Membahas pandangan kritis-rasional berkaitan dengan peristiwa nyata/fakta sosial dan dinamika kebangsaan yang sedang hangat di dalam masyarakat dan ramai diwacanakan di media sosial. Analisis kritis akan diberikan untuk membedah masalah dan memberikan alternatif solusi.
Sambutan Manager CBDC Binus Menyongsong Semester Genap 2020/2021
Manager CBDC: Dr. Federikus Fios Bapak ibu pengajar CB Binus Jakarta, Bandung dan Malang yang terkasih Semoga kita sehat walafiat dan sehat selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa. Covid 19 masih merebak dan membuat jarak fisik sosial kita masih harus terbatas dan berjarak. Namun kita terkoneksikan secara online dengan bantuan instrumen-intrumen dunia maya yang mempermudah kita untuk tetap berkomunikasi. Kita harus bersiap utk bergerak ke arah transformasi digital bersama Binus di tengah covid ini dan ke depannya. BINUS telah menetapkan visi 2035 yang dimulai 2021 ini dengan arah untuk memperkuat masyarakat (empowering the society) dengan kekuatan teknologi, sains dan karakter. Sebagai Center yang dipercayakan Binus untuk mengampu mata kuliah CB Pancasila, Agama dan Kewarganegaraan kita tetap tunjukkan komitmen, dedikasi dan semangat tinggi untuk menyajikan ilmu character building pada anak-anak muda bangsa pada kondisi sulit saat ini. Kita tidak boleh menyerah atau pasrah. Kita tidak boleh menyerah pada masalah, tetapi harus memikirkan solusi dan ikhtiar jalan keluar menghasilkan pembelajaran yang berkualitas. Kita memperkuat dan buktikan kepada negara, masyarakat, Binus, orang tua, dan mahasiswa kita bahwa kita CBDC menjadi center yang mampu membangun karakter anak muda kita dan juga pengembangan nilai-nilai kebangsaan yang berakar pada tradisi nilai budaya lokal Indonesia, namun terbuka juga untuk nilai-nilai luar akibat globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nalar kritis dan cerdas. Kita tahu bahwa kita sedang dalam kondisi kritis dan krisis akibat covid 19. Namun kita tidak boleh menyerah atau pasrah. Sebaliknya kita harus siap bersama utk 'membajak momentum krisis' ini dengan menyajikan model pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menarik untuk para mahasiswa yang kita layani. Mari kita jadikan CB sebagai ilmu dan materi yang menarik, menyenangkan dan membahagiakan bagi para mahasiswa kita di ruang kelas online dunia maya yang kita jelajahi. Terima kasih. read more
Frederikus Fios • February 12, 2021
Pilih Bukan karena Uang Melainkan Karakter (Catatan Pilkada Serentak 9 Desember 2020)
Dr. Frederikus Fios (Manager Character Building Development Center, Binus University - Jakarta) “Bagaimana mungkin Anda mengaku tidak paham politik dan uang? Anda paham menggunakan senjata kan? Uang adalah ‘senjata’, politik adalah ‘mengetahui kapan waktu yang tepat untuk menarik pelatuknya’” - Don Lucchesi, saat bicara pada Vincent Corleone dalam 'The Godfather III'. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia akan digelar pada 9 Desember 2020. Para calon pemimpin kepala daerah sudah masyarakat ketahui melalui sosialisasi media. Debat pun sudah berlangsung. Kampanye pun sudah dilaksanakan. Pemaparan visi, misi, program dan strategi untuk membangun sudah disosialisasikan kepada khalayak publik masing-masing daerah. Kini masyarakat tinggal menghitung hari saja untuk menjatuhkan pilihan pada figur pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam pesta demokrasi 9 Desember mendatang. Pemilih rasional sangat diharapkan dalam ajang Pilkada. Biasanya pemilih rasional akan memperhatikan beberapa hal penting di antaranya: mengetahui track record calon kepala daerah, mengenal karakter calon pemimpin, mengenal visi misi dan program kerja, mengetahui situasi dan kondisi daerah, mengenal persoalan daerah, dan apa yang sungguh dibutuhkan dan terbaik untuk daerah masing-masing. Di atas kertas, saya sangat yakin semua visi-misi-program para paslon tentu sudah disusun dengan baik dan bertujuan akhir untuk mensejahterakan masyarakat atau menciptakan bonum commune (kebaikan bersama) bagi masyarakat itu sendiri. Tinggal bagaimana sekarang masyarakat bisa memilih dengan baik dan tepat. Jadilah Pemilih Rasional Pemilihan kepala daerah merupakan suatu keputusan politik yang penting untuk kemajuan daerah 5 tahun mendatang. Oleh karena itu dalam memilih, para pemilih atau masyarakat das sollen (seharusnya) memilih dengan berdasarkan nalar sehat. Memilih dengan nalar sehat artinya memilih dengan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas: logis, objektif, faktual, independen, bebas, jujur, taat nurani, adil, dan otonom dalam memilih. Pemilih yang rasional tidak akan dipengaruhi dengan cara apapun, oleh kekuatan apapun, termasuk rayuan gombal uang atau money politic yang biasanya marak sekali menjelang Pilkada. Pemilih rasional harusnya menempatkan dirinya sebagai SUBJEK yang menentukan dan bukannya objek yang ditentukan. Subjek yang menentukan artinya, ia tidak bisa dipengaruhi dengan kekuatan uang ataupun kekuatan hegemonik lainnya yang intervensif-intimidatif. Pemilih yang rasional adalah SUBJEK yang menjaga kesucian diri, menjaga keutuhan diri, menjaga kemurnian pilihannya dalam memilih. Ia menghargai dirinya, tidak terpengaruh oleh godaan uang dari Paslon atau tim sukses Paslon yang memberikan sejumlah uang. Pemilih rasional akan memilih pemimpin karena pikiran dan hati nuraninya sendiri, bukan karena diberi uang. Kalau memilih karena uang, maka ia sudah merendahkan dirinya sendiri. Ia pun tidak menghargai dirinya sendiri, karena menempatkan dirinya sebagai objek dan bukannya SUBJEK. Ia menempatkan dirinya bukan sebagai tuan dan raja melainkan hamba bahkan budak. Ini posisi di titik nadir yang memprihatinkan. Jaga Kesucian Hati Pemilih yang rasional juga adalah tuan atas dirinya sendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai raja yang kukuh