SILAHTURAHMI DAN DIALOG PASCA PENETAPAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Oleh: Dr. Yustinus Suhardi Ruman (Pengajar Character Building Binus University, Jakarta)

 

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Dengan demikian penetapan tersebut sekaligus juga menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2019 yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno  sebagi pihak yang kalah.

Pasca penetapan tersebut masyarakat sangat menantikan saat-saat di mana pihak yang menang yakni Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’ruf Amin dan pihak yang kalah yakni Prabwo Subianto dan Sandiaga Uno dapat menciptakan silahturahmi dan dialog. Silahturahmi dan dialong antara keduanya tidak hanya akan menciptakan sebuah tradisi politik yang baik, tetapi juga dapat membangun dan memperkuat karakter sosial, budaya dan politik pada masyarakat.

Silahturami dan dialog yang dibangun akan dapat menjadi stok pengetahuan dan pengalaman bagi generasi yang akan datang tentang bagaimana menempatkan nilai-nilai kebangsaan pada level yang tertinggi dalam setiap konstestasi politik. Kita semua masih ingat bagimana para pendiri bangsa tetap menjadi silahturami dan dialog di tengah pertentangan dan perbedaan yang, baik tentang dasar negara, maupun dalam berbagai kebijakan pembangunan yang menimbulkan perdebatan yang sengit.

Contoh yang mudah kita ingat dalam sejarah adalah pertentangan antara Soekarno dengan para sahabat seperjuangannya yakni Mohammad Hatta dan Buya Hamka.  Hatta dan Hamka terang-terangan mengeritik dan bahkan mengambil jalan oposisi terhadap Soekarno. Kebijakan Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin ditentang oleh Hatta dan Hamka. Hatta dan Hamka juga menolak penyatuan ideologis antara Nasionalisme-Agama-Komunisme. Puncak dari pertentangan itu adalah penarikan diri Hatta dari pemerintahan, dan dipenjaranya Buya Hamka karena dianggap melakukan tindakan yang subversif.

Perbedaan dan pertentangan yang tajam di antara tokoh tersebut tidak menghapus semangat silahturahmi dan dialog di antara mereka. Mereka saling menghormati dan bahkan saling mengagumi satu dengan yang lainnya. Tidak saling meninggalkan pada masa-masa sulit. Dan bahkan hubungan kekeluargaan di antara mereka terus terjalin.

Lalu pada masa reformasi, kita mengenal Gus Dur yang selalu di depan menentang kebijakkan presiden Soeharto dengan regim Orde Barunya. Namun, kita semua juga tahu, pertentangan di antara mereka tidak menghilangkan semangat silahturahmi dan dialog. Pada masa-masa sulitnya, Soeharto dikunjungi oleh Gus Dur dengan rasa hormat dan kekeluargaan yang tinggi.

Para tokoh-tokoh di atas menempatkan kepentingan kembangsaan di atas segala-galanya. Kebangsaan menurut Soekarno dalam pidatonya tangga 1 Juni 1945 pada sidang Dokuritsu Jumbi ChÔsa-kai atau yang sering dikenal dengan Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), merupakan semangat atau keinginan untuk bersatu. Semangat atau keinginan untuk bersatu adalah adalah dasar penting bagi lahirnya bangsa Indonesia. Tanpa semangat dan keinginan ini, Indonesia  menjadi tidak mungkin.

Silahturahmi dan dialog atara para elit politik merupakan ekspresi dari semangat kebangsaan tersebut. Tanpa silahturahmi dan dialog bagaimanakah semangat kebangsaan itu dipupuk, dipelihara dan dibesarkan? Silahturami dan dialog antara para elit politik merupakan salah satu bagian penting dapat membangun dan memperkuat rasa saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Percaya bahwa meski berbeda, kita dapat pada tujuan yang sama. Perbedaan, pertentangan dan kritik yang terjadi kemudian tidak dipahami sebagai sebuah bentuk negasi atau peniadaan, tetapi sebagai sebuah cermin untuk melihat kembali apakah jalan yang dilalui tetap pada tujuan untuk mencapai tujuan bersama. Kita tunggu apakah Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi mengikuti jejak para pendahulu kita?

 

 

 

 

  1. Hallo editor

    • Hallo juga Pak