Politik Sosial dalam Keseharian Kelompok Masyarakat di Desa Penganyam

Artikel ini terinspirasi dari ide “governmentality” dan “embodiment” dari kerangka teori yang dijabarkan oleh Jean Pierre Warnier (2001; 2006; 2007; 2009; 2011; 2021) mengenai konsep politik dan sosial dalam satu tatanan sistem sosial masyarakat. Bagaimana juga tingkatan politik yang terjadi dari tingkatan sosial terkecil masyarakat (keluarga inti), keluarga besar, sistem bertetangga, hingga terbentuk dalam satu komunitas sosial (informal dan struktural pemerintahan) memengaruhi cara berpikir satu komunitas masyarakat. Dalam pendeskripsian ide kerangka teori Jean Pierre Warnier, lebih lanjut artikel ini akan menggali bagaimana sistem sosial masyarakat pengrajin anyaman bambu yang bersifat homogen namun bercirikhas pada tiap daerahnya menanggapi program pengembangan kerajinan lokal yang digagas oleh pihak luar masyarakat mereka; para pemangku kebijakan pemerintah daerah dan provinsi, juga komunitas lokal yang biasanya berperan menengahi pihak pemerintahan dengan masyarakat pengrajin di daerah Jawa Barat, khususnya dalam kasus ini daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.

Program pengembangan kerajinan dari pemerintah secara formal di struktur sosial masyarakat Jawa Barat biasa dilakukan oleh berbagai pihak. Di struktur pemerintahan provinsional, terdapat Dinas Pariwisata dan Budaya, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi yang masing-masing memiliki fokus dan cara berbeda untuk program pengembangan tersebut. Juga di level lokal seperti Kota dan Kabupaten seperti Perindustrian dan Perdagangan; Dinas Koperasi dan UMKM juga memiliki program rutin tahunan atau tiap dua tahun untuk bekerja sama dengan pengrajin lokal daerahnya. Kegiatan pengembangan dikordinasikan dengan komunitas lokal yang biasanya juga berperan sebagai penengah dalam hal komunikasi antara pihak formal pemerintahan dengan komunitas pengrajin di suatu daerah.

Mengikuti alokasi pendanaan oleh pemerintah yang memangku kebijakan, program pengembangan kerajinan tidak tentu dilaksanakan tiap tahunnya. Juga berbagai jenis kerajinan menjadikan ketidak teraturan pola dilaksanakannya pengembangan dari pemerintah tersebut. Meskipun pelatihan formal dari pemerintah dilakukan dilaksanakan berulang, sayangnya, hal yang menjadi tema atau fokus pelatihan tersebut seperti “meningkatkan ekonomi lokal melalui kerajinan” tidak berlanjut secara berkesinambungan dikarenakan hal-hal yang luput diperhatikan oleh pihak pemerintah dan komunitas lokal setempat. Sudah selayaknya, saat bahasan mengenai kerajinan yang berupa objek tangible dan merupakan representasi suatu kebiasaan atas satu kelompok masyarakat memiliki keterkaitan topik tradisi dan kebiasaan sehari-hari pembuatnya dan bukan terbatas pada pengenalan kemampuan yang sudah di-modernisasikan baik secara teknik maupun metode pembuatan. Kemampuan membuat kerajinan pada suatu daerah juga sangat ditentukan oleh faktor alam. Yang kemudian bahan material alam tersebut diolah berdasarkan kebutuhan dasar sehari-hari sehingga juga berkembang menjadi suatu kemampuan membuat kerajinan tangan.

            Secara singkat, terdapat setidaknya tiga pihak dalam keterkaitan secara politik dan sosial di masyarakat Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya pada bahasan program pengembangan kerajinan ini, yaitu masyarakat pengrajin, pemerintah (sebagai pihak luar dari dan pemangku kebijakan), dan pihak komunitas lokal yang berperan sebagai perantara antara keduanya. Ditelaah dari hasil proyek 2019 dan 2020, didapatkan hipotesis bahwa program pengembangan cenderung dilakukan dengan kebijakan top-down dan percobaan untuk penetrasi ilmu dari pihak luar kepada pengrajin bambu. Bagi pihak pemerintah dan pihak luar lainnya, kemampuan pengrajin secara tradisional dirasa tertinggal dibandingkan dengan hasil produk kekinian yang terbuat dari material alam yang menerapkan teknik pemanasan dan juga penggabungan dengan material industri sejenis besi dan plastik konvensional. Perlu disadari bahwa pengrajin memiliki kebiasaan dalam proses pengumpulan material alam hingga menjadi kerajinan siap dipasarkan. Dalam hal ini, kemampuan membuat kerajinan hybrid (Larasati, 1999) perlu menggunakan alat dan material indsustri seperti misalnya pemanas dan lem, dan teknik terbarukan ini dirasa tidak sejalan dengan kebiasaan pengrajin dalam membuat produk kerajinannya.