berdiri di atas prinsip dan nilai kebenaran akal budi serta hati nurani yang jujur dan bening suci. Ketika ia memilih karena diberi uang, ia tidak suci lagi sebagai pemilih yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Ia seharusnya memiliki budaya malu pada dirinya sendiri maupun orang lain. Ia harus menjaga kesucian dan sakralitas dirinya dengan menolak politik uang atau money politic. Memilih karena diberi uang, artinya pemilihnya masih anak-anak dan bukan orang dewasa. Dan moralitasnya pun masih moralitas anak-anak. Karena, mengutip pemikiran Korlberg, anak-anak biasanya melakukan suatu perbuatan karena mendapatkan reward atau hadiah. Anak-anak pun melakukan perbuatan karena takut ancaman atau punishment. Apakah para pemilih dalam Pilkada 9 Desember itu anak-anak? Tentunya bukan, karena anak-anak (0-9 tahun) tidak ikut memilih sesuai dengan persyaratan undang-undang Pemilu kita. Jaga Kualitas Demokrasi Pemilu itu juga momen yang baik untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita. Kualitas demokrasi Indonesia akan semakin bagus dan baik jika masyarakat pemilih memposisikan dirinya sebagai SUBJEK dalam memilih. Ketika pemilih menempatkan diri sebagai subjek pemilih, maka ia akan memilih nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai yang baik itu artinya ia menjaga marwah dirinya sebagai penguasa sesungguhnya. Penguasa sesungguhnya bukan para calon pemimpin kepala daerah, namun masyarakat pemilih itu sendiri. Karena demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat. Demokrasi itu kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam memilih, rakyat seharusnya menunjukkan jati dirinya sebagai penguasa yang sejati atas dirinya sendiri, dan bukan dikuasai oleh para calon pemimpin/kepala daerah yang membual janji kosong dalam ajang kampanye. Kita perlu berpikir bahwa uang tidak menentukan demokrasi., Demokrasi yang sejati di negeri ini harus dibangun di atas dasar rakyat pemilih yang cerdas, yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, kebebasan dan tanggung jawab dalam memilih saat Pilkada. Jika kita mau menjaga kualitas demokrasi kita, kita harus setia dan berani untuk memilih bukan karena uang. Memilih karena uang akan merusakkan kualitas demokrasi itu sendiri. Karena demokrasi itu bukanlah tentang uang, melainkan tentang bagaimana kita memilih sesuai dengan penuh kesadaran diri, kebebasan, rasionalitas, kejujuran, etika dan nilai-nilai umum universal bagi kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Kita tidak bersikap demokratis jika kita memilih karena uang. Dan jujur saja, memilih karena uang itu dengan sendirinya membunuh roh demokrasi itu sendiri. Karena roh demokrasi itu, sejatinya, ada pada kebebasan rakyat itu sendiri dalam memilih sesuai dengan kebebasan hati nuraninya sendiri. Pilih Calon Kepala Daerah yang Berkarakter Sebagai pemilih yang baik, kita tentu juga akan memilih calon pemimpin yang baik. Pemilih yang baik akan memilih pemimpin sesuai dengan standar/kriteria nilai-nilai kebaikan yang mengkristal di dalam dirinya. Kalau rakyat memilih pemimpin yang tidak berkarakter baik sesuai dengan nilai yang dianutnya, maka ia mengkhianati dirinya sendiri. Ia melecehkan nilai-nilai kebaikan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu jika kita masih merasa orang baik, jika kita merasa masih sebagai manusia baik, maka jatuhkan pilihan Anda pada orang yang baik, pada orang yang berkarakter, pada pemimpin yang mampu menunjukkan kebaikan itu dalam kepemimpinan yang dijalankannya, pada pemimpin yang menjaga komitmen, pada pemimpin yang mampu konsisten dan menjaga integritas dirinya secara adequat. Calon kepala daerah yang berkarakter, adalah mereka yang tidak memiliki catatan yang buruk sebagai pemimpin dalam kiprahnya. Mereka juga tidak didikte oleh kekuasaan lain yang mempengaruhi mereka dalam memimpin. Mereka mampu otonom dan mandiri dalam menjalankan kepemimpinan mereka. Hai warga negara Indonesia, sekali lagi, dalam memilih pemimpin, harusnya memilih bukan karena uang namun karena kualitas karakter pemimpin yang baik. Pemimpin-pemimpin mulia dan besar dalam panggung sejarah kehidupan manusia terlahir bukan karena uang, namun karena dipercayai, disayang, dibanggakan, dirindukan, dikenangkan karena kualitas karakter mulia yang melekat di dalam diri mereka. Mereka membebaskan diri dari berbagai kepentingan duniawi yang melekat pada diri mereka untuk melayani kemanusiaan dan kemasyarakatan berbasis nilai kebaikan. Mereka dikenangkan bukan karena uangnya, namun karena kualitas diri mereka yang ditunjukkan dalam sikap dan tindakan-tindakan keutamaan yang berkarakter dalam memimpin: cerdas, menghargai nilai-nilai religius, berani, populis, baik hati, peduli kemanusiaan, adil, jujur, cinta damai, tidak materialistis, melayani dengan ketulusan, menjaga keharmonisan/persatuan hidup bersama dalam perbedaan, bersikap demokratis, dan mengusahakan kesejahteraan sosial. Selamat memilih sebagai Subjek dalam Pilkada serentak 9 Desember 2020. Jangan jadikan diri kita sebagai Objek dalam Pilkada 2020 ini. Tunjukkan bahwa kita rakyat Indonesia semakin matang dalam berdemokrasi, tunjukkan kita bisa menjaga martabat diri kita yang sejati sebagai pemilih yang rasional, pemilih yang menjaga kesucian diri, pemilih yang menghormati nurani, pemilih yang menjaga kualitas demokrasi, dan pemilih yang memilih calon pemimpin yang berkarakter mulia. Salam Pemilu! "Politik uang bukan pembentuk karakter, melainkan perusak karakter itu sendiri" (Fritz Fios). read more
• November 30, 2020
Kebebasan dan Pemikiran Inovatif Online Patut Didukung
