Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Secara keseluruhan, situs ini berada pada sebuah bukit yang memiliki luas total area sekitar 3 hektar, dengan luas situs utama sebesar 900 m2 yang terbagi menjadi 5 teras berundak. Setiap terasnya memiliki struktur-struktur yang terdiri dari susunan kolom-kolom batu poligonal yang merupakan hasil bentukan dari proses pendinginan lava menjadi batuan beku berjenis andesit atau basalt. Jenis batuan ini diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma dari gunung-gunung api purba di sekitar Gunung Padang pada masa Pleistosen awal, sekitar 21 juta tahun yang lalu, dan memiliki kemiripan karakteristik dengan batuan yang membentuk bukit kolom batu poligonal Giant’s Causeway di Irlandia, Devil’s Tower di Yellowstone, Amerika Serikat, atau kolom-kolom batu di Gunung Selacau dan Lagadar di Cimahi Selatan, Indonesia..

 

Penelitian arkeologis yang telah dilakukan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Direktorat Sejarah dan Purbakala menghasilkan beberapa asumsi tentang fungsi dan peranan situs Gunung Padang bagi masyarakat penciptanya, yaitu masyarakat prasejarah masa Megalitik di daerah sekitar situs tersebut, yaitu sebagai monumen yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Asumsi tersebut diambil berdasarkan studi arkeologi maupun analogi etnografi pada komunitas masyarakat yang saat ini masih menerapkan kultur Megalitik.

 

Cara pembuatan dan pendirian situs Gunung Padang memiliki sistem dan prosedur yang dapat dicari perbandingannya melalui studi arkeologi etnografi yang telah dilakukan pada komunitas Megalitik di Toraja dan Sumba, dimana masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk berpartisipasi dalam pembuatan bangunan-bangunan semacam itu. Pembangunan teras situs yang megah dengan cara gotong royong merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk ‘beramal’ terhadap sistem kepercayaan mereka, selain sebagai upaya pendekatan rohani terhadap kekuatan gaib yang merupakan obyek sembahan mereka.

 

Teras pertama (Teras I) merupakan teras terbesar sekaligus terletak paling bawah pada situs Gunung Padang. Selain itu, Teras I memiliki jumlah struktur paling banyak dibandingkan teras lainnya, sehingga dapat dilakukan pengamatan bagaimana kemungkinan sirkulasi pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna situs berdasarkan posisi struktur-struktur tersebut.

Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat merupakan situs megalitik berbentuk punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Secara keseluruhan, situs ini berada pada sebuah bukit yang memiliki luas total area sekitar 3 hektar, dengan luas situs utama sebesar 900 m2 yang terbagi menjadi 5 teras berundak. Setiap terasnya memiliki struktur-struktur yang terdiri dari susunan kolom-kolom batu poligonal yang merupakan hasil bentukan dari proses pendinginan lava menjadi batuan beku berjenis andesit atau basalt. Jenis batuan ini diperkirakan merupakan hasil pembekuan magma dari gunung-gunung api purba di sekitar Gunung Padang pada masa Pleistosen awal, sekitar 21 juta tahun yang lalu, dan memiliki kemiripan karakteristik dengan batuan yang membentuk bukit kolom batu poligonal Giant’s Causeway di Irlandia, Devil’s Tower di Yellowstone, Amerika Serikat, atau kolom-kolom batu di Gunung Selacau dan Lagadar di Cimahi Selatan, Indonesia..

 

Penelitian arkeologis yang telah dilakukan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Direktorat Sejarah dan Purbakala menghasilkan beberapa asumsi tentang fungsi dan peranan situs Gunung Padang bagi masyarakat penciptanya, yaitu masyarakat prasejarah masa Megalitik di daerah sekitar situs tersebut, yaitu sebagai monumen yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Asumsi tersebut diambil berdasarkan studi arkeologi maupun analogi etnografi pada komunitas masyarakat yang saat ini masih menerapkan kultur Megalitik.

 

Cara pembuatan dan pendirian situs Gunung Padang memiliki sistem dan prosedur yang dapat dicari perbandingannya melalui studi arkeologi etnografi yang telah dilakukan pada komunitas Megalitik di Toraja dan Sumba, dimana masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk berpartisipasi dalam pembuatan bangunan-bangunan semacam itu. Pembangunan teras situs yang megah dengan cara gotong royong merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk ‘beramal’ terhadap sistem kepercayaan mereka, selain sebagai upaya pendekatan rohani terhadap kekuatan gaib yang merupakan obyek sembahan mereka.

