Kebudayaan merupakan hasil rancangan atau ide dari sekelompok masyarakat guna melestarikan budaya, yang kita warisi melalui proses belajar dan menjadikan budaya sebagai acuan hidup atau berperilaku dalam suatu kelompok atas manusia berikutnya yang kita sebut nilai budaya. Koentjaraningrat (1979) membedakan kebudayaan menjadi tiga wujud. Dari tiga hal tersebut yang mendorong terjadi pembentukan kebudayaan. Wujud pertama adalah wujud kebudayaan sebagai gagasan, ide, nilai atau norma. Kedua adalah wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam bermasyarakat misalnya, kerjasama atau gotong royong. Wujud terakhir dari kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, misalnya candi, artefak, kain batik, dan sebagainya. Selain dibedakan menjadi tiga wujud, kebudayaan juga terdiri dari tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979). Selain itu juga “Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia” (Koentjaraningrat, 1990:180).

Teknologi merupakan buah pemikiran dari imajinasi manusia untuk membangun masa depan kebudayaan dan kehidupan menuju lebih baik. Dalam perkembangannya teknologi tidak selalu terikat oleh budaya, tetapi kadang teknologi membentuk suatu budaya dengan efek positif maupun negatif. Heidegger (1971 : 294) menjelaskan hakikat teknologi (essence of technology), sebagai sesuatu yang tidak bersifat teknologis—yaitu cara berpikir teknis instrumental—melainkan cara membentangkan totalitas ada (being) atau eksistensi. Teknologi tidak hanya cara (mean), melainkan cara penyingkapan (revealing), yaitu penyingkapan kebenaran (truth), kurang lebih seperti peran seni.

Kemajuan dan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan mudah diakses oleh siapapun menjadikan semua informasi yang tersedia beredar begitu cepat, tidak sedikit tradisi atau kebudayaan lama yang dianggap kuno mulai terambil alih, dan terlupakan terganti dengan hal-hal yang bersifat kebaruan begitupun di Indonesia termasuk dalam dunia hiburan dan seni, masyarakat Indonesia semakin terpengaruh dengan budaya luar baik yang bersifat positif ataupun negatif. Walaupun demikian, bukan berarti kebudayaan lama tersebut ditinggalkan begitu saja. Ide, sistem gagasan, tindakan dari kebudayaan digital bisa digabungkan dengan kebudayaan lama hingga menjadi hasil karya baru. Menurut Krisna Murti (2009 : 67) seni media baru adalah salah satu bentuk budaya media baru. Ia adalah salah satu ekspresi kreatif yang paling jelas posisinya, karena tampil ‘berjarak’ dengan praktik arus besar yang merespon media secara fungsional dan kesenangan. Meskipun dalam praktik ia sering memasukkan elemen hiburan dan gaya hidup, tetap saja menempatkan dirinya secara sadar sebagai ekspresi kultural. Seni media baru pada hakikatnya adalah seni hibrida yang lahir dari pertemuan ekspresi estetik manusia dengan penemuan Teknologi Informasi (TI) dan Teknologi Media (TM).

Mengambil pengertian diatas maka media baru bukan berarti bahwa medium lama dalam konteks material digantikan dengan sesuatu yang baru, tetapi dengan memanfaatkan dan meleburkan media dan perangkat teknologi sebelumnya yang sudah ada dengan pengembangan-pengembangan media saat ini misalnya video. Video merupakan medium dengan memperkenalkan sistem elektronik transmisi (penyebar) citra, juga kualitas artistiknya (kualitas gambar, pergerakan). Hingga pada perkembangannya muncul pemetaan video atau video proyeksi atau istilah lainnya yaitu video mapping, sebagai sarana menyampaikan informasi, karya seni juga media hiburan baru yang cukup menarik untuk saat ini.

Kebudayaan merupakan hasil rancangan atau ide dari sekelompok masyarakat guna melestarikan budaya, yang kita warisi melalui proses belajar dan menjadikan budaya sebagai acuan hidup atau berperilaku dalam suatu kelompok atas manusia berikutnya yang kita sebut nilai budaya. Koentjaraningrat (1979) membedakan kebudayaan menjadi tiga wujud. Dari tiga hal tersebut yang mendorong terjadi pembentukan kebudayaan. Wujud pertama adalah wujud kebudayaan sebagai gagasan, ide, nilai atau norma. Kedua adalah wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam bermasyarakat misalnya, kerjasama atau gotong royong. Wujud terakhir dari kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, misalnya candi, artefak, kain batik, dan sebagainya. Selain dibedakan menjadi tiga wujud, kebudayaan juga terdiri dari tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979). Selain itu juga “Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia” (Koentjaraningrat, 1990:180).

Teknologi merupakan buah pemikiran dari imajinasi manusia untuk membangun masa depan kebudayaan dan kehidupan menuju lebih baik. Dalam perkembangannya teknologi tidak selalu terikat oleh budaya, tetapi kadang teknologi membentuk suatu budaya dengan efek positif maupun negatif. Heidegger (1971 : 294) menjelaskan hakikat teknologi (essence of technology), sebagai sesuatu yang tidak bersifat teknologis—yaitu cara berpikir teknis instrumental—melainkan cara membentangkan totalitas ada (being) atau eksistensi. Teknologi tidak hanya cara (mean), melainkan cara penyingkapan (revealing), yaitu penyingkapan kebenaran (truth), kurang lebih seperti peran seni.

Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan mudah diakses oleh siapapun menjadikan semua informasi yang tersedia beredar begitu cepat, tidak sedikit tradisi atau kebudayaan lama yang dianggap kuno mulai terambil alih, dan terlupakan terganti dengan hal-hal yang bersifat kebaruan begitupun di Indonesia termasuk dalam dunia hiburan dan seni, masyarakat Indonesia semakin terpengaruh dengan budaya luar baik yang bersifat positif ataupun negatif. Namun walaupun demikian bukan berarti kebudayaan lama tersebut ditinggalkan begitu saja, ide, system gagasan, tindakan dari kebudayaan digital bisa di gabungkan dengan kebudayaan lama hingga menjadi hasil karya baru. Menurut Krisna Murti(2009 : 67) seni media baru adalah salah satu bentuk budaya media baru. Ia adalah salah satu ekspresi kreatif yang paling jelas posisinya, karena tampil ‘berjarak’ dengan praktik arus besar yang merespon media secara fungsional dan kesenangan. Meskipun dalam praktik ia sering memasukkan elemen hiburan dan gaya hidup, tetap saja menempatkan dirinya secara sadar sebagai ekspresi kultural. Seni media baru pada hakikatnya adalah seni hibrida yang lahir dari pertemuan ekspresi estetik manusia dengan penemuan Teknologi Informasi (TI) dan Teknologi Media (TM).

Mengambil pengertian diatas maka media baru bukan berarti bahwa medium lama dalam konteks material digantikan dengan sesuatu yang baru, tetapi dengan memanfaatkan dan meleburkan media dan perangkat teknologi sebelumnya yang sudah ada dengan pengembangan-pengembangan media saat ini misalnya video. Video merupakan medium dengan memperkenalkan sistem elektronik transmisi (penyebar) citra, juga kualitas artistiknya (kualitas gambar, pergerakan). Hingga pada perkembangannya muncul pemetaan video atau video proyeksi atau istilah lainnya yaitu video mapping, sebagai sarana menyampaikan informasi, karya seni juga media hiburan baru yang cukup menarik untuk saat ini.

Video mapping atau proyeksi video menurut Maniello (2014), merupakan bagian dari realitas tertambah, Augmented Reality (AR), atau sebuah realitas buatan, pemetaan video merupakan pengembangan dari disiplin ilmu realitas tertambah namun dikarakterisasi oleh kesempurnaan dan konsistensi yang lebih besar. Maka video mapping terdiri dari video yang diproyeksikan pada objek 3D dan memetakan ulang objek tersebut dengan bantuan perangkat keras sehingga membuat benda-benda yang secara fisik sebenarya tidak ada atau hanya ada dalam video terlihat seolah-olah nyata dengan memadukan ruang virtual dan ruang nyata. Realitas buatan tersebut memperkaya sensor penglihatan manusia dengan informasi tambahan yang lebih, dengan perantara dan penggunaan komputer. Realitas buatan menjadi seolah semakin nyata melalui beragam alat seperti smartphone, webcam, sensor, earphone, atau dalam video mapping menggunakan proyektor sebagai alat proyeksi video-nya. Realitas tertambah tentu saja bisa menghapus informasi yang di rasakan, dengan menciptakan realitas buatan baru yang lebih jelas atau menyenangkan. Yun, Kim dan Ishii (2013) Video mapping muncul pada abad 20-an, meningkat secara drastis dan populer pada abad ke 21 dengan berbagai macam media dan objek yang diproyeksi, dari objek berukuran kecil hingga Gedung-gedung arsitektur bersejarah. Metode yang dipakai serta pemanfaatanya pun semakin beragam, pemanfaatannya dimulai untuk karya seni, pertunjukan dalam teater atupun panggung, media interaktif, hingga arsitektur ruang kota.

Video mapping berkembang menjadi salah satu media hiburan baru bagi masyarakat khususnya masyarakat kota, baik yang kedudukannya ketika berkolaborasi dengan media seni lainnya atupun sebagai sebuah pertunjukan yang berdiri sendiri. Menurut Susanto (Nugrahani, 2003:12) hiburan adalah segala sesuatu baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda, perilaku yang dapat menjadi penghibur atau pelipur hati yang susah atau sedih. Pada umumnya hiburan dapat berupa musik, film, opera, drama, ataupun berupa permainan bahkan olahraga. Berwisata juga dapat dikatakan sebagai upaya hiburan dengan menjelajahi alam ataupun mempelajari budaya.