Oleh: Frederikus Fios Belakangan ini jagad media tanah air dipenuhi dengan adanya berita mengenai gugatan uji materi dari salah satu stasiun televisi swasta di republik ini kepada pihak Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya, larangan atas siaran media sosial youtube, instagram, facebook dll. Hal ini menarik untuk dikaji secara filosofis. Berikut ini beberapa argumentasi dasar pemikiran terkait fenomena ini. Pertama, paradigma filosofi postmodern dengan aliran teori kritis memungkinkan setiap Subjek Manusia bebas mengekspresikan diri dan menciptakan dunianya. Aku sebagai Subjek, berpeluang menciptakan kesadaran subjektif yang dinamis, fleksibel, cair dan selalu dalam proses becoming. Aku bukanlah aku yang pasif atau mati, tetapi aku menjadi subjek yang mampu menalar, berlogika, berproses menjadi, hidup, memiliki keunikan. Aku yang unik mampu menciptakan kultur sendiri sehingga memberikan kontribusi pada keanekaragaman informasi dan multiperspektif atas duniaku. Kedua, Freire mengatakan manusia adalah aktor, pelaku atau subjek bukannya penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas. Perlu bertindak untuk mengatasi dan melampaui realitas yang dominatif dan mengkooptasi sehingga aktualisasi dan aspirasi diri tetap terjaga. Ketiga, Manusia memiliki dimensi kebebasan, pengetahuan, kesadaran kritis dan inisiatif untuk menciptakan keunikan, makna dan tujuan hidup yang tidak statis, memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak yang harus dihargai. Oleh karena itu kebebasan berpikir setiap subjek manusia, termasuk menyampaikan gagasan/siaran melalui media online perlu didukung perkembangannya. Keempat, Pandemi Covid 19 saat ini di mana semua lini serba live online, ini mendorong manusia sebagai makhluk personal untuk melakukan aktualisasi diri dan kreativitas inovatif untuk melakukan siaran online melalui channel pribadi (youtube, facebook, instagram dll). Dan hal ini perlu didukung, tidak boleh dilarang apalagi dibatasi. Karena kalau dilarang, maka ruang kebebasan individu seolah dibonsai. Kelima, siaran online saat ini yang disajikan media sosial merupakan suatu momentum dekonstruksi (istilah Derrida) pada media konvensional yang sejauh ini mulai kurang diminati publik. Tidak semua pemirsa suka pada tayangan media konvensional yang ada saat ini seperti radio, televisi dll. Media konvensional perlu kreatif dan inovatif juga untuk meningkatkan kualitas tayangan dan acaranya. Ada tawaran alternatif untuk melihat dunia kehidupan yang lain (lebenswelt) dari perspektif subjektif masing-masing individu dan media sosial jadi pilihan publik saat ini yang tidak dapat dibendung kekuatannya. Keenam, hak asasi manusia termasuk di dalamnya adalah hak untuk berpikir dan mengemukakan pendapat perlu diberi tempat. Media sosial seperti youtube, facebook dan instagram pribadi, dapat kita nilai sebagai bagian dari demokratisasi hak berpikir dan kreasi warga negara di masa sekarang dalam rangka untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Larangan siaran media online dapat saja berpotensi menciptakan otoritarianisme kekuasaan yang kontraproduktif. Ketujuh, patut dicatat juga bahwa media sosial juga membuka kesempatan/peluang kerja bagi ribuan warga Indonesia yang kehilangan pekerjaan akibat covid 19 ini. Banyak pihak termasuk para youtubers mendapat kesempatan untuk mencari uang atau penghasilan tambahan dengan siaran berbobot yang ditampilkan dan dinikmati oleh penikmat acara mereka. Ujung-ujungnya selera publik dan pilihan penonton ikut memberikan andil pada perkembangan para pelaku media massa online seperti youtube dll. Kedelapan, kita berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memberikan keputusan yang bijak dan adil dalam paradigma menjaga semangat persatuan dan kesatuan bangsa agar demokrasi serta kebebasan berpikir/berpendapat semakin diberi tempat yang adequat di republik ini. Di atas segalanya, pada akhirny setiap pengguna media sosial, setiap kita harus sadar untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas, kritis, etis dan bertanggung jawab sehingga tidak mendatangkan persoalan yang merugikan pihak lain dan juga ruang publik serta ruang sosial hidup bernegara kita di bumi pertiwi Indonesia ini. Media online perlu menjadi alat perdamaian dan pemersatu bagi bangsa Indonesia yang kita cintai ini. read more
• August 28, 2020
“Manusia Ekologis”: Alternatif Menjadi Manusia di Tengah dan Pasca Covid 19
By: Frederikus Fios Lebih dari 200 negara di dunia ini masih sedang dalam upaya serius untuk melakukan perang melawan Coronavirus (Covid 19). Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Covid 19 ini akan benar-benar sirna atau beranjak pergi dari kehidupan umat manusia di seantero planet bumi ini. Kita terus berusaha untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi covid ini dengan pola pikir kita, sikap kita dan tindakan-tindakan kita untuk menyelamatkan kehidupan. Pada Bulan April lalu, tepatnya tanggal 18 April 2020, Singapore University of Technology and Design (SUTD) mempublikasikan sebuah rilis informasi yang berisikan prediksi berdasarkan data dari perkembangan Covid 19 hingga berakhirnya virus mematikan ini untuk berbagai negara di dunia ini (bdk https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/27/091542965/ini-prediksi-akhir-wabah-virus-corona-di-berbagai-negara-indonesia-kapan?page=1). SUTD merilis Covid 19 akan berakhir di Amerika Serikat pada 26 Agustus 2020, Singapura 7 Agustus 2020, India 13 Juli 2020, Arab Saudi 11 Juli 2020, dan Italia 8 Mei 2020. Pandemi Covid 19 untuk Indonesia sendiri, diprediksi SUTD, baru akan berakhir 100 persen pada 7 september 2020. Proyeksi berakhirnya pandemi Covid 19 ini tentu merupakan suatu ramalan ilmiah menggunakan metode ilmu pengetahuan yang bersifat prospektif. Sebagai sebuah ramalan, teori kemungkinan tentu masih berlaku dalam prediksi ini. Kita juga tidak boleh bersikap apriori begitu saja untuk menerima ramalan ini sebagai hal yang benar seratus persen. Kita juga tidak boleh meragukan kebenaran ilmiah prediksi ini. Kita pun tidak boleh