Gambar 1. Workshop Pengembangan Produk pada Komunitas Anyam dan kepada Pemuda Kota Tasikmalaya. Sumber: Penulis, 2019

Menjadi poin penting, hal yang utama diabaikan oleh pihak penyelenggara pelatihan adalah faktor sosial dan budaya yang berlangsung lebih lama pada satu sistem tatanan masyarakat pengrajin, dibandingkan dengan program pelatihan yang hanya dilakukan secara singkat (2-3 hari, pada durasi rata-rata 7 jam setiap harinya). Kegiatan singkat tersebut dimanfaatkan menjadi ajang mendapat upah harian bagi pada pengrajin yang merupakan faktor kecil dari hal sosial dan budaya dan keseharian yang lebih bermakna bagi para pengrajin dan keluarganya. Realitas akar rumput (grassroosts level) dirasa lebih tinggi saat kita berbicara mengenai satu tatatan sistem sosial yang memiliki aktivitas rutin terkait dengan tradisi dan objek kesehariannya. Efek dari terabainya aspek sosial dan budaya tersebut, pengrajin memiliki pandangan bahwa “program pengembangan kerajinan” yang dilakukan pemerintah sebagai intrusi dan ide jangka pendek yang tidak menjadi berkepanjangan akan dilakukan – juga mengganti kebiasaan mereka dalam memproduksi kerajinan. Inilah penyebab dari ketidakberlanjutannya program yang diadakan pemerintah – tidak adanya kesamaan visi dan misi, juga mengabaikan kesempatan bertemunya beberapa bagai pihak di program pengembangan kerajinan tersebut.

            Bahasan politik pada masyarakat penganyam dapat diuraikan dalam perspektif material dan budaya (material culture) yang telah dijabarkan oleh Jean Pierre Warnier pada studi dan risetnya. Juga akademia setelahnya di ranah “subjectification” seperti Rosselin-Barielle (2017) dan Mohan & Douny (2021). Manusia sebagai “subjek” dari satu tatanan sosial terbentuk dari kekuatan mereka secara politik dan sosial. Dalam ham kemasyarakatan pengrajin, politik tersebut terbentuk dari kemampuan mereka memproses material. Pada tatanan sosial pengrajin bambu, aspek kehidupan mereka terpengaruh dari ada atau tidaknya kemampuan mereka memroses material bambu sebagai sumber mata pencaharian utama mereka. Pada proses mengolah material bambu, terdapat sistem syaraf (neuro-systems) pada tubuh pengrajin yang dipadukan dengan aksi gerakan tangan atau tubuh lainnya, sehingga termediasi dalam bentuk objek (tangible) atau kerajinan yang mereka hasilkan. Pada hal ini, sistem kebendaan, material, dan tubuh seorang pengrajin (organis) secara konstan.stabil terintegrasi satu sama lainnya dalam proses produksi kerajinan bambu – yang artinya berpengaruh terhadap sistem biologi mereka (evolving), politik, sosial, dan ekonomi manusia (pengrajin) tersebut.

Contoh penggambaran ide filosofi pada penganyam industri

Sebagai satu contoh penggambaran ide filosofi tersebut, artikel ini menggambarkan politik sosial yang ada pada penganyam industri. Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kompleksitas suatu komunitas yang erat dengan material alam yang lekat dengan keseharian mereka. Pada kasus penganyam bambu tradisional seperti di Desa Cikiray, misalnya. Seorang ayah akan memiliki strata politik tertinggi di rumahnya, di mana ia adalah orang yang memimpin jalannya proses pembuatan produk bambu di dalam rumahnya. Hal ini akan berlaku berbeda-beda antar satu rumah dengan rumah lainnya. Setiap rumah akan bergantung pada seorang kepala keluarga (suami/ayah/kakek) yang ada di rumahnya; bagaimana mereka akan menjual produknya (ke pengepul/menjual individu/membuat produk customized, dsb.) yang juga akan memengaruhi keputusan kualitas tiap produk anyaman bambu tradisional tersebut. Menjadi informasi penting, jika produk yang dijual ke pengepul akan dihargai lebih murah dibandingkan dengan produk yang dijual sendiri (individu). Hal ini akan berpengaruh juga pada cara kerja dalam satu rumah mereka. Pada hal ini, seluruh anggota keluarga akan masuk pada sistem produksi tersebut, dari yang tertua hingga yang termuda. Jika mereka hidup bersama keluarga besar, maka dari generasi kakek-neneknya akan lebih memimpin dan diikuti oleh generasi setelahnya, yaitu anak dan cucunya.