 

Teras pertama (Teras I) merupakan teras terbesar sekaligus terletak paling bawah pada situs Gunung Padang. Selain itu, Teras I memiliki jumlah struktur paling banyak dibandingkan teras lainnya, sehingga dapat dilakukan pengamatan bagaimana kemungkinan sirkulasi pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat pengguna situs berdasarkan posisi struktur-struktur tersebut.

Gambar 1. Struktur-struktur Megalitik Teras I Gunung Padang

(Ramadina, 2009)

 

Ketika pertama kali memasuki situs, pengunjung langsung disambut oleh gundukan sisa struktur dengan pohon yang telah tumbuh ditengah-tengahnya (Gambar 1 no.1). Penempatan struktur No.1 tersebut seakan menghalangi pandangan menuju pusat teras dan berusaha mengarahkan pengunjung atau peziarah situs untuk berbelok ke arah kiri menuju 2 buah struktur (Gambar 1 no.2 dan no.5). Pergerakan ke arah kiri merupakan simbol mandala gerak ‘naik’ secara spiritual, yaitu proses dematerialisasi manusia menuju dan menjadi satu dengan Dunia Atas. Dalam masyarakat Sunda, konsep mandala mereka merupakan mandala gerak ‘naik’ dimana manusia (biasanya direpresentasikan dengan sosok raja) ‘naik’ menjadi dewa. Gerak ‘naik’ dimulai dari kiri atau timur menuju selatan, barat, utara, dan berakhir di ‘pusat’. Di bagian belakang struktur No.2, terdapat satu kamar tanpa gerbang atau penanda masuk (Gambar 1 no.3). Struktur ini hanya berupa bentuk persegi panjang dan kemungkinan lebih merupakan ruang annex atau ruang sayap yang menjadi perantara menuju daerah selanjutnya.

 

Mengikuti arah perjalanan ‘naik’ selanjutnya, yaitu dari selatan menuju barat, peziarah dibawa menuju sebuah struktur (Gambar 1 no.4) yang terletak di bagian barat Teras I melewati tangga (bergerak ke ‘atas’) yang terletak di sebelah kanan sebuah struktur lainnya (lihat Gambar 1 no.6).  Dari arah barat yaitu struktur No.4, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan gerak ‘turun’ menuju utara, berarti kembali pada struktur No.1. Dari struktur No.1 terdapat dua pilihan perjalanan, yaitu menuju struktur yang terletak di sebelah agak kiri (lihat Gambar 1 no.5) dan struktur yang terletak di hampir di depan struktur No.2 (lihat Gambar 1 no.6). Mengikuti konsep gerak ‘naik’, maka seharusnya peziarah bergerak menuju struktur No.5.

 

Akhir perjalanan pada Teras I adalah struktur yang terletak hampir di bagian tengah atau pusat Teras I (lihat Gambar 1 no.6). Bentuk struktur No.4 ini berbeda dari struktur-struktur lain pada Teras I dengan bentuk menyerupai bukit atau gunung. Dalam kepercayaan primordial, bukit atau gunung tinggi dipercaya sebagai tempat tinggal roh nenek moyang dan para dewa. ‘Bukit’ ini kemudian mengarahkan peziarah menuju ‘tingkatan’ yang lebih tinggi, yaitu Teras II (perhatikan Gambar 2).

 

Gambar 2. Bagan Alur Sirkulasi Gerak Teras I

(Ramadina, 2009)

 

Sirkulasi pergerakan pada teras-teras situs Gunung Padang dapat dikaji lebih lanjut untuk memahami tentang bagaimana nenek moyang kita memahami ruang baik dalam konteks spiritual, maupun dalam teknik perancangan struktur bangunan untuk tujuan keagamaan dan ruang publik. Rancangan tersebut diharapkan dapat diterapkan pula unruk ruang-ruang kontemporer di Indonesia, sehingga kita dapat melestarikan sekaligus merevitalisasi khazanah pengetahuan tradisi leluhur.

 

Referensi

 

Sukendar, H. (2001): Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. (2002): Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang, Cipanas-Cianjur. Agustus 2002. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Brahmantyo, B. (2006): Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang. Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006.