fatalistis. Semuanya masih fifty-fifty alias 50-50 persen. Bisa ya, bisa tidak. Bisa lebih cepat atau bahkan bisa lebih lama waktu berakhirnya pandemi covid 19 ini. Semuanya tergantung cara hidup kita. Kita tidak perlu berdebat soal kapan berakhirnya pandemi covid 19 ini. Yang penting bagi kita adalah cara hidup kita. Kita terus berjuang untuk setia menjaga kesehatan diri, setia menjaga jarak fisik dan jarak sosial, serta mengurangi frekuensi interaksi berlebihan dalam jumlah banyak dengan orang lain di sekitar kita. Peraturan dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditentukan pemerintah perlu kita taati bersama. Dari perspektif filosofis, pandemi covid 19 merupakan suatu momentum penting bagi seluruh umat manusia untuk berefleksi, mempertanyakan kembali hakikat eksistensi dan co-eksitensi kita bersama entitas others (yang liyan). Di mana-mana banyak warga dunia berdoa, peduli kesehatan, saling membantu, saling mengingatkan, dan hanyut dalam solidaritas universal untuk cepat keluar dari gurita jaringan Covid 19 ini. https://cdn-radar.jawapos.com Jauh di lubuk hati manusia yang terdalam, manusia seolah-olah mengalami fenomena kekosongan eksistensial sebagai manusia. Atau bisa juga merasakan kecemasan eksistensial (existential anxiety), meminjam istilah teolog Paul Tillich. Manusia mengalami kegelisahan kekinian, hic et nunc (kini dan di sini) sebagai manusia modern. Manusia seakan mengalami kehancuran diri di dalam berbagai aspek kehidupan: ekonomi, kesehatan, politik, bisnis, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Semakin hari kita merasakan semua urusan manusia dipaksa ditunda, atau dialihkan caranya dalam bentuk substitusional lain, yang tentu tidak lazim seperti biasanya. Pola-pola hubungan interaktif manusia berubah. Jarak fisik dipersempit, jarak maya (daring/online) diperlebar dan mengalami perluasan fungsi. Inikah era kejayaan dan keemasan dunia maya? Kita semua seolah merasakan dan mengalami ruang gerak fisik kita terbatas, karena hanya tinggal di rumah saja atau di lingkungan fisik dekat rumah. Kebebasan kita seolah dipasung. Kemerdekaan kita dirampas. Kebahagiaan kita tersandera. Siapa yang mengambil semua kemerdekaan dan kebebasan itu? Lagi-lagi covid 19 jawabannya. Kebebasan kita selama ini bisa saja kebebasan yang merusak. Kemerdekaan kita selama ini boleh jadi merupakan kemerdekaan yang tidak etis. Titik fragilnya terletak pada sikap konsumtif kita yang merusak alam, sikap rakus dan serakah kita yang berlebihan tanpa mampu dikendalikan oleh nalar sehat, yang berdampak pada kerusakan alam lingkungan kosmik dan ekosistem semesta. Ekonomi yang kita bangun selama ini berbasis pada pencapaian profit thinking (capaian keuntungan yang maksimal) tanpa peduli alam. Ekonomi yang kita bangun berorientasi pada ekonomi kuantitatif dan bukan ekonomi kualitatif. Di sinilah kata-kata Henryk Skolimowski mendapatkan pembenarannya. "Hidup yang tidak memperhatikan ekonomi kualitatif adalah hidup yang tidak bermakna". Ekonomi kualitatif tidak mementingkan orientasi capaian material, tetapi memperhatikan keseimbangan ekologis dalam pencapaian aspek ekonomi pembangunan manusia. Di saat Covid 19 ini, ketika banyak negara peduli akan kesehatan, peduli akan kehidupan, peduli akan lingkungan, peduli akan tanggung jawab individu dan bersama mengatasi covid 19, kita sebetulnya sedang menghayati eco-philosophy. Eco-philosophy (istilah Skolimowski) adalah suatu paradigma pemikiran kontemporer yang mengkritik cara hidup manusia modern yang serakah dan rakus, kritik atas cara pikir atomisme-logis yang mengobjekkan alam, kritik atas cara pikir antroposentrisme yang mensuperiorkan posisi manusia dalam tatanan alam semesta dan mensekunderkan entitas yang lain. Saat ini, di tengah covid 19, kita semua umat manusia sedang berpikir dan bersikap ekologis. Kita menghidupi cara hidup ekologis, inilah spiritualitas manusia ekologis. Kita sedang peduli pada aspek ekologis dalam hidup dan kehidupan kita bersama seluruh bangsa umat manusia di planet bumi ini. Kita peduli pada alam lingkungan termasuk kita manusia dan makhluk lain di dalamnya. Bukan saja unsur biotik, melainkan juga unsur abiotik tanpa kecuali. Kita sedang peduli pada hal yang spiritual, hal yang kualitatif, hal yang menghidupkan, hal yang menyeimbangkan, hal yang menyehatkan, hal yang mendamaikan, hal yang membahagiakan, hal yang menciptakan masa depan keberlanjutan lingkungan ekologis yang lebih baik bagi semua makhluk (baik yang hidup maupun yang mati). Selama masa lock down atau PSBB atau pembatasan fisik atau pembatasan jarak ini, kita belajar hal bermakna untuk hidup menjadi manusia ekologis. Sekali lagi kita belajar spiritualitas menjadi manusia ekologis. Kita amati juga banyak orang mulai menanam sayuran, cabe, dan tanaman produktif lain di rumah dengan memanfaatkan keterbatasan lahan yang ada untuk dapat menopang ekonomi rumah tangga. Yang memiliki kebun dan tanah luas dapat semakin produktif menanam di kebunnya tanpa merusak alam. Yang tidak memiliki lahan dapat menggunakan polibek atau bahan hidroponik lain dalam menanam tanaman untuk mempercantik halaman rumah juga untuk tujuan konsumtif sayuran di tengah pandemi covid 19 ini. Ya, kita tinggal di rumah untuk memutus mata rantai covid namun tetap melakukan sesuatu dengan alam untuk kebaikan kita juga. Upaya tim medis untuk merawat sesama kita yang sudah terkena korban covid kiranya cepat disembuhkan. Kita yang lain berjuang untuk taat dan tinggal saja di rumah agar tidak terkena dan juga menyelamatkan nyawa orang lain juga yang ada di sekitar kita. Kita tetap positif lakukan upaya dan cara-cara yang baik untuk menghindari covid 19. Kini, sambil berjuang terus untuk mengatasi pandemi covid 19, kita telah bersikap ekologis. Kita menghidupi humanisme ekologis, kemanusiaan yang berorientasi lingkungan. Kita