Meitty Josephin Balontia, M.Han

Dewasa ini, kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang disebut dunia virtual. Dunia virtual yang paling dekat dengan kehidupan adalah interaksi antar manusia yang terjadi di ruang media sosial. Interaksi antar manusia di ruang virtual semacam ini perlu disikapi dengan bijak. Derasnya arus informasi berdampak pada pandangan kita terhadap dunia, termasuk di dalamnya gaya hidup serta pandangan mengenai apa yang penting untuk dikejar dalam hidup. Hal tersebut membawa perubahan dalam tatanan hidup yang tak jarang berdampak pula pada kesehatan mental kita. Penelitian yang dilakukan oleh Fazida Karim dalam Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review memaparkan penemuan terkait relasi antara kesehatan mental manusia dengan penggunaan media sosial. Dalam hasil temuannya, Karim menunjukkan berbagai data salah satunya, peningkatan sebanyak 70% simptom depresi pada sekelompok pengguna media sosial. Dalam penelitian itu disebutkan pula bahwa depresi serta kecemasan merupakan hasil akhir yang banyak terjadi dengan berdasarkan pada perhitungan terhadap jumlah waktu penggunaan, aktivitas, serta adiksi terhadap media sosial. (Fazida Karim, 2020)

Masuknya media sosial sebagai hal yang dapat mempengaruhi kesehatan mental manusia menghadirkan sebuah gagasan, yang kemudian dijadikan metode antisipatif, yang dinamakan social media detox. Detoks (detox) merupakan suatu aktivitas untuk menetralisir toksin atau racun dalam tubuh. Dewasa ini, kata tersebut dipakai luas untuk menjelaskan mengenai upaya membuang hal-hal tidak baik dalam kehidupan seseorang. Detoks media sosial bertujuan untuk membuang hal-hal yang tidak baik, yang diterima melalui media sosial, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Upaya ini secara konkret dilakukan melalui pembatasan akses media sosial yang dilakukan oleh seseorang, baik bersifat sementara maupun tetap (Hanif, 2020) Pembatasan ini diharapkan  dapat menurunkan potensi hadirnya gejala gangguan psikologis akibat media sosial. Beberapa gangguan psikologis yang mungkin terjadi antara lain, ketergantungan media sosial, stress dan depresi. Kecanduan media sosial dapat diukur dengan memperhatikan seberapa sering kita membuka media sosial dalam kurun waktu tertentu. Sementara itu, hadirnya kebiasaan “pamer” di media sosial, dapat menghadirkan kecemburuan. Kecemburuan ini memperbesar potensi gangguan psikologis seperti stress dan depresi. Orang mulai berlomba-lomba mengejar kesempurnaan “semu” yang dihadirkan dalam postingan-postingan di media sosial. Kebutuhan pun akhirnya berubah. Kita merasa perlu untuk memiliki barang yang dimiliki oleh orang lain. Hal-hal semacam ini kemudian menjadikan detoks media sosial perlu dilaksanakan.

Pelaksanaan detoks media sosial yang efektif tidak akan berhasil tanpa adanya komitmen dari diri sendiri. Orang yang mengalami kecanduan media sosial harus bisa membuat jadwal teratur saat membuka media sosial dan mengikuti jadwal tersebut dengan ketat. Yang bersangkutan juga harus bisa mengalihkan fokusnya pada kegiatan lain yang lebih berdampak positif. Manfaat dari detoks media sosial antara lain: 1) Mencegah menurunnya kesehatan mental; 2) Meningkatkan relasi kita dengan dunia nyata dan orang sekitar, serta; 3) Menjauhkan diri kita dari kecenderungan sikap kompetitif yang tidak sehat. Selain hal-hal di atas, detoks media sosial juga membantu kita untuk kembali pada kenyataan diri kita sebagaimana adanya. Artinya, detoks media sosial memberikan kita pengalaman untuk berjumpa dengan diri sendiri serta merefleksikan kembali apa yang benar-benar penting untuk kita kejar dalam hidup.

Sumber:

Fazida Karim, d. (2020). Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review. Cureus Vol.12(6) .

Hanif, M. (2020, Agustus 8). gooddoctor.co.id. Retrieved from gooddoctor.co.id: https://www.gooddoctor.co.id/hidup-sehat/mental/social-media-detox-kian-populer-ini-4-manfaatnya-untuk-kesehatan-mental/