Morfologi Jawa Barat yang didominasi daerah pegunungan dan perbukitan lebih memungkinkan sistem agraris dengan cara ladang atau huma. Suku Sunda yang hidup di Jawa Barat merupakan masyarakat berbasis budaya ladang. Sistem ladang berbeda dengan sistem sawah. Perladangan tidak memerlukan konsentrasi manusia di suatu tempat seperti masyarakat sawah, justru sistem ini membatasi jumlah manusia dalam komunitasnya. Hal ini disebabkan mobilitas tinggi dalam perladangan karena tingkat kesuburan lahan ladang hanya bertahan sekitar tiga hingga empat tahun. Masyarakat peladang lebih bergantung terhadap keadaan primer alam (cuaca, tipe tanah, zat hara, dan lain sebagainya) tempatnya berladang dibandingkan masyarakat sawah yang memodifikasi lingkungan untuk dijadikan lahan persawahan.

Pola tiga berasal dari konsep kehidupan masyarakat yang hidup dengan cara berladang: menanam, memelihara, dan mengembangkan. Pola tiga ini tercermin dalam tiga tahapan pembentukan permukiman masyarakat peladang: mula-mula umbulan yang hanya terdiri dari sekitar tiga keluarga, lalu berkembang menjadi babakan dan akhirnya kampung yang terdiri dari puluhan keluarga. Di beberapa kampung Sunda yang masih menerapkan adat lama, jumlah ideal rumah dalam satu kampung berjumlah kurang lebih 40 rumah. Apabila anggota keluarga bertambah banyak, maka sebagian harus pindah dan membentuk umbulan atau babakan baru. Pola tiga juga terdapat dalam pembagian ruang utama di dalam rumah adat Sunda; bagian depan merupakan daerah pria dan bagian belakang merupakan daerah wanita, dengan bagian tengah atau ruang keluarga sebagai ‘pemersatu’ kedua bagian.

Atap rumah adalah simbol ‘dunia atas’. Arah atap umumnya menghadap ke hulu sungai (bukit atau gunung); arah hadap rumah sebaliknya, yaitu barat atau timur karena hulu-hulu sungai di Jawa Barat cenderung berada di selatan. Hal ini dikarenakan masyarakat peladang sangat bergantung pada keberadaan sungai atau air sebagai sumber irigasi natural mereka (masyarakat peladang tidak membuat irigasi buatan).

Atap dan bagian belakang merupakan simbol ‘dunia atas’ yang berazas perempuan, tengah rumah merupakan simbol ‘dunia tengah’ karena terdapat ruang paradoks laki-laki dan perempuan, sementara bagian depan dan teras adalah simbol ‘dunia bawah’ yang berazas laki-laki karena merupakan ruang bagi kaum pria dan tamu dari luar.

Gambar 1. Pola Tiga pada Rumah Adat Sunda

DAFTAR PUSTAKA

Sumardjo, J. (2003): Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.

Sumardjo, Jakob. (2010): Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.