Undang-Undang TPKS dan Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual di Era Digital
Undang-Undang TPKS dan Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual di Era Digital Oleh Meitty Josephin Balontia, M.Han
Dalam Rapat Paripurna DPR tertanggal 12 April 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) resmi disahkan. Artinya, rancangan ini telah menjadi Undang-Undang yang resmi berlaku dan penegakkan atas pasal yang tercantum harus dijalankan oleh segenap komponen masyarakat. Tentu ini merupakan langkah maju yang dinantikan oleh masyarakat Indonesia setidaknya dalam kurun waktu 6 tahun.
Mendorong Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Dimensi Interaksi Berbasis Digital: Tantangan Peraturan dan Undang-Undang yang Harus Disesuaikan dengan Zaman
UU TPKS dapat dikatakan sebagai langkah dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual. Karena dengan adanya UU tersebut, Indonesia telah memberikan payung hukum yang jelas bagi segala tindakan kekerasan seksual. Jika menilik pada pasal-pasal yang ada di dalamnya, kita dapat menemukan beberapa poin penting yang menurut hemat penulis,mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU serta peraturan yang dibuat oleh pemerintah selalu mendasari diri pada Undang-Undang Dasar 1945. Namun pendasaran tersebut harus pula disesuaikan dengan kondisi zaman. Setiap zaman memiliki tantangan tersendiri yang harus disikapi dengan peraturan yang mewadahi agar hak asasi setiap warga tidak tercerabut. Saat ini, perkembangan teknologi informasi ikut mempengaruhi cara manusia berinteraksi satu sama lain sehingga penegakkan hak asasi manusia harus pula disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk penegakkan hak asasi manusia perlu mencakup juga dimensi interaksi berbasis digital.
Tindakan Kekerasan Seksual dalam Lingkup Digital: Definisi dan Jenis-Jenis Tindakan Menurut Pasal 4 Ayat 1 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Berdasarkan hal di atas, maka penghapusan kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam UU TPKS juga mencakup berbagai aktivitas yang masuk kekerasan seksual dalam lingkup dunia digital. Secara lebih mendetail dalam UU TPKS Pasal 4 Ayat 1, tindakan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual adalah sebagai berikut:
- Pelecehan seksual nonfisik;
- Pelecehan seksual fisik;
- Pemaksaaan kontrasepsi;
- Pemaksaan sterilisasi;
- Pemaksaan perkawinan;
- Penyiksaan seksual;
- Eksploitasi seksual;
- Perbudakan seksual;
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain berbagai bentuk kekerasan seksual di atas, terdapat juga kegiatan lainnya yang masuk dalam tindakan kekerasan seksual yakni, perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak; perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (UU TPKS, Pasal 4 Ayat 2).
Berbagai tindakan yang masuk sebagai kekerasan seksual di atas, diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Contohnya, adanya kasus revenge porn. Revenge Porn dimengerti sebagai tindakan penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam terhadap korbannya. Dengan adanya jaminan hukum yang melarang adanya kekerasan seksual berbasis elektronik, korban dari aktivitas revenge porn jelas dilindungi secara hukum (Dewi, 2022). Adapun hukuman terhadap kekerasan berbasis elektronik dapat berupa pidana penjara paling lama 4-6 tahun dan atau denda, yang besarannya disesuaikan dengan jenis tindakan yang dilakukan. Misalnya, kekerasan berbasis elektronik dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau menyesatkan dan memperdaya, seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,maka dapat dijerat dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dengan denda 300 juta (Fauziah, 2022).
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa UU TPKS yang baru saja disahkan adalah sebuah upaya untuk memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual di era digital. Kesadaran bahwa interaksi sosial kita sudah tidak hanya berkutat pada pertemuan fisik melainkan juga terjalin dalam wilayah digital,menjadikan kebutuhan akan hadirnya UU TPKS menjadi sangat penting. Dan pada akhirnya, UU TPKS ini merupakan pagar penjaga bagi penegakkan hak asasi manusia yang terkait dengan isu kekerasan seksual.
Bibliography
Dewi, R. K. (2022, April 13). Kompas.com. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/13/063000965/10-poin-penting-uu-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=1
Fauziah, M. (2022, April 12). kompas.com. Retrieved from kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/04/12/14522271/uu-tpks-atur-kekerasan-seksual-berbasis-elektronik-ancaman-hukuman-4-6-tahun
Sumber Gambar:
https://www.freepik.com/free-vector/gender-violence-illustration-concept_9016137.htm#query=sexual%20harrasment&position=7&from_view=search
Comments :