telah paham dan sadar betul akan betapa rapuhnya kita di tengah alam semesta ini. Kini kita sudah peduli pada alam dan mengakui kebesaran alam yang jauh melampaui diri kita manusia sebagai salah satu unsur di dalam alam semesta mahaluas ini. Kita harus sadar bahwa kita dan alam itu satu adanya. Sikap ekologis yang sudah kita hidupi di masa covid 19 ini, mestinya tidak hanya terjadi pada saat pandemi covid 19 ini berlangsung, tetapi juga seharusnya berkelanjutan di masa depan pasca covid 19 ini berakhir menyebar. Menghayati spiritualitas kemanusiaan ekologis di tengah covid ini sungguh indah dan memesona. Menjadi manusia ekologis itu layak menjadi pilihan alternatif menjadi manusia kini dan nanti. Tidak bisa tidak! Spiritualitas manusia ekologis perlu menjadi kesadaran bersama, pemahaman bersama, komitmen bersama, sikap bersama, tindakan bersama, kebijakan bersama, dan gerakan bersama seluruh umat manusia di planet bumi ini. Karena hanya dengan ini kita menghindari diri dari munculnya covid 19 jilid kedua dan seterusnya, atau apapun bentuk bencana lain yang lebih parah lagi berpotensi terjadi di masa depan. read more
• May 07, 2020
Character Kita Diuji di Tengah Upaya Contra Covid 19
Oleh: Frederikus Fios Saat ini dunia, planet bumi kita dibayang-bayangi hantu yang menakutkan. Hantu itu adalah Covid 19 yang seolah liar melaju secara pandemik dari orang ke orang merambah seluruh belahan bumi ini. Hampir tidak ada negara yang luput diterpa wabah penyakit corona ini. Kecepatan penyebarannya yang begitu cepat membuat banyak negara kurang siap untuk mencegah laju akseselerasi penyebarannya. Di Eropa, Amerika, Afrika, dan negara-negara Asia semuanya tidak ada yang luput. Kendatipun demikian sebagai makhluk rasional yang dikaruniai akal budi kita manusia tidak tinggal diam menghadapi kondisi ini. Para pemimpin negara dunia ini, termasuk world health organization (WHO) yang ketika mengetahui karakter pandemik virus ini langsung mengumumkan perlunya kebijakan lock down sebagai solusi untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19 ini. Respon berbeda-beda. Ada negara yang langsung menerapkan lock down 100 %. Ada yang tidak melakukan lock down total namun menerapkan kebijakan social distancing dan physical distancing. Ini menunjukkan bahwa manusia, warga dunia ini peduli pada kesehatan dan keselamatan diri semua bangsa manusia di planet bumi ini. Ada yang berhasil memblock kecepatan laju pandemik, ada yang kurang cepat, ada yang lambat bahkan ada yang tidak berdaya menghadapi fenomena covid 19 ini. Namun yang jelas, ada usaha yang ditempuh berbagai negara di dunia ini untuk menghentikan pandemik yang mengancam kesehatan manusia. Di bidang penelitian sudah dilakukan riset untuk menemukan vaksin. Para ahli negara masing-masing tentu melakukan uji coba, try and error untuk menemukan solusi atas masalah covid ini. Namun sejauh ini banyak media yang merilis bahwa vaksin ampuh dan definitif belum ditemukan secara pasti. Ketidakpastian temuan vaksin covid ini dan juga kecepatan penyebaran covid ini yang juga semakin membuat gelisah manusia di bumi ini. Untuk konteks kita di Indonesia, pemerintah tidak melaksanakan lock down. Namun menerapkan kebijakan karantina wilayah dan sekarang kita mengenal istilah yang disebut pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan hampir secara sporadis di seantero negeri. Semua warga negara Indonesia perlu memiliki kesadaran diri untuk mentaati kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani virus covid ini. Kita patut menyampaikan apresiasi pada pemerintah Indonesia yang sejauh ini tetap komit dan konsisten untuk menempuh langkah-langkah kebijakan yang perlu untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran penyakit wabah ini. Pemerintah pusat dan daerah sejauh ini sudah melakukan langkah-langkah kuratif dan preventif untuk menghentikan covid 19 ini. Satu hal yang penting, yang tidak boleh kita lupakan dan perlu kita sadari bersama bahwa untuk mengconter/melawan covid 19 ini ujian sesungguhnya adalah pada character kita. Diktum ini benar. Karena character kitalah yang menentukan nasib kehidupan kita. Character kitalah yang pada akhirnya menunjukkan sukses atau gagalnya kita mengatasi wabah corona ini. Character kita pulalah yang menentukan cepat atau lambatnya kita mengatasi persoalan Covid 19 ini. Sebagai warga negara yang baik kita perlu taat dan mengikuti kebijakan pemerintah dan juga setia menjalankan protokol kesehatan untuk rajin mencuci tangan, mengurangi aktivitas di luar, menghindari kontak fisik dan jarak sosial berdekatan dengan orang lain dan sebagainya. Karakter kitalah yang menentukan cepat atau lambatnya penyebaran virus ini. Kuncinya pada kita manusia. Intinya pada kita mau atau tidak untuk melakukan self controlling (menahan diri) untuk tetap tinggal di rumah, tetap menjaga kebersihan diri, tetap setia menjaga jarak fisik, dan tetap setia menjaga jarak sosial dalam interaksi-interaksi kita. Maka sebetulnya character kita sungguh diuji di tengah upaya contra covid 19 ini. Kita belajar mengendalikan diri, belajar makin menghargai kebersihan, belajar menghargai alam, belajar menghargai sesama manusia, belajar menghargai kehidupan, belajar makin spiritual di tengah covid 19 ini. Sambil setia merawat diri dan menahan diri kita untuk bebas dari terpaan virus covid 19 ini, sebagai makhluk spiritual kita tetap tidak boleh lupa untuk mengandalkan campur tangan ALLAH (TUHAN) sebagai pencipta dan pemilik segala ada di dalam entitas semesta ini. Kita berharap pandemi covid 19 segera usai dengan kedewasaan sikap kita dalam memantapkan karakter diri kita sebagia manusia utuh yang menjaga harmonisasi dalam relasi kita dengan Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi? read more
• April 24, 2020
Aksi Demonstrasi: Rasionalitas Elitis versus Rasionalitas Populis?
