Oleh: Bayu R. W. Edward S.Ds., M.Ds.

Interior Design School Of Design Binus University

Desain, sebuah kata yang tidak bisa disebut baru lagi di Indonesia. Sejak kehadirannya secara resmi sebagai salah satu bidang keilmuan pada zaman penjajahan, kini istilah desain telah semakin akrab di telinga masyarakat baik dalam pengertian yang tepat ataupun meleset. Ditambah lagi, perubahan zaman sangat berperan penting dalam meramaikan dan menyadarkan banyak pihak terhadap peran keahlian desain dalam perputaran roda peradaban. Desain kini di telinga masyarakat Indonesia, adalah bak lencana simbol kekinian syarat untuk sebuah pangkat eksistensi.

Animo dan opini masyarakat terhadap bidang desain-pun berkembang. Para siswa SMA yang bersiap untuk memutuskan arah masa depan mereka, menjadikan bidang desain sebagai pilihan. Dengan segala kemeriahan dan glamornya berita mengenai desain-desain baru yang bermunculan, tidak luput juga cerita tentang para desainernya sendiri yang digambarkan begitu ‘keren’, membuat siswa- siswa sekaligus orang tua mereka semakin mantap untuk menjajal pendidikan desain di kampus-kampus ternama di Indonesia. Apa yang menjadi harapan mereka adalah betapa persisnya ‘kekerenan’ yang mereka lihat akan juga terjadi pada anak-anak mereka kelak. Betapa hebatnya ketika produk ataupun tempat- tempat bergaya di masa depan merupakan hasil dari karya anak-anak mereka. Dan tentu saja, betapa makmurnya mereka ketika jutaan orang menggunakan karya anak-anak mereka.

Harapan-harapan tersebut sayangnya jarang diikuti dengan bayangan mengenai akan seperti apakah pendidikan desain yang dijalani oleh anak-anak mereka? Pelajaran seperti apa yang akan didapatkan dan menjadi keahlian anak- anak mereka sebagai seorang desainer?

Kebanyakan orang tua yang memasukkan anak- anaknya ke kampus desain setidaknya mengetahui sesuatu yakni bahwa anak-anak mereka akan pintar menggambar. Atau lebih spesifik lagi, bila masuknya ke desain produk maka akan pintar menggambar benda, jika masuknya ke desain interior akan pintar menggambar ruang yang indah, jika masuknya ke desain komunikasi visual akan pintar menggambar poster atau pada kaos. Pragmatisnya pemahaman masyarakat terhadap desain yang seperti ini tidak bisa disalahkan. Namun jika kita pahami secara fenomenologi, maka citra adalah refleksi dari kondisi sebenarnya, sehingga cerminnya ialah metode atau formula yang membentuk citra. Maka untuk kasus ini, apakah citra pragmatisnya desain di masyarakat memanglah cerminan dari pragmatisnya pendidikan desain di Indonesia? Ataukah akibat kesalahan pada metode penyampaian (iklan, branding, dll.) sehingga citra pragmatis tersebut sesungguhnya distorsi dari pendidikan desain yang nyatanya esensial?

Tulisan ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai pengajar desain, praktisi desain (berprofesi, berkarya dan menyampaikan karya ke masyarakat), dan tentu saja pernah juga sebagai pelajar desain. Lima tahun pendidikan sarjana desain, dan 3 tahun pendidikan magister desain, mengajar desain sejak 8 tahun lalu, dan berdagang desain sejak 11 tahun lalu. Tulisan ini merupakan analisis reflektif terhadap ketiga sektor tersebut, yaitu pelajar, pengajar, dan realita lapangan dalam lingkup dan rentang waktu saya dalam menggeluti bidang desain.

Mari kembali pada topik pragmatika pendidikan desain. Pragmatis, adalah sebutan bagi suatu perbuatan ataupun pikiran yang dilakukan tanpa disertai pemahaman esensial dari perbuatan atau pikiran tersebut. Sehingga dalam konteks tulisan ini yaitu pendidikan desain, maka dapat dipahami sebagai belajar dan mengajar desain tanpa disertai pemahaman esensial terhadap desain itu sendiri.

Jika kita tarik secara mendalam, pengertian desain bisa kita lihat dari tiga tingkatan pemahaman. Pertama, secara permukaan. Desain didefinisikan sebatas pada apa yang terlihat saja. Sehingga pengertian desain pada tingkatan ini bisa diartikan sebagai ilmu menggambar, ilmu membuat, ilmu pertukangan, ilmu menghias, ilmu mengoperasikan alat, dan padanan pragmatis lainnya. Kedua, secara intelektual. Desain dapat diartikan sebagai ilmu dalam menerapkan metode analisa tertentu dalam menghasilkan sintesa (gagasan atau ide), ilmu merekayasa (pemikiran, gagasan, metode). Sederhananya pada tingkatan intelektual, desain diartikan sebagai olah cipta melalui rekayasa pemikiran (olah pikir) dan rekayasa metode atau proses. Pada tingkatan ini, pengertian desain sebagai ilmu menggagas bisa disematkan. Ketiga, pada pemahaman tingkat filosofis. Pengertian desain pada tingkatan ini diambil dari latar belakang sehingga ilmu ini muncul, dan tujuan dari ilmu tersebut. Pada tingkatan ini, desain terbebas dari pengkotak-kotakkan metode dan tampilan (desain interior, desain produk, arsitektur, desain grafis, desain fashion, UI UX, dll.). Pengertian desain ialah ilmu yang mencakup keseluruhan tingkatan diatas sebagai produk dari fitrah kreatifitas manusia. Artinya desain, berinduk pada kreatifitas. Tanpa

