01 + 02 Sama Dengan 03 (Sebuah Sintesis Pasca Pilpres 2019)

 

Perhelatan akbar pesta demokrasi Indonesia 5 tahunan dalam memilih pemimpin politik baik pemilihan presiden maupun pemilihan legistlatif telah usai dilakukan pada 22 April 2019 silam. Pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan pun sudah menempuh langkah konstitustional dengan menempuh rerangkai proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah agung di republik ini.

Khusus untuk pertarungan pemilihan presiden (Pilpres) 01 Ir. Joko Widodo-Kiai Haji Ma’ruf Amin berhadapan dengan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah pula diputuskan hasilnya oleh MK pada tanggal 27 Juni 2019 lalu. MK telah final memutuskan menolak seluruh permohonan gugatan hasil pemilu 2019 yang diajukan pasangan capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dengan demikian, Paslon 01 Jokowi Widon-Ma’ruf Amin menang secara yuridis dalam ajang pemilihan presiden tahun 2019 ini sekaligus berhak memimpin negara republik Indonesia periode 2019-2024.

Sebagai warga negara yang baik, suka atau tidak, supremasi hukum perlu kita jadikan junjungan tertinggi dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita. Plato dalam bukunya Nomoi  mengatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang mengatur segala dimensi kehidupan sosial manusia dalam konteks hidup bernegara. Sebagai warga negara yang baik kita perlu taat pada hukum agar kita tidak jatuh ke dalam cara hidup yang anarkis atau dalam kosa kata Hobbes, homo homini lupus (manusia menjadi serigala) satu sama lain.

Selama masa persiapan (kampanye) Pilpres, masyarakat Indonesia secara definitif terbelah di antara dua kubu yang saling bersitegang. Masing-masing pendukung hanyut dalam euforia kegembiraan bahkan fanatisme berlebihan pada pasangan yang dijagokannya entah kubu 01 atau 02. Pemilih Indonesia tersegresi, terfragmentasi, terbelah dalam suhu politik panas di tanah air Indonesia ini. Bahkan usai pengumuman MK, masih ada sisa luka yang butuh waktu sembuh oleh pihak yang kalah. Namun inilah konsekuensi logis dari sebuah kontestasi demokrasi. Ada yang menang, ada pula yang harus kalah. Karena dalam setiap perlombaan final tidak mungkin ada 2 pihak yang seri atau keduanya sama sama juara 1.

Sebetulnya ada dialektika filosofis (istilah Hegel) dalam Pilpres 2019 ini. Katakanlah Paslon 01 sebagai tesis (petaha) dan pasangan 02 sebagai antitesis (penantang). Keduanya telah berjuang masing-masing dengan berbagai cara untuk meraih simpatisan dan voters dari massa pemilih Indonesia yang berjumlah sekitar 190 juta tersebar dari Sabang sampai Merauke. Ketika keputusan MK dikeluarkan maka konsekuensi logisnya, terjadilah suatu proses sintesis (03) antara 01 dan 02. Jadilah 01 + 02 = 03. Semua suhu panas saatnya dingin, semua rasa benci saatnya cinta, semua konflik saatnya damai, semua perpecahan Indonesia saatnya menjadi Persatuan Indonesia (03). Saatnya sila Persatuan Indonesia (03) di dalam Pancasila diperteguh kembali menjadi spiritualitas hidup semua pendukung 01 maupun 02.

Sintesis kosong tiga (03) seharusnya menjadi titik tuju, orientasi bersama, arah dasar, kesadaran bersama, paradigma pikir yang seyogyanya menjadi kemauan kolektif kita orang Indonesia hic et nunc (kini dan di sini) dalam berco-esse, hidup bersama di Indonesia ini. Sakit hati, dengki, amarah, kecewa, putus asa, biarlah berlalu dan sirna dari batin kita.  Semua pihak, baik yang kalah maupun juga yang memang perlu rendah hati dan terbuka untuk bekerja sama, saling merangkul others , yang lain untuk berjalan bersama membangun dan menciptakan Persatuan Indonesia (03) di rumah kita Bersama, Indonesia yang kita cintai ini.

Ketika 03 ini kita jadikan sebagai pijakan dan visi bersama semua orang Indonesia entah di politik atau di bidang lainnya, maka kedamaian, harmoni, dan ketenangan akan selalu bersemi lestari-indah di dalam bumi Indonesia ini. Mari kita bergandeng tangan lagi, bekerja sama, saling bergotong royong untuk mewujukan Persatuan Indonesia (03) selalu dan selamanya. Karena 01 atau 02 itu sementara saja. 01 atau 02 itu momental, aksidental, hanya sebuah periode waktu yang juga akan tiba saatnya berakhir di titik berhentinya. Namun 03 (Persatuan Indonesia) itu harus tetap exist, 03 harus lestari, 03 itu itu abadi, 03 itu unsur substansial dalam konteks eksistensi Negara Indonesia dahulu, sekarang dan nanti! Mari kita menghidupi spirit 03, Persatuan Indonesia dalam keseharian di mana saja kita berada. Salam 03, persatuan Indonesia!

 

 

 

Frederikus Fios