahnya, Amemiya juga mengajak para BINUSIAN program studi arsitektur dan desain interior untuk ikut dalam program penataan ulang kampung Cikini tersebut. Ia pun meyakini bakat-bakat yang dimiliki oleh BINUSIAN dapat sangat membantu kemajuan penataan ulang kampung Cikini. (AS)