Preferensi satu keluarga yang dipimpin oleh seorang suami/ayah/kakek dalam satu rumah tangga ini disebutkan sebagai bentuk “power in society.” semakin tinggi kemampuan (skill) mereka dalam membuat dan memproduksi anyaman bambu tradisional di desa ini, semakin tinggi juga status mereka secara politik dan sosial di masyarakatnya. Hal ini juga akan menjadi satu rasa gengsi untuk pengrajin yang tinggi kemampuannya, untuk menjual produknya pada pengepul/pasar tradisional, dan mereka biasanya memilih untuk menjual produknya secara mandiri (pedagang asongan). Biasanya orang yang memiliki keterampilan menengah dan menengah-kebawah, akan cenderung pada kuantitas dibandingkan kualitas. Mereka mementingkan pemasukan secara rutin dengan menjual produknya kepada pengepul.

Beralih dari lingkungan terkecil sosial, desa pengrajin anyaman bambu tradisional adalah bentuk dari tatanan sosial yang lebih kompleks dimana ada setidaknya puluhan hingga ratusan kepala keluarga hidup berdampingan dalam satu desa. Hal ini berkaitan erat denga napa yang disebutkan sebagai bahasan “material culture” menjadi bagian dari kelompok sosial masyarakat, dimana ada struktur “power” (power structure) dalam tatanan satu desa industri pengrajin anyaman bambu tradisional yang berpengaruh di dunia pengrajin bambu secara umum di Jawa Barat.

Baca Juga: Layout Concept Store dan Persepsi Visual Konsumen

Proyek pengembangan kerajinan yang fokus pada ranah ekonomi saja, sangat berdasar pada ideasi orang kota (yang jauh dari tatanan sosial kedesaan), yang biasanya juga menggunakan waktunya secara tidak maksimal untuk mengetahui tradisi dan budaya pada satu desa yang biasanya memiliki kebiasaan homogen dan dilakukan dari generasi ke generasi. Hal ini berbeda dengan tatanan hidup sosial di masyarakat kota yang bersifat lebih heterogeny dan beragam, hidup dalam satu area perkotaan. Tidak menjadi hal baru, jika orang pemangku kebijakan (pemerintahan/akademisi/praktisi) datang ke desa yang memiliki tradisi, untuk “mulianya” adalah membantu dan menaikkan taraf hidup ekonomi penduduk desa tersebut. Namun, hal yang perlu disadari adalah, manusia kota tersebut adalah “alien” bagi penduduk desa, dan tidak bisa mengidekan pengembangan proyek secara satu pihak. Artikel ini bermaksud unutk menekankan bahwa betapa pentingnya proses negosiasi (setidaknya) dua pihak antara pihak internal desa dan eksternal desa (pemerintahan/akademisi/praktisi) agar keberjalanan proyek dapat bersifat berekelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan mengerti upaya satu sama lain dengan strategi perubahan yang bersifat mutual atau menghasilkan hal positif bagi dua pihak. Penting juga untuk mengedepankan pengenalan secara natural/murni yang dilakukan ahli sosial seperti praktisi di ranah development studies, etnografer dan atau antropologis juga sosiologis, yang mengedepankan aspek studi sosial dibandingkan berat sebelah pada modernisasi dan inovasi secara keberpihakan pada masyarakat kota.

Referensi utama:

Rahardiani, Amira. “Bamboo Crafts Development Projects in Indonesia: Who to Develop? What is to beDeveloped?” The Jugaad Project, 5 April 2022, www.thejugaadproject.pub/home/bamboo-crafts-indonesia [6 November 2022]

Referensi terkait:

Mohan, U., & Douny, L. (2021). The Material Subject: Rethinking Bodies and Objects in Motion. London and New York: Routledge.

Warnier, J.-P. (2001). A Praxeological Approach to Subjectivation in a Material World. Journal of Material Culture, 6, 5-24.

Warnier, J.-P. (2006). Inside and Outside: Surfaces and Containers. In C. Tilley, W. Keane, S. Kuechler, M. Rowlands, & P. Spyer, Handbook of Material Culture (pp. 186-195). London: Sage.

Warnier, J.-P. (2007). The Pot-King: The Body and Technologies of Power. Leiden: Brill.

Warnier, J.-P. (2009). Technology as efficacious action of objects … and subjects. Journal of Material Culture, 14 (4), 459-470.

Warnier, J.-P. (2011). Bodily/Material Culture and the Fighter’s Subjectivity. Journal of Material Culture, 16 (4), 359-375.

Warnier, J.-P. (2021). Politics Matters: Matiére à Politique. In U. Mohan, & L. Douny, The Material Subject: Rethinking Bodies and Objects in Motion (pp. 107-120). London and New York: Routledge.