Beberapa hari belakangan ibu Kota Jakarta dan daerah lain di Indonesia ramai lantaran terjadi gelombang aksi protes/demonstrasi yang dilancarkan berbagai kelompok elemen masyarakat. Mulai dari kalangan masyarakat kampus hingga ormas dan kelompok anonim ramai-ramai turun ke jalan untuk berdemo. Di Jakarta sendiri situasi macet ada di dekat titik demonstrasi yang fokus di Gedung DPR/MPR Senayan. Transportasi terhambat. Sopir angkot kurang setoran. Masyarakat yang ingin pergi bekerja ataupun pulang ke rumah terganggu perjalanannya. Beberapa aktivitas lain tentu juga tidak berjalan lancar, normal dan ideal. Publik dibuat gelisah. Inilah dampak negatif dari aksi demonstrasi. Apa yang menyebabkan gelombang demonstrasi ini terjadi? Sebagaimana yang dilansir oleh merdeka.com (edisi Rabu 25/9/2019) Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono mengungkapkan bahwa penyebab demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR RI berujung ricuh lantaran tuntutan massa tak dipenuhi. Massa mahasiswa mendesak ingin bertemu pimpinan DPR untuk menyuarakan aspirasinya terkait RUU KUHP. Tampaknya mayoritas pendemo kali ini yakni kategori mahasiswa yang pada dasarnya merupakan orang-orang kampus yang aktivitas tiap harinya di institusi pendidikan untuk belajar atau menimba ilmu. Namun mengapa kali ini mahasiswa turun ke jalan? Ada apa gerangan? Dari sisi sikap kritis, boleh jadi para mahasiswa turun ke jalan sebagai ungkapan sikap kritis mereka atas beberapa pasal RUU KUHP yang mereka nilai tidak pas. Disinyalir tercium aroma ketidakadilan gender atau bahkan pengebirian pada dimensi kebebasan/privasi hak-hak warga negara tertentu. Belum ditambah lagi dengan revisi UU KPK yang juga mengkristalkan kontroversinya. RUU KUHP ini pun dinilai kontroversi dalam persepsi publik, minimal dari perspektif akal sehat para mahasiswa. Oleh karena itu para pendemo (mahasiswa) minta agar pemerintah menunda atau bahkan membatalkan untuk mensahkan RUU KUHP ini. Selain itu tampak seolah-olah kebijakan yang diambil kurang mengakomodasi kepentingan publik tertentu. Sehingga ada sinisme yang cukup menggelitik pada arah peta politik di Indonesia yang sepertinya hanya berorientasi pada pengambilan kebijakan yang lebih memperhatikan rasionalitas politis (kepentingan partai dll) daripada kepentingan populis (masyarakat/rakyat). Di titik ini demonstrasi ini perlu dijadikan kesempatan juga oleh para pembuat undang-undang dan juga para pengambil kebijakan untuk melakukan otokritik dan bahkan melakukan instrospeksi dan retrospeksi untuk perbaikan produk UU yang lebih baik lagi ke depan. Dalam situasi seperti ini semua pihak perlu melihat demonstrasi mahasiswa ini secara logis-rasional. Pemerintah juga perlu melakukan komunikasi politik yang baik, arif dan bijak dengan kelompok mahasiswa pendemo untuk mencapai titik simpul atau kata sepakat. Jika gelombang demo makin meluas, maka pemerintah perlu mengambil sikap tegas. Dalam hal ini kita dukung pernyataan cendikiawan Prof. Magnis Suseno yang meminta agar Presiden Jokowi berani mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU KPK (nasional.kompas.com edisi 26/9/2019). Juga termasuk RUU yang menuai protes dari kalangan masyarakat. Publik diharapkan positif juga dengan langkah ini, jika pada akhirnya presiden mengambil kebijakan tegas ini. Jangan didomplengi lagi nantinya. Dalam kondisi sekarang ini juga aparat pemerintah khususnya pihak keamanan harus tetap tenang dan berkepala dingin dalam menghadapi para pendemo. Para pendemo juga harus sadar diri untuk tidak melakukan hal-hal yang anarkis atau merusak fasilitas publik dll. Masyarakat pun tidak boleh terhasut untuk menyebarkan hoax ataupun memperkeruh suasana yang dapat menciptakan kondisi kekacauan lebih besar lagi di republik ini. Para pemilik modal besar pun harus menahan diri. Bukankah demonstrasi yang berlama-lama juga ujung-ujungnya merugikan diri kita sendiri maupun orang lain (sesama) dalam menjalankan aktivitas masing-masing? Mari kita ciptakan kondisi yang aman, damai, nyaman dan tenang kembali. Kita berharap pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat segera mengambil langkah-langkah arif dan bijak mengakomodasi aspirasi pendemo dan menyelesaikan beberapa produk UU maupun RUU KUHP yang dinilai kontroversi. Dan solusi untuk kondisi sekarang ini yakni perlunya membuat kebijakan yang pro rakyat (populis) dan bukan mengedepankan arogansi kekuasaan apalagi rasionalitas elitis yang apatis dan apolitis terhadap kepentingan masyarakat dan publik Indonesia. Di sini rasionalitas utilitarianisme (the greatest happiness is the the greatest of number) patut diperhatikan demi terciptanya bonum commune (kebaikan bersama). Kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia yang lebih besar harus dijunjung tinggi jauh di atas segala kepentingan elit atau golongan tertentu saja. Kepentingan elite harus dikorbankan untuk kepentingan populis/masyarakat. Karena suara rakyat itu suara Tuhan (vox populi, vox dei). read more
Frederikus Fios • September 26, 2019
Kita Masih Harus Berjuang dan Belajar Hidup Bersama (Catatan Kecil Terkait Kasus Papua)
Beberapa hari belakangan ini, kita dikejutkan pada kasus kericuhan (konflik horizontal) yang terjadi di antara anak bangsa ini. Beritanya menyebar luas di media massa dalam kecepatan bertempo tinggi, skala lokal hingga internasional. Belum ditambah dengan tuturan dari mulut ke mulut. Jelasnya, kericuhan dan konflik sosial yang terjadi di Jawa Timur hingga akhirnya merembes hingga tanah Papua, pulau paling timur Indonesia, pulau yang memiliki kekayaan sumber daya alam luar biasa. Kita prihatin dan sedih atas peristiwa yang mencoreng rasa persatuan dan naluri kemanusiaan kita bersama di dalam rumah bersama Indonesia ini. Konflik sosial dalam hidup bersama merupakan hal yang lazim terjadi. Konflik terjadi ketika terjadi ketidaksesuaian dan ketidakcocokan antara keinginan dan fakta, antara cita-cita dan kenyataan. Faktor penyebab konflik bisa terjadi karena beda keyakinan, beda pikiran, beda prinsip, beda kepentingan, beda budaya dan lain sebagainya. Litani ini masih dapat diperpanjang. Apapun motif dan pemikirannya, namun secara filosofis, dalam kasus Papua, kita menyadari bahwa kita anak bangsa ini masih belum sukses dalam hidup bersama di atas kenyataan perbedaan-perbedaan yang