Ramadina, S. P. (2009): Analisis Perupaan Situs Megalitik Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Bandung: Program Studi Sarjana Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Sumardjo, J. (2003): Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.

Sumardjo, J. (2010): Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.

 

 

 

 

Gambar 1. Struktur-struktur Megalitik Teras I Gunung Padang

(Ramadina, 2009)

 

Ketika pertama kali memasuki situs, pengunjung langsung disambut oleh gundukan sisa struktur dengan pohon yang telah tumbuh ditengah-tengahnya (Gambar 1 no.1). Penempatan struktur No.1 tersebut seakan menghalangi pandangan menuju pusat teras dan berusaha mengarahkan pengunjung atau peziarah situs untuk berbelok ke arah kiri menuju 2 buah struktur (Gambar 1 no.2 dan no.5). Pergerakan ke arah kiri merupakan simbol mandala gerak ‘naik’ secara spiritual, yaitu proses dematerialisasi manusia menuju dan menjadi satu dengan Dunia Atas. Dalam masyarakat Sunda, konsep mandala mereka merupakan mandala gerak ‘naik’ dimana manusia (biasanya direpresentasikan dengan sosok raja) ‘naik’ menjadi dewa. Gerak ‘naik’ dimulai dari kiri atau timur menuju selatan, barat, utara, dan berakhir di ‘pusat’. Di bagian belakang struktur No.2, terdapat satu kamar tanpa gerbang atau penanda masuk (Gambar 1 no.3). Struktur ini hanya berupa bentuk persegi panjang dan kemungkinan lebih merupakan ruang annex atau ruang sayap yang menjadi perantara menuju daerah selanjutnya.

 

Mengikuti arah perjalanan ‘naik’ selanjutnya, yaitu dari selatan menuju barat, peziarah dibawa menuju sebuah struktur (Gambar 1 no.4) yang terletak di bagian barat Teras I melewati tangga (bergerak ke ‘atas’) yang terletak di sebelah kanan sebuah struktur lainnya (lihat Gambar 1 no.6).  Dari arah barat yaitu struktur No.4, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan gerak ‘turun’ menuju utara, berarti kembali pada struktur No.1. Dari struktur No.1 terdapat dua pilihan perjalanan, yaitu menuju struktur yang terletak di sebelah agak kiri (lihat Gambar 1 no.5) dan struktur yang terletak di hampir di depan struktur No.2 (lihat Gambar 1 no.6). Mengikuti konsep gerak ‘naik’, maka seharusnya peziarah bergerak menuju struktur No.5.

 

Akhir perjalanan pada Teras I adalah struktur yang terletak hampir di bagian tengah atau pusat Teras I (lihat Gambar 1 no.6). Bentuk struktur No.4 ini berbeda dari struktur-struktur lain pada Teras I dengan bentuk menyerupai bukit atau gunung. Dalam kepercayaan primordial, bukit atau gunung tinggi dipercaya sebagai tempat tinggal roh nenek moyang dan para dewa. ‘Bukit’ ini kemudian mengarahkan peziarah menuju ‘tingkatan’ yang lebih tinggi, yaitu Teras II (perhatikan Gambar 2).

 

Gambar 2. Bagan Alur Sirkulasi Gerak Teras I

(Ramadina, 2009)

 

Sirkulasi pergerakan pada teras-teras situs Gunung Padang dapat dikaji lebih lanjut untuk memahami tentang bagaimana nenek moyang kita memahami ruang baik dalam konteks spiritual, maupun dalam teknik perancangan struktur bangunan untuk tujuan keagamaan dan ruang publik. Rancangan tersebut diharapkan dapat diterapkan pula unruk ruang-ruang kontemporer di Indonesia, sehingga kita dapat melestarikan sekaligus merevitalisasi khazanah pengetahuan tradisi leluhur.

 

Referensi

 

Sukendar, H. (2001): Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. (2002): Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Situs Gunung Padang, Cipanas-Cianjur. Agustus 2002. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Brahmantyo, B. (2006): Keagungan Situs Megalitik Gunung Padang. Pikiran Rakyat, 20 Januari 2006.

Ramadina, S. P. (2009): Analisis Perupaan Situs Megalitik Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Bandung: Program Studi Sarjana Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Sumardjo, J. (2003): Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Bandung: Kelir.

Sumardjo, J. (2010): Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.