Aksi Demonstrasi: Rasionalitas Elitis versus Rasionalitas Populis?

Beberapa hari belakangan ibu Kota Jakarta dan daerah lain di Indonesia ramai lantaran terjadi gelombang aksi protes/demonstrasi yang dilancarkan berbagai kelompok elemen masyarakat. Mulai dari kalangan masyarakat kampus hingga ormas dan kelompok anonim ramai-ramai turun ke jalan untuk berdemo. Di Jakarta sendiri situasi macet ada di dekat titik demonstrasi yang fokus di Gedung DPR/MPR Senayan. Transportasi terhambat. Sopir angkot kurang setoran. Masyarakat yang ingin pergi bekerja ataupun pulang ke rumah terganggu perjalanannya. Beberapa aktivitas lain tentu juga tidak berjalan lancar, normal dan ideal. Publik dibuat gelisah. Inilah dampak negatif dari aksi demonstrasi.

Apa yang menyebabkan gelombang demonstrasi ini terjadi? Sebagaimana yang dilansir oleh merdeka.com (edisi Rabu 25/9/2019)  Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono mengungkapkan bahwa penyebab demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR RI berujung ricuh lantaran tuntutan massa tak dipenuhi. Massa mahasiswa mendesak ingin bertemu pimpinan DPR untuk menyuarakan aspirasinya terkait RUU KUHP.

Tampaknya mayoritas pendemo kali ini yakni kategori mahasiswa yang pada dasarnya merupakan orang-orang kampus yang aktivitas tiap harinya di institusi pendidikan untuk belajar atau menimba ilmu. Namun mengapa kali ini mahasiswa turun ke jalan? Ada apa gerangan?

Dari sisi sikap kritis, boleh jadi para mahasiswa turun ke jalan sebagai ungkapan sikap kritis mereka atas beberapa pasal RUU KUHP yang mereka nilai tidak pas. Disinyalir tercium aroma ketidakadilan gender atau bahkan pengebirian pada dimensi kebebasan/privasi hak-hak warga negara tertentu. Belum ditambah lagi dengan revisi UU KPK yang juga mengkristalkan kontroversinya. RUU KUHP ini pun dinilai kontroversi dalam persepsi publik, minimal dari perspektif akal sehat para mahasiswa. Oleh karena itu para pendemo (mahasiswa) minta agar pemerintah menunda atau bahkan membatalkan untuk mensahkan RUU KUHP ini.

Selain itu tampak seolah-olah kebijakan yang diambil  kurang mengakomodasi kepentingan publik tertentu. Sehingga ada sinisme yang cukup menggelitik pada arah peta politik di Indonesia yang sepertinya hanya berorientasi pada pengambilan kebijakan yang lebih memperhatikan rasionalitas politis (kepentingan partai dll) daripada kepentingan populis (masyarakat/rakyat). Di titik ini demonstrasi ini perlu dijadikan kesempatan juga oleh para pembuat undang-undang dan juga para pengambil kebijakan untuk melakukan otokritik dan bahkan melakukan instrospeksi  dan retrospeksi untuk perbaikan produk UU yang lebih baik lagi ke depan.

Dalam situasi seperti ini semua pihak perlu melihat demonstrasi mahasiswa ini secara logis-rasional. Pemerintah juga perlu melakukan komunikasi politik yang baik, arif dan bijak dengan kelompok mahasiswa pendemo untuk mencapai titik simpul atau kata sepakat. Jika gelombang demo makin meluas, maka pemerintah perlu mengambil sikap tegas. Dalam hal ini kita dukung pernyataan cendikiawan Prof. Magnis Suseno yang meminta agar Presiden Jokowi berani mengeluarkan  Perpu untuk membatalkan  UU KPK (nasional.kompas.com edisi 26/9/2019). Juga termasuk RUU yang menuai protes dari kalangan masyarakat. Publik diharapkan positif juga dengan langkah ini, jika pada akhirnya presiden mengambil kebijakan tegas ini. Jangan didomplengi lagi nantinya.

Dalam kondisi sekarang ini juga aparat pemerintah khususnya pihak keamanan harus tetap tenang dan berkepala dingin dalam menghadapi para pendemo. Para pendemo juga harus sadar diri untuk tidak melakukan hal-hal yang anarkis atau merusak fasilitas publik dll. Masyarakat pun tidak boleh terhasut untuk menyebarkan hoax ataupun memperkeruh suasana yang dapat menciptakan kondisi kekacauan lebih besar lagi di republik ini. Para pemilik modal besar pun harus menahan diri. Bukankah demonstrasi yang berlama-lama juga ujung-ujungnya merugikan diri kita sendiri maupun orang lain (sesama) dalam menjalankan aktivitas masing-masing? Mari kita ciptakan kondisi yang aman, damai, nyaman dan tenang kembali.

Kita berharap pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat segera mengambil langkah-langkah arif dan bijak mengakomodasi aspirasi pendemo dan menyelesaikan beberapa produk UU maupun RUU KUHP yang dinilai kontroversi. Dan solusi untuk kondisi sekarang ini yakni perlunya membuat kebijakan yang pro rakyat (populis) dan bukan mengedepankan arogansi kekuasaan apalagi rasionalitas elitis yang apatis dan apolitis terhadap kepentingan masyarakat dan publik Indonesia. Di sini rasionalitas utilitarianisme (the greatest happiness is the the greatest of number) patut diperhatikan demi terciptanya bonum commune (kebaikan bersama). Kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia yang lebih besar harus dijunjung tinggi jauh di atas segala kepentingan elit atau golongan tertentu saja. Kepentingan elite harus dikorbankan untuk kepentingan populis/masyarakat. Karena suara rakyat itu suara Tuhan (vox populi, vox dei).

 

Frederikus Fios