Sekilas Demokrasi di Indonesia dan Ancamannya

Oleh Meitty Josephin Balontia, M.Han

Sekilas Demokrasi di Indonesia dan Ancamannya

 

Demokrasi bukan sesuatu yang baru di telinga kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sendiri menganut sistem demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dalam tulisan ini, kita akan melihat secara umum apa sebenarnya yang dimaksud dengan demokrasi dan bagaimana perkembangannya dalam sejarah. Dengan mengetahui perkembangannya, kita bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana demokrasi dalam suatu negara dapat berkembang serta sebaliknya, bagaimana demokrasi dapat pula dikatakan  mati.

Masa Modern: Demokrasi dalam Era Kontemporer

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokrasi, baiklah kita kembali pada sejarah terciptanya demokrasi. Sistem pemerintahan ini pertama kali dapat kita temukan di sebuah kota (polis) bernama Athena, sekitar 2500 tahun lalu. Di kota ini, pengambilan keputusan politik selalu dilaksanakan dengan melibatkan warganya. Setiap warga Athena akan berkumpul dan mengambil keputusan politik bersama secara langsung, termasuk didalamnya memilih para pejabatnya. Meskipun kota tersebut memiliki pejabat yang dipilih langsung, keputusan publik tetap menjadi hak dari setiap warga. Sistem pemerintahan seperti ini disebut dengan Demokrasi, yang berarti “diperintah oleh rakyat”. Tentu saja, pada zaman itu, makna warga negara tidak mencakup seluruh rakyat yang ada dalam wilayah tersebut. Status warga Athena yang berhak untuk didengarkan suaranya adalah laki-laki dewasa dan bebas. Artinya, wanita, anak, budak, serta orang asing tidak dapat berpartisipasi dalam memilih atau memberi pandangan (McGill, 2007).

Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah semakin matang. Kematangan tersebut membawa konsekuensi besar dalam menentukan siapa yang disebut dengan warga negara itu. Semakin matang kesadaran akan HAM, maka perbudakan serta perbedaan gender dalam kaitannya dengan hak politik mulai ditinggalkan. Penghapusan tindak perbudakan serta kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki di bidang politik semakin memperkaya jalannya demokrasi dewasa ini.

Seiring dengan matangnya kesadaran HAM, demokrasi pada akhirnya semakin melibatkan setiap lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang modern, pelibatan setiap lapisan masyarakat dilakukan melalui jalur perwakilan. Perwakilan masyarakat di Indonesia dikenal dengan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perwakilan masyarakat adalah satu dari tiga lembaga kekuasaan negara yang disebut dengan trias politica.

Trias Politica dan Sistem Pemerintahan di Indonesia

Trias politica berangkat dari kesadaran bahwa kekuasaan negara tidak bisa dipegang hanya oleh satu penguasa. Harus ada yang disebut dengan pembagian kekuasaan yang terdiri dari tiga lembaga yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal tersebut untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa tunggal. Di Indonesia, ketiganya diisi oleh delapan (8) lembaga yakni; MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, MA, BPK, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) (Anwar, 2020). Lembaga Eksekutif dipegang oleh Presiden, dimana pemilihan presiden langsung dilakukan oleh rakyat. Sementara untuk lembaga Legislatif terdiri dari MPR, DPR, dan DPD. Dan untuk lembaga yudikatif terdiri dari MA, MK dan KY. Fungsi dari lembaga-lembaga ini harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar pemerintahan berjalan dengan lancar dan tidak jatuh pada bentuk otoriter. Legislatif berfungsi sebagai pembuat Undang-Undang, sementara eksekutif memiliki tanggung jawab sebagai pelaksana Undang-Undang. Lebih lanjut, lembaga yudikatif memiliki peran untuk mengawasi pelaksana Undang-Undang.

Meskipun ketiga lembaga memiliki fungsi masing-masing, yang memastikan pemerintahan tidak jatuh pada kekuasaan yang otoriter, namun selalu ada ancaman yang perlu diwaspadai. Ancaman terhadap jalannya demokrasi di Indonesia, tidak hanya berkaitan dengan ancaman ideologi baru yang masuk melalui berbagai cara  tetapi juga, ancaman yang muncul dari ketidak-seimbangan dari trias politica. Ketidak-seimbangan dapat terjadi jika ditemukan indikasi saling bekerjasama dalam menetapkan kebijakan yang justru merugikan masyarakat (Anwar, 2020).

Selain hal di atas, ancaman terhadap demokrasi juga menyangkut persoalan kepemimpinan. Dalam sejarahnya, banyak negara demokrasi yang “mati” atau jatuh ke dalam sistem pemerintahan otoriter justru karena perilaku dari pemimpinnya sendiri, terlebih jika orang-orang yang duduk di dalam lembaga trias politica merupakan orang-orang pro pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem demokrasi harus selalu ada posisi kontra sebagai bagian dari fungsi kritik dan perbaikan. Namun, jika ketiga lembaga tersebut hanya diisi oleh satu kelompok orang saja, maka tak tertutup kemungkinan pemerintahan akan berubah dari demokrasi menuju autokrasi atau otoriter.

Baca Juga: Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia di Forum Resmi Nasional

Empat indikator kunci perilaku otoriter menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt

Untuk menghindari ancaman di atas, kita perlu memperhatikan perilaku pemimpin kita. Setidaknya ada empat indikator kunci perilaku otoriter menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang berjudul “Bagaimana Demokrasi Mati”. Keempat indikator tersebut terdiri dari:

  1. Penolakan (atau komitmen lemah) atas aturan main demokratis. Hal ini termasuk, apakah mereka menolak konstitutsi atau menunjukkan kesediaan untuk melanggarnya?
  2. Menyangkal legitimasi lawan politik. Bisa dengan cara menyebut lawan sebagai pelaku makar atau menentang tatanan konstitusional yang ada.
  3. Toleransi atau anjuran kekerasan. Hal tersebut berkaitan dengan apakah mereka atau sekutu partisan mereka mendukung atau mendorong serangan massa terhadap lawan?
  4. Kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media. Termasuk di dalamnya, apakah mereka mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil seperti, perluasan hukum pencemaran nama baik, penistaan, ataupun hukum yang bisa membatasi protes serta kritik terhadap pemerintah atau organisasi dan politisi tertentu?(Ziblatt, 2021).

Dengan kemampuan mengidentifikasi calon pemimpin yang memiliki bibit otoriter di atas, kita dapat memperkecil ancaman terhadap jalannya demokrasi di negara ini.

Sumber

Anwar, I. C. (2020, Desember 2). Tirto.id. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/mengenal-apa-itu-trias-politica-yang-diterapkan-di-indonesia-f7Do

McGill. (2007). McGill School of Computer. Retrieved from McGill School of Computer: https://www.cs.mcgill.ca/~rwest/wikispeedia/wpcd/wp/h/History_of_democracy.htm

Ziblatt, S. L. (2021). Bagaimana Demokrasi Mati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.