Penulis: Mila Andria Savitri – dosen prodi Desain Interior Binus Bandung

Beberapa saat yang lalu, IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Jawa Barat menyelenggarakan rangkaian acara bertajuk Architecture Without Walls (AWW) 2022 yang terdiri dari beberapa kegiatan seperti workshop, seminar ddan sharing knowledge yang berkaitan dengan topik arsitektur dan fenomena yang sedang banyak ditemui dalam dunia perencanaan dan perancangan. Salah stu acara yang dilaksankaan adalah Heritage Walk And Talk, dimana para peserta diberi pilihan untuk dapat mengikuti dua sesi yaitu Seminar dan Tour ke dua bangunan cagar budaya dan memiliki nilai sejarah yang tinggi. Dua bangunan itu adalah Gedung Sate dan Aula Timur di dalam Institute Teknologi Bandung.  Setiap bangunan dipandu oleh satu narasumber yang menjelaskan tentang sejarah seerta aspek-aspek yang terkait dengan arsitektur dan interior setiap bangunan. Selain itu, pada saat tour para peserta diajak untuk berkeliling memasuki ruang-ruang dalam Gedung Sate yang tidak boleh dimasuki oleh umum pada saat hari biasa. Untuk Aula Timur ITB, maka peserta mengelilingi lokasi di sekitar bangunan untuk lebih memahami konteks dan suasana di sekitar Aula Timur, baru setelah itu masuk ke dalam bangunannya.

Pada saat tour ke bangunan pertama yaitu Gedung Sate, peserta dipandu oleh narasumber utama yaitu Prof.Dr.Ing. Himasari Hanan MAE, dosen dari prodi Teknik Arsitektur ITB. Beliau menjelaskan sejarah Gedung Sate dan posisinya sebagai bangunan pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Peserta menuju Gedung Sate dengan menggunakan Bandros (Bandung …. ) dari lokasi pembukaan acara yaitu hotel Fox Haris di Jalan Jawa. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang tersebar di tiga Bandros. Setelah berkumpul sesuai kelompok masing-masing di depan Gedung Sate, peserta masuk dan diberi penjelasan awal di Aula Tengah. Setelah itu peserta berkeliling ke ruang-ruang menurut kelompok masing-masing.

Gedung Sate dibangun pada tahun 1920-1924 dan dirancang oleh beberapa arsitek yaitu J Gerber dari Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta dari Gemeente van Bandoeng. Gedung Sate mengambil beberapa  gaya bangunan antara lain colonial, jendela bergaya Moor Spanyol, Renassance Italia yang berpadu dengan gaya tropis yang terlihat dari atap yang seperti Pura Bali dan Pagoda Thailand. Hal ini dapat dilihat pada beberapa elemen bangunan seperti langit-langit yang tinggi, jendela-jendela yang besar dan tinggi untuk memasukkan sinar matahari , atap miring yang memiliki teritisan lebar, pertukaran penghawaan (cross airflow) serta pemilihan material yang sangat lokal serta unsur dekoratif yang mengambil pola-pola dari candi. Bangunan ini memiliki orientasi Utara-Selatan, dengan bagian depan menghadap secara sejajar dengan sumbu yang mengarah ke Gunung Tangkuban Perahu, serta bagian belakang ke Gunung Malabar. Oreintasi ini juga memperkuat konsep bangunan tropis yang mengoptimalkan bukaan besar ke arah Utara-Selatan serta meminimalisir bukaan ke arah Barat-Timur untuk menghindari paparn sinar matahari yang terik pada pagi maupun sore hari. Sehingga dari lantai teratas di bawah atap bangunan utama, terdapat teras yang mengelilingi ruang utama dan dari sana pengunjung dapat melihat pemandangan ke Kota Bandung.

