Pengertian konvensional tentang budaya adalah sebagai “pola pemikiran dan tindakan gabungan suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun”. Ketika kehidupan antarkelompok belum saling terhubung, di mana mereka masih hidup dalam desa-desa yang terpencil, pengertian tentang ‘budaya’ tersebut masih dapat diterapkan; tetapi seiring dengan semakin luas dan kompleksnya interaksi antarkelompok dengan budaya mereka masing-masing yang kemudian membentuk kelompok budaya baru, pengertian tersebut menjadi terlalu sederhana untuk memahami fenomena tersebut.

Era Kolonialisme sejak abad ke-15 secara paksa membuka hubungan budaya baru melalui budak-budak dari berbagai daerah jajahan yang dipindahkan ke daerah asing dengan budaya yang sama sekali berbeda.  Masa Revolusi Industri pada abad ke-18 menyebabkan tumbuhnya lingkungan urban yang terdiri dari berbagai tipe kelompok masyarakat yang saling berinteraksi menjadi kelas-kelas dan kelompok sosial baru. Budaya kelompok baru tersebut selanjutnya membentuk ikatan yang pelik antar berbagai pola pemikiran yang tidak lagi dapat dikatakan ‘turun-temurun’, yang diistilahkan Ulf Hannerz dalam artikel Thinking About Culture in a Global Ecumene (Lull,ed.; 2001) sebagai cultural confluences (“kumpulan budaya”). Pemilihan kata ‘confluence’ yang lebih merujuk pada sesuatu yang bersifat cair, mengalir dan bercampur, mengisyaratkan bahwa budaya bukan lagi merupakan suatu tradisi atau pakem yang kaku.

Abad ke-21 menandai kemunculan era Revolusi Industri 4.0 atau Revolusi Digital berdasarkan jaringan global melalui internet. Kecepatan komunikasi memungkinkan keterhubungan antar kelompok yang belum pernah ada sebelumnya, bahkan memunculkan kelompok-kelompok budaya virtual dalam forum-forum internet. Seseorang yang berlatar budaya Sunda bisa saja mengidentifikasi dirinya sebagai orang Korea Selatan dalam suatu forum budaya pop Korea. ‘Budaya’ kini bukan lagi sekedar tarian Bedhoyo Ketawang yang hanya dipertunjukkan di keraton untuk kalangan tertentu, tapi bisa ditonton dan dipelajari melalui YouTube oleh mahasiswa tari kontemporer di Jepang.

Budaya pada era Revolusi Digital dengan segala keterhubungannya yang pelik tidak lagi merupakan suatu pola pemikiran dan tindakan yang terikat tempat dan waktu, dan seakan mengancam budaya-budaya lokal. Meskipun demikian, Ulf Hannerz menyatakan bahwa “[…] untuk menjaga keberlangsungan budaya, orang harus menciptakan, berefleksi, bereksperimen, mengingat, mendebat, dan meneruskannya” (Hannerz dalam Lull,ed.; 2001:65). Jika pemaknaan kata ‘culture’ dalam ilmu biologi terkait dengan budidaya jaringan sel, maka culture sebagai ‘pola pemikiran dan tindakan yang diwariskan’ dapat diibaratkan tubuh yang terus-menerus berkembang dimana setiap sel adalah individu pembentuk kebudayaan tersebut.

Budaya tumbuh dan berkembang dengan mewariskan gen-gen kebudayaan sel-sel tua yang mati pada setiap sel individu yang baru. Seperti tubuh yang bisa membangun sistem imunitas yang lebih baik jika berhasil beradaptasi terhadap organisme asing, suatu budaya pun dapat bertahan jika mampu beradaptasi ketika berinteraksi dengan budaya-budaya lain. Dengan kata lain, budaya bukan merupakan sesuatu yang bersifat stagnan, melainkan terus-menerus “diciptakan, direfleksikan, dieksperimenkan, didebat, dan diteruskan”. Budaya adalah pola pemikiran dan tindakan yang terus-menerus mengalami pertentangan, perkawinan, dan negosiasi baik secara internal maupun eksternal; tetapi seperti layaknya tubuh yang – meskipun bentuk fetus, balita, dan dewasa berbeda – masih merupakan ‘tubuh’ suatu budaya yang sama, meskipun ia terus berkembang dan bereproduksi dari awal kemunculan manusia hingga era Revolusi Digital saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hannerz, Ulf. 2001. “Thinking About Culture in a Global Ecumene” dalam Lull, James (Ed.) Culture in the Communication Age. New York: Routledge.