Pertunjukan video mapping sekarang cukup menarik minat masyarakat untuk menyaksikannya, khususnya ketika video mapping disajikan pada ruang-ruang publik, hal tersebut menjadikan video mapping sebagai media hiburan rakyat yang baru. Masyarakat berbondong-bondong datang seperti halnya ketika menyaksikan hiburan rakyat pada kebudayaan lama seperti pertunjukan wayang. Hal ini bisa terlihat dari beberapa pertunjukan video mapping yang diselenggarakan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali dan lainnya. Misalnya di kota bandung, pertunjukan video mapping pada ruang publik telah beberapa kali disajikan diantaranya oleh Uvisual pada Gedung yang menjadi warisan budaya di Bandung Utara yaitu Gedung Vila Isola.

Alasan pemilihan arsitektur gedung dan bangunan yang menjadi cagar budaya adalah karena bangunan atau cagar budaya ini sudah cukup lama bertahan dan hadir di tengah-tengah masyarakat juga nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Menurut Struppek (2006) dalam Ekim (2011 : 9), “Dimensi arsitektur ruang kota telah memainkan peran penting dalam menyediakan panggung untuk interaksi ini. Selain itu, arsitektur itu sendiri berfungsi sebagai media, menceritakan narasi tentang kota, orang-orangnya, dan struktur masyarakat yang diwakili. Penggabungan antara arsitektur kota atau peninggalan bersejarah yang dikolaborasikan dengan teknik video mapping yang bercerita tentang kebudayaan ataupun cerita-cerita sejarah menjadi suatu seni pertunjukan yang menarik, terlihat animo masyarakat begitu antusias untuk menyaksikannya.

Selain sebagai media hiburan rakyat yang sifatnya masih baru hal tersebut juga menjadi sarana pemanfaatan dari video mapping untuk memperkenalkan kembali budaya lama dengan kemasan budaya baru yaitu media digital.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ekim, B. (2011).: A VIDEO PROJECTION MAPPING CONCEPTUAL DESIGN AND

APPLICATION:   YEKPARE   :   Turkish   Online   Journal   of   Design, Art and Communication, Vol. 1, Issue 1, pp. 10-19

Heidegger, Martin. 1971. „The Question Concerning Technology‟, dalam Basic Writings.

San Francisco : Harper

Hwang Rok Yun, Dae Woong Kim, Tatsuro Ishii. (2013). A Study of Digital Media Art Utilizing the Contents of The Architecture Cultural Property, Faculty of Design, Kyushu University : Japan.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Maniello, Donato (2014). Augmented Reality in Public Space, Basic Techniques for Video Mapping. Italy: Le Penseur.

Nugrahani. Budaya Lokal. Jakarta: Bina Aksara. 2003

Pertunjukan video mapping sekarang cukup menarik minat masyarakat untuk menyaksikannya, khususnya ketika video mapping disajikan pada ruang-ruang publik, hal tersebut menjadikan video mapping sebagai media hiburan rakyat yang baru. Masyarakat berbondong-bondong datang seperti halnya ketika menyaksikan hiburan rakyat pada kebudayaan lama seperti pertunjukan wayang. Hal ini bisa terlihat dari beberapa pertunjukan video mapping yang diselenggarakan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali dan lainnya. Misalnya di kota bandung, pertunjukan video mapping pada ruang publik telah beberapa kali disajikan diantaranya oleh Uvisual pada Gedung yang menjadi warisan budaya di Bandung Utara yaitu Gedung Vila Isola.

Alasan pemilihan arsitektur gedung dan bangunan yang menjadi cagar budaya adalah karena bangunan atau cagar budaya ini sudah cukup lama bertahan, dan hadir di tengah-tengah masyarakat juga nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Menurut Struppek (2006) dalam Ekim (2011 : 9), “Dimensi arsitektur ruang kota telah memainkan peran penting dalam menyediakan panggung untuk interaksi ini. Selain itu, arsitektur itu sendiri berfungsi sebagai media, menceritakan narasi tentang kota, orang-orangnya, dan struktur masyarakat yang diwakili. Penggabungan antara arsitektur kota atau peninggalan bersejarah yang dikolaborasikan dengan Teknik video mapping yang bercerita tentang kebudayaan ataupun cerita-cerita sejarah menjadi suatu seni pertunjukan yang menarik, terlihat animo masyarakat begitu antusias untuk menyaksikannya.

Selain sebagai media hiburan rakyat yang sifatnya masih baru hal tersebut juga menjadi sarana pemanfaatan dari video mapping untuk memperkenalkan kembali budaya lama dengan kemasan budaya baru yaitu media digital.

DAFTAR PUSTAKA

Ekim, B. (2011).: A VIDEO PROJECTION MAPPING CONCEPTUAL DESIGN AND APPLICATION: YEKPARE : Turkish Online Journal of Design, Art and Communication, Vol. 1, Issue 1, pp. 10-19

Heidegger, Martin. 1971. „The Question Concerning Technology‟, dalam Basic Writings. San Francisco : Harper

Hwang Rok Yun, Dae Woong Kim, Tatsuro Ishii. (2013). A Study of Digital Media Art Utilizing the Contents of The Architecture Cultural Property, Faculty of Design, Kyushu University : Japan.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Maniello, Donato (2014). Augmented Reality in Public Space, Basic Techniques for Video Mapping. Italy: Le Penseur.

Nugrahani. Budaya Lokal. Jakarta: Bina Aksara. 2003