Pada salah satu area bangunan terdapat sirine yang pada masa lalu menjadi sumber suara untuk memberi informasi pada seluruh warga kota Bandung bila terjadi sesuatu, juga beberapa artefak bersejarah yang masih dipertahankan walaupun sudah tidak berfungsi. Sate yang berada di puncak atap pada sumbu bangunan berjumlah 6 buah yang menunjukkan bahwa dulu biaya pembangunan Gedung Sate ini mencapai 6 juta gulden. Struktur atap yang menggunakaan material kayu, diukir dan diberi ornamen oleh tukang yang khusus dipanggil dari Cina karena kualitas pekerjaan yang baik. Prinsip-prinsip desain seperti keseimbangan, harmoni, focal point betul-betul diterapkan pada seluruh unsur bangunan sehingga menghasilkan kualitas visual yang megah, formal, kuat, grand dan tentunya indah.

Bangunan kedua yang didatangi saat tour adalah Aula Timur ITB, yang berada di dalam Kawasan kampus ITB. Dekat dengan gerbang utama kampus, terdapat bangunan kembar yaitu Aula Barat dan Timur, dilahirkan oleh arsitek Belanda yaitu Henry Maclaine Pont pada tahun 1919. Kali ini tour di Aula Timur didampingi oleh narasumber Dr. Bambang Setiabudi, dosen prodi Teknik Arsitektur ITB, yang pernah mengetuai program renovasi Aula Timur. Arsitektur kedua aula ini mengadopsi gaya arsitektur yang memadukan beberapa citra lokal dari berbagai bentuk atap di Indonesia, sehingga sangat kental mewakili gaya tropis dan tradisional, walaupun berpadu dengan gaya Eropa pada bagian badannya. Proporsi atap terhadap badan bangunan memang dirancang dengan sangat khusus sehingga secara keseluruhan bentuknya sangat monumental dan ikonik. Material atap yaitu sirap atau bilah-bilah kayu yang kecil tetapi membentuk komposisi bentang atap yang lebar semakin memperkuat citra tradisional. Hal ini memperkuat gaya tropis yang ditunjukkan lewat langit-langit yang tinggi, ventilasi pada sisi dinding bawah bangunan, elemen bukaan seperti pintu dan jendela bergaya tropis serta ekspresi kuat dari struktur atap yang bersatu dengan kolom-kolom yang massif dan memiliki penyelesaian yang sophisticated.

Saat itu, kemodernan bangunan ini telah ditunjukkan dengan penggunakan material lamiated wood atau lapisan-lapisan kayu yang direkatkan menjadi satu kesatuan dan digunakan pada struktur kolom dan atap dengan teknik bending/ lengkungan. Struktur utama pada bagian tengah aula, dilengkapi dengan struktur tambahan di sisi samping aula yang menggunakan struktur flying buttress yang banyak digunakan pada bangunan pada jaman Gothik. Setiap titik kolom yang menjadi pertemuan antara struktur dinding dan atap, memiliki penyelesaian yang rumit karena mempertemukan sumbu x-y-z (tiga dimensi dan tiga arah) serta memperhatikan konstruksi yang sangat special. Seperti terlihat pada cara pengikatan laminated wood sehingga meminimalisir potensi lepasnya rekatan lapisan kayu, serta kekokohan kolom ketika disatukan dengan elemen lantai. Perpaduan struktur yang unik, material khusus serta bentuk yang klasik inilah yang membuat Aula Timur (dan Barat) sangat monumental, klasik dan indah tak lekang oleh waktu.

Sungguh banyak pelajaran yang didapatkan oleh peserta pada acara Heritage Walk and Tour kali ini. Setelah tour, peserta kembali ke Hotel Fox Haris menggunakan Bandros untuk kemudian makan siang dan dilanjutkan dengan acara talk atau seminar yang membahas kedua bangunan yang telah didatangi sebelumnya oleh kedua narasumber.

Referensi
https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/6110dc2f375a7/wisata-sejarah-di-gedung-sate-bandung
https://www.itb.ac.id/berita/detail/2688/aula-barat-dan-aula-timur-itb-citra-lokal-yang-monumental

Sumber foto : pribadi