Surya Majapahit merupakan suatu motif yang umum dijumpai pada artefak-artefak dan bangunan peninggalan masa Kerajaan Majapahit (sekitar abad 13-16 M). Motif ini mengambil bentuk sudut delapan dengan lingkaran di tengah yang menggambarkan matahari dengan delapan pancaran cahaya; karenanya disebut Surya (matahari) Majapahit (Sunaryo, 2009). Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa Hindu yang disebut Dewata Nawa Sanga; sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Dewa-dewa utama di bagian tengah ini diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di tengah.

Gambar 1. Surya Majapahit (koleksi Museum Trowulan)

(Sumber: http://id.wikipedia.org)

 

Sebagai kerajaan Hindu-Buddha pada Masa Klasik Akhir (abad 14-16 M) Indonesia, Majapahit mengadaptasi berbagai macam simbol yang berkaitan dengan kedua agama tersebut, salah satunya adalah konsep mandala. Salah satu penerapan mandala pada artefak-artefak peninggalan Majapahit adalah pada simbol Surya Majapahit.

Mandala pada kebudayaan Jawa merupakan adaptasi dari pengaruh India dengan filosofi tradisi yang berbasis pembagian ruang menjadi lima penjuru: empat arah mata angin dengan satu pusat. Kebudayaan pola lima berkembang dalam masyarakat sawah seperti pada Kerajaan Majapahit. Pola ini berawal dari pengaturan sosial masyarakatnya, dimana setiap kesatuan kampung terdiri dari empat kampung di keempat penjuru mata angin dan satu kampung berada di pusatnya. Dalam tradisi Jawa, pembagian lima ini disebut sebagai mancapat kalimo pancer. Dengan demikian, ciri utama masyarakat sawah adalah terkonsentrasinya pengaturan oleh kampung pusat. Pusat merupakan peleburan dari kampung-kampung yang mengitarinya. Pusat adalah dunia tengah dari empat atau delapan pasangan sehingga mutu dunia tengahnya juga semakin kompleks.

Pembagian ruang lima ini mendasari hampir semua artefak budaya masyarakat sawah, termasuk estetika pola lima. Terdapat konsep harmoni pasangan dualistik utara-selatan dan timur-barat yang mirip dengan pembagian pola empat. Perkembangan dari pola lima ini adalah pola sembilan, yang merupakan gabungan dari pola empat dan lima yang terdiri dari delapan penjuru mata angin dan satu pusat (Sumardjo, 2010). Simbol empat penjuru dengan satu pusat sering dikaitkan dengan simbol mandala atau lingkaran, yang kemudian berkembang lebih jauh ketika agama Hindu-Buddha masuk.

Gambar 2. Motif Dasar Mandala pada Batik

(Soemardjo, 2010)

Secara harfiah, mandala berarti “lingkaran” dalam bahasa Sansekerta; terjemahan selengkapnya adalah “lingkaran dalam bujur sangkar” atau “bujur sangkar dalam lingkaran” (Tressider, 2004). Istilah Mandala merupakan pengaruh agama Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia, meskipun bentuk lingkaran dan bujur sangkar sebelumnya telah dijumpai dalam estetika masyarakat primordial Indonesia.

Dibaca secara ruang, Mandala memiliki pusat persilangan keempat arah mata angin yaitu timur-barat dan utara-selatan. Arah Timur-Barat adalah dualisme terestrial manusia, yaitu kelahiran (Timur) dan kematian (Barat). Sedangkan arah Utara-Selatan adalah dualisme surgawi, yaitu Utara sebagai Dunia Atas dan Selatan sebagai dunia bawah. Dua pasangan dualistik Ruang (lahir-mati) dan dualisme Waktu (Dunia Atas-Dunia Bawah; yang abadi dan kekinian) bertemu di pusat, yaitu totalitas transenden.

Mandala merupakan pemikiran tentang bagaimana agar manusia mampu ‘naik’ dan bersatu dengan Tuhan atau manunggaling kawulo Gusti (menunggal dengan Tuhan) dalam bahasa Jawa. Hal itu dapat tercapai dengan jalan merohani melalui dematerialisasi, atau dengan mempersatukan yang esensi dan substansi. Dalam hal ini, mandala juga dapat menjadi jalan ‘turun’ dari yang bersifat rohani kemudian memanifestasi ke dalam materi.

Perhatikan Gambar 4. Bentuk dasar Surya Majapahit merupakan bentuk mandala pola lima dengan tambahan empat penjuru mata angin yang membentuk pola sembilan (pola lima + pola empat). Agama Hindu Siwa sebagai agama kerajaan menempatkan Dewa Siwa sebagai pusat mandala. Jika mengikuti paham dewaraja dimana para raja dianggap merupakan keturunan dewa-dewa, maka imaji Dewa Siwa sebagai pusat mandala dapat dibaca sebagai mancapat kalimo pancer dimana raja Majapahit yang berkuasa pada saat itu merupakan pusat kerajaan, sesuai konsep mandala kekuasaan pada pola lima.

Gambar 3. Diagram Tata Letak Dewa-dewa Hindu dalam Surya Majapahit

(Sumber: http://id.wikipedia.org)

Gambar 4. Bentuk Dasar Mandala Surya Majapahit

(Ramadina, 2022)

Konsep mandala terdapat pada pola lima dan dualisme primordial sawah, terutama dalam konsep pemerintahan atau mandala kekuasaan mancapat kalimo pancer. Dalam ‘bujur sangkar’ pada mandala yang direpresentasikan dengan empat mata angin, terdapat pasangan oposisi antara dewa air (timur) dengan dewa angin (barat), tanah (utara) dengan api (selatan). Kombinasi air dan tanah (utara-timur) itu baik, tetapi kombinasi angin dan api (barat-selatan) itu buruk. Kedua oposisi baik-buruk tersebut harus diharmonikan oleh raja yang menjadi pusat mandala.

DAFTAR PUSTAKA

 Sumardjo, Jakob. (2010): Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.

Sunaryo, Aryo. (2009): Ornamen Nusantara. Semarang: Dahara Prize.

Tresidder, Jack. (2004): The Complete Dictionary of Symbols. London: Duncan Baird Publishers.

 http://id.wikipedia.org

http://www.google.co.id