Oleh : Aris Darisman

Dalam menemukan hubungan antara budaya populer dan media massa, kita perlu mengamati perilaku massa dalam memanfaatkan media dan pengaruhnya dalam perkembangan budaya massa atau budaya populer. Burhan Bungin mengajukan konsep audiensi massa dimana khalayak memiliki sifat-sifat sebagaimana yang ada pada konsep massa, namun lebih spesifik teragregat pada suatu media massa. Sifat audiens massa meliputi:

  1. Terdiri dari jumlah yang besar. Pendengar radio, televisi, atau pembaca koran adalah massa dalam jumlah yang besar. Sulit memprediksi jumlah mereka. Contoh kasus, umpamanya sebuah harian mengklaim bahwa pembaca mereka adalah sebesar 300 ribu orang, hal ini disimpulkan dari jumlah langganan tetap koran tersebut. Jumlah ini bisa jadi lebih banyak karena selain pembaca berlangganan, ada juga pembaca bebas yang hanya membeli koran itu secara eceran. Atau bahkan satu koran berlangganan yang dibaca oleh seluruh anggota keluarga. Namun (sebaliknya) bisa jadi pelanggan koran itu tidak membaca sama sekali koran langganannya karena ia pergi