secara esensial melekat pada diri kita. Kita masih belum cukup beradab dan adil dalam menghargai realitas perbedaan di antara kita. Kita belum cukup menghargai asal usul kita: suku, etnis, agama, ras dan atribut sosial lain yang melekat pada diri kita sebagai anak bangsa. Kasus Papua kembali mengingatkan kita akan makna nasionalisme kita bangsa Indonesia yang sejatinya adalah bangsa yang berdiri di atas perbedaan. Perbedaan itu garis hidup kita. Kita tak mungkin sama dalam aspek: suku, ras, budaya, agama dan lain sebagainya. Kita beda dalam banyak aspek kehidupan kita. Dan oleh karena itu kita perlu saling menghargai dan menghormati perbedaan kita. Kita pun tidak boleh mempolitisir perbedaan-perbedaan kita untuk tujuan yang rendah entah itu ekonomis, politis, atau apapun yang tidak relevan dengan rasa nasionalisme, jiwa persatuan dan kemanusiaan kita sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Menghormati perbedaan, artinya kita tidak perlu berdebat dan mempersalahkan realitas perbedaan kita. Apalagi mempertanyakan, menggugat, atau bahkan mengadili perbedaan kita. Kita hanyalah mampu menerima perbedaan itu sebagai suatu faktisitas, kenyataan yang terberikan. Ketika kita di dalam rahim sang ibu, kita tidak minta (pilih) untuk lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Atau juga kita tidak minta untuk memeluk agama X atau Y. Kita tidak mampu memilih untuk lahir cantik atau tidak cantik, ganteng atau pun tidak ganteng. Kita tidak pernah memilih untuk menjadi seperti apa kita nanti ketika terlempar keluar dari rahim sang ibu yang melahirkan kita. Kita menerima semua kemanusiaan kita tanpa penentuan kita. Argumentasi teologis mengatakan, kita menerima diri kita hanya karena Kuasa Allah, Maha Pencipta kita. Kemanusiaan kita terima dari Yang Kuasa. Sebagai konsekuensi logisnya, kemanusiaan kita patut kita hargai dengan segala kebesaran jiwa, lapang dada dan pemikiran yang bijak-dewasa. Oleh karena itu, sikap tepat untuk sukses dalam hidup bersama adalah sikap etis-spiritual atas kenyataan kemanusiaan kita sendiri. Kita perlu saling menghargai dan hormat pada sesama karena kita sama-sama manusia. Dan yang lebih dari itu, karena kita sama-sama ciptaan luhur Tuhan yang Maha Esa. Di titik ini kita harus memiliki iman filosofis akan kebenaran eksistensial kita bersama sebagai manusia yang patut saling menghargai kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Mari kita saling menghargai kenyataan kemanusiaan kita apa adanya. Kita hargai segala realitas kedirian kita sama-sama sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Kita hargai diri kita yang memiliki otak, hati, jiwa, tubuh dan emosi. Secara sosiologis, kita masih harus terus berjuang dan belajar untuk hidup bersama. Justru karena kita berbeda, maka kita masih harus terus belajar. Jika kita sama, maka kita berhenti belajar tentang kita. Berhenti belajar tentang kita itu sama artinya dengan mati! Dan kita tidak ingin mati. Kita ingin hidup. Kita itu unik, khas, khusus, beda, dan spesifik. Kita masing-masing itu spesial. Maka belajar untuk menerima keunikan dan kekhususan kita itu sungguh suatu imperatif etis, tanggung jawab kemanusiaan kita bersama sampai kapan pun selagi kita masih manusia, selagi nafas masih menyatu dengan raga kita. Kita juga dukung segala upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan dialog positif-konstruktif untuk menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan damai. Tak luput pula tokoh masyarakat, tokoh agama dan kaum muda perlu bekerja sama untuk menjaga semangat persaudaraan dan persatuan di atas bumi pertiwi Indonesia ini. Media juga tidak boleh memberitakan informasi palsu yang memancing suasana lebih panas lagi. Kita berhadap Indonesia dan Papua kembali tenang dan damai seperti sedia kala. Semoga semua rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Sumatera hingga Papua tetap tenang, saling menghargai sebagai saudara, kembali damai dan terus merajut rasa persatuan dan kesatuan demi kebaikan kita bersama di dalam rumah Indonesia ini. Salam Indonesia, Salam Persatuan, Salam Kemanusiaan. read more
Frederikus Fios • August 31, 2019
01 + 02 Sama Dengan 03 (Sebuah Sintesis Pasca Pilpres 2019)
Perhelatan akbar pesta demokrasi Indonesia 5 tahunan dalam memilih pemimpin politik baik pemilihan presiden maupun pemilihan legistlatif telah usai dilakukan pada 22 April 2019 silam. Pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan pun sudah menempuh langkah konstitustional dengan menempuh rerangkai proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah agung di republik ini. Khusus untuk pertarungan pemilihan presiden (Pilpres) 01 Ir. Joko Widodo-Kiai Haji Ma'ruf Amin berhadapan dengan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah pula diputuskan hasilnya oleh MK pada tanggal 27 Juni 2019 lalu. MK telah final memutuskan menolak seluruh permohonan gugatan hasil pemilu 2019 yang diajukan pasangan capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dengan demikian, Paslon 01 Jokowi Widon-Ma'ruf Amin menang secara yuridis dalam ajang pemilihan presiden tahun 2019 ini sekaligus berhak memimpin negara republik Indonesia periode 2019-2024. Sebagai warga negara yang baik, suka atau tidak, supremasi hukum perlu kita jadikan junjungan tertinggi dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita. Plato dalam bukunya Nomoi mengatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang mengatur segala dimensi kehidupan sosial manusia dalam konteks hidup bernegara. Sebagai warga negara yang baik kita perlu taat pada hukum agar kita tidak jatuh ke dalam cara hidup yang anarkis atau dalam kosa kata Hobbes, homo homini lupus (manusia menjadi serigala) satu sama lain. Selama masa persiapan (kampanye) Pilpres, masyarakat Indonesia secara definitif terbelah di antara dua kubu yang saling bersitegang. Masing-masing pendukung hanyut dalam euforia kegembiraan bahkan fanatisme berlebihan pada pasangan yang dijagokannya entah kubu 01 atau 02. Pemilih Indonesia tersegresi, terfragmentasi, terbelah dalam suhu politik panas di tanah air Indonesia ini. Bahkan usai pengumuman MK, masih ada sisa luka yang butuh waktu sembuh oleh pihak yang kalah. Namun inilah konsekuensi logis dari sebuah kontestasi demokrasi. Ada yang menang, ada pula yang harus kalah. Karena dalam setiap perlombaan