(Dipresentasikan pada 24 November 2022 di Seminar Nasional Naskah Nusantara ke-2 Universitas Indonesia)

Ilustrasi pada naskah Sajarah Banten KBG 183 koleksi Perpustakaan Nasional total terdapat 32 halaman berilustrasi; 17 ilustrasi menggunakan caption dan 15 sisanya hanya merujuk pada teks. Jenis ilustrasi paling banyak adalah bangunan dan juga merupakan jenis ilustrasi yang paling banyak menggunakan caption. Penelitian ini berupaya untuk mengamati kecenderungan visual pada ilustrasi-ilustrasi bangunan tersebut, dan ciri khas arsitektur Banten yang terdapat di dalamnya.

Biasanya terdapat caption yang menjelaskan jenis bangunannya seperti pada halaman 27, 29, 34, 43, 61-61a, dan 70; untuk ilustrasi bangunan di halaman 33, 50 dan 60a memiliki caption tapi tidak bisa diartikan. Meskipun tidak ada caption, jenis bangunan dirujuk dalam teks seperti pada ilustrasi halaman 16, 17, 22, dan 23. Beberapa bangunan menggambarkan interior dan perabot yang ada di dalamnya seperti pada halaman 22, 23, 27, 29, 33, dan 43; sementara halaman 16, 17, 34, 58, 60a, 61-61a, dan 70 hanya menunjukkan eksterior bangunan.

Gambar 1. Kelompok Ilustrasi Bangunan

Dari 13 halaman yang memuat ilustrasi bangunan, 5 halaman memuat bangunan dengan ciri khas atap tipe perisai atau limasan, 4 halaman memuat bangunan dengan ciri khas atap tipe joglo, dan 4 halaman memuat bangunan dengan variasi tipe atap pelana. Atap tipe limasan dan joglo merupakan ciri khas pada bangunan yang dengan pangaruh arsitektur tradisional Jawa. Kesultanan Banten sendiri mendapat pengaruh budaya Jawa ketika pada pendiriannya, pasukan gabungan kerajaan Demak dan Cirebon yang dibantu oleh salah seorang Wali Sanga yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568) beserta putranya Hasanudin menyerang wilayah pelabuhan utama Kerajaan Sunda-Pajajaran di daerah pesisir pulau Jawa bagian Barat (wilayah Banten Girang) pada tahun 1526 sebagai bagian dari ekspansi perdagangan maritim Demak. Hasanudin, kemudian bergelar Maulana Hasanudin, ditempatkan sebagai bupati Banten Girang oleh Syarif Hidayatullah sebagai perpanjangan kekuasaan Demak dan Cirebon, sebelum akhirnya independen dari Demak dan Cirebon setelah wafatnya Syarif Hidayatullah pada tahun 1568. Fase ini merupakan fase pengaruh kerajaan bercorak budaya Jawa melalui kekuasaan Demak dan Cirebon di daerah Banten (Guillot, 2011). Hal ini mempengaruhi kecenderungan arsitekturnya yang bercorak Jawa.

Ilustrasi bangunan pada halaman 61-61a dan 70 menunjukkan bentuk atap pelana yang disebut tipe atap kampung pada rumah tradisional Jawa. Atap kampung tidak umum digunakan untuk bangunan-bangunan penting seperti keraton yang cenderung menggunakan atap jenis joglo. Meskipun demikian, bangunan pada halaman 61-61a secara eksplisit dirujuk sebagai “keraton Sultan di Kenari”. Ilustrasi pada halaman 70 juga merupakan bangunan penting (“bangsal”) yang menggunakan tipe atap pelana, dan keunikannya dibanding ilustrasi bangunan lainnya adalah bentuk pondasi panggungnya yang sering dijumpai pada rumah adat Sunda. Ilustrasi lain menunjukkan bangunan-bangunan dengan pondasi tapak. Diperlukan kajian lebih lanjut terkait kemungkinan gaya bangunan pada halaman 61-61a dan 70 sebagai gaya arsitektur vernakular Banten yang berbeda dari pengaruh budaya Jawa pada gaya-gaya bangunan di halaman-halaman sebelumnya.

Referensi

Guillot, C. (2011): Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Nuryanto. (2019): Arsitektur Nusantara: Pengantar Pemahaman Arsitektur Tradisional Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pudjiastuti, T. (2010): Sajarah Banten: Suntingan dan Terjemahan Teks KBG 183. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Ramadina, S. P. (2021): Analisis Genealogi pada Ilustrasi Naskah Sajarah Banten. Bandung: Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.