kreatifitas, sesuatu tidak dikatakan desain ataupun mendesain. Dengan demikian, secara tidak langsung, pemahaman seseorang terhadap desain bergantung juga pada sejauh mana pemahaman mereka tentang kreatifitas. Sebagai contoh, jika kreatifitas diartikan sebagai ‘beda’, maka penekanan desain ada pada ke-unikan. Jika kreatifitas diartikan sebagai solutif, maka penekanan desain ada pada tingkat inovasi. Jika kreatifitas dipahami sebagai ‘good will’, maka penekanan desainnya ada pada tujuan komprehensif mengenai kemanfaatannya.

Jika desain telah dipahami pada tingkat ketiga, maka pengertian desain akan berupa cakupan, bukan spesifikasi, akan berupa alur berputar berkesinambungan, bukan tahapan linear. Seperti diungkapkan oleh John Heskett tentang pengertian desain, “Design is to design a design, to produce a design.”

Sedemikian dalam tingkatan dalam ilmu desain maka sudah sepatutnya pelaksanaan pendidikan desain pun tidak bisa hanya sebatas permukaan belaka. Seseorang yang digelari desainer sepatutnya memenuhi ketiga tingkatan tersebut, artinya ia adalah pakar dalam mewujudkan desain, pakar dalam menggunakan metode dalam menggagas, dan berangkat dari mentalitas kreatifitas yang baik. Bahasa mudahnya mungkin seperti ini, mampu membuat, mampu menggagas, dan bermental kreatif. Dengan demikian, dalam melaksanakan pendidikan desain, setidaknya harus mengandung ketiga elemen berikut yakni, teknik mengkonstruksikan gagasan (how to), metode menghasilkan gagasan (what to), dan kreatifitas dalam melihat persoalan sebagai latar belakang filosofis (why). Memang terdengar berat, tapi bisa diatur dan disesuaikan tingkat kesulitan pada tiap elemennya tanpa mengabaikan salah satu dari ketiga elemen tersebut.

Penguasaan hanya terhadap tingkat pertama saja akan menjadikan mahasiswa mahir dalam membuat tapi lemah dalam menggagas. Ini menjadikan mahasiswa kelak hanya akan mampu mengoperasikan saja. Penguasaan hanya terhadap tingkatan kedua saja akan menjadikan mahasiswa mahir menggagas hal yang unik dan berbeda, namun tidak cukup bijak untuk memastikan nilai-nilai kebaikan dari gagasannya, keberlanjutan, dan cenderung egosentris. Penguasaan hanya pada tingkat ketiga saja akan menjadikan mahasiswa kritis terhadap banyak hal, namun lemah dalam mewujudkan pemikirannya kedalam karya, sehingga niat hanyalah niat, pemikiran hanyalah pemikiran, tanpa perwujudan dan manfaat yang sampai ke masyarakat. Dan sebaliknya, jika pengajaran desain menerapkan dua tingkatan saja, maka kelemahannya ada pada tingkatan yang ditinggalkan. Mengabaikan tingkatan pragmatic, menjadikan mahasiswa hanya bisa berhipotesa tanpa implementasi nyata sehingga kemanfaatan tidak sampai ke sasarannya. Mengabaikan      tingkatan          intelektual, menyebabkan desain yang justru membahayakan keselamatan. Dan mengabaikan tingkatan filosofis akan menjadikan desain yang dilandasi niatan jahat (evil design).

Melihat situasi negara kita yang sudah bervisi akan kemajuan dan kemandirian secara teknologi industri, digitalisasi, dan informasi maka kampus-kampus desain diharapkan tidak mempersiapkan dirinya hanya sebatas penyedia operator-operator sebagaimana terjadi ketika dunia sedang ada di era industri dimana sarjana- sarjana dihasilkan hanya untuk mampu mengoperasikan mesin-mesin yang diciptakan negara-negara maju. Kampus desain harus menghasilkan desainer-desainer yang orisinil, asli, cerdas, bijaksana, dan betul-betul ‘baik’. Berani menjadi trend setter bukan takut salah apabila tidak sesuai dengan tren. Semangat dan komitmen dalam berproses, bukan spesialis jalan pintas dan instan. Mendesain untuk alam semesta dan isinya, bukan sekedar ekspresi diri. Bukan seorang futuris, kontemporer, ataupun konservatif, melainkan menjadikan ketiganya semata-mata sebagai bahan pertimbangan untuk sebuah desain yang bijaksana.

Sebagai penutup, setidaknya, mulai benahi kurikulum pendidikan desain sehingga mengandung ketiga tingkatan tersebut agar para pengajar desain tidak mengeluhkan perbuatannya sendiri di masa depan.

 

Bayu Edward Maret, 2021