final tidak mungkin ada 2 pihak yang seri atau keduanya sama sama juara 1. Sebetulnya ada dialektika filosofis (istilah Hegel) dalam Pilpres 2019 ini. Katakanlah Paslon 01 sebagai tesis (petaha) dan pasangan 02 sebagai antitesis (penantang). Keduanya telah berjuang masing-masing dengan berbagai cara untuk meraih simpatisan dan voters dari massa pemilih Indonesia yang berjumlah sekitar 190 juta tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ketika keputusan MK dikeluarkan maka konsekuensi logisnya, terjadilah suatu proses sintesis (03) antara 01 dan 02. Jadilah 01 + 02 = 03. Semua suhu panas saatnya dingin, semua rasa benci saatnya cinta, semua konflik saatnya damai, semua perpecahan Indonesia saatnya menjadi Persatuan Indonesia (03). Saatnya sila Persatuan Indonesia (03) di dalam Pancasila diperteguh kembali menjadi spiritualitas hidup semua pendukung 01 maupun 02. Sintesis kosong tiga (03) seharusnya menjadi titik tuju, orientasi bersama, arah dasar, kesadaran bersama, paradigma pikir yang seyogyanya menjadi kemauan kolektif kita orang Indonesia hic et nunc (kini dan di sini) dalam berco-esse, hidup bersama di Indonesia ini. Sakit hati, dengki, amarah, kecewa, putus asa, biarlah berlalu dan sirna dari batin kita. Semua pihak, baik yang kalah maupun juga yang memang perlu rendah hati dan terbuka untuk bekerja sama, saling merangkul others , yang lain untuk berjalan bersama membangun dan menciptakan Persatuan Indonesia (03) di rumah kita Bersama, Indonesia yang kita cintai ini. Ketika 03 ini kita jadikan sebagai pijakan dan visi bersama semua orang Indonesia entah di politik atau di bidang lainnya, maka kedamaian, harmoni, dan ketenangan akan selalu bersemi lestari-indah di dalam bumi Indonesia ini. Mari kita bergandeng tangan lagi, bekerja sama, saling bergotong royong untuk mewujukan Persatuan Indonesia (03) selalu dan selamanya. Karena 01 atau 02 itu sementara saja. 01 atau 02 itu momental, aksidental, hanya sebuah periode waktu yang juga akan tiba saatnya berakhir di titik berhentinya. Namun 03 (Persatuan Indonesia) itu harus tetap exist, 03 harus lestari, 03 itu itu abadi, 03 itu unsur substansial dalam konteks eksistensi Negara Indonesia dahulu, sekarang dan nanti! Mari kita menghidupi spirit 03, Persatuan Indonesia dalam keseharian di mana saja kita berada. Salam 03, persatuan Indonesia! read more
Frederikus Fios • July 06, 2019
SILAHTURAHMI DAN DIALOG PASCA PENETAPAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Oleh: Dr. Yustinus Suhardi Ruman (Pengajar Character Building Binus University, Jakarta) Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Dengan demikian penetapan tersebut sekaligus juga menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2019 yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagi pihak yang kalah. Pasca penetapan tersebut masyarakat sangat menantikan saat-saat di mana pihak yang menang yakni Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’ruf Amin dan pihak yang kalah yakni Prabwo Subianto dan Sandiaga Uno dapat menciptakan silahturahmi dan dialog. Silahturahmi dan dialong antara keduanya tidak hanya akan menciptakan sebuah tradisi politik yang baik, tetapi juga dapat membangun dan memperkuat karakter sosial, budaya dan politik pada masyarakat. Silahturami dan dialog yang dibangun akan dapat menjadi stok pengetahuan dan pengalaman bagi generasi yang akan datang tentang bagaimana menempatkan nilai-nilai kebangsaan pada level yang tertinggi dalam setiap konstestasi politik. Kita semua masih ingat bagimana para pendiri bangsa tetap menjadi silahturami dan dialog di tengah pertentangan dan perbedaan yang, baik tentang dasar negara, maupun dalam berbagai kebijakan pembangunan yang menimbulkan perdebatan yang sengit. Contoh yang mudah kita ingat dalam sejarah adalah pertentangan antara Soekarno dengan para sahabat seperjuangannya yakni Mohammad Hatta dan Buya Hamka. Hatta dan Hamka terang-terangan mengeritik dan bahkan mengambil jalan oposisi terhadap Soekarno. Kebijakan Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin ditentang oleh Hatta dan Hamka. Hatta dan Hamka juga menolak penyatuan ideologis antara Nasionalisme-Agama-Komunisme. Puncak dari pertentangan itu adalah penarikan diri Hatta dari pemerintahan, dan dipenjaranya Buya Hamka karena dianggap melakukan tindakan yang subversif. Perbedaan dan pertentangan yang tajam di antara tokoh tersebut tidak menghapus semangat silahturahmi dan dialog di antara mereka. Mereka saling menghormati dan bahkan saling mengagumi satu dengan yang lainnya. Tidak saling meninggalkan pada masa-masa sulit. Dan bahkan hubungan kekeluargaan di antara mereka terus terjalin. Lalu pada masa reformasi, kita mengenal Gus Dur yang selalu di depan menentang kebijakkan presiden Soeharto dengan regim Orde Barunya. Namun, kita semua juga tahu, pertentangan di antara mereka tidak menghilangkan semangat silahturahmi dan dialog. Pada masa-masa sulitnya, Soeharto dikunjungi oleh Gus Dur dengan rasa hormat dan kekeluargaan yang tinggi. Para tokoh-tokoh di atas menempatkan kepentingan kembangsaan di atas segala-galanya. Kebangsaan menurut Soekarno dalam pidatonya tangga 1 Juni 1945 pada sidang Dokuritsu Jumbi ChÔsa-kai atau yang sering dikenal dengan Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), merupakan semangat atau keinginan untuk bersatu. Semangat atau keinginan untuk bersatu adalah adalah dasar penting bagi lahirnya bangsa Indonesia. Tanpa semangat dan keinginan ini, Indonesia menjadi tidak mungkin. Silahturahmi dan dialog atara para elit politik merupakan ekspresi dari semangat kebangsaan tersebut. Tanpa silahturahmi dan dialog bagaimanakah semangat kebangsaan itu dipupuk, dipelihara dan dibesarkan? Silahturami dan dialog antara para elit politik merupakan salah satu bagian penting dapat membangun dan memperkuat rasa saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Percaya bahwa meski berbeda, kita dapat pada tujuan yang sama. Perbedaan, pertentangan dan kritik yang terjadi kemudian tidak dipahami sebagai sebuah bentuk negasi atau peniadaan, tetapi sebagai sebuah cermin untuk melihat kembali apakah jalan yang dilalui tetap pada tujuan untuk mencapai tujuan bersama. Kita tunggu apakah Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi mengikuti jejak para pendahulu kita? read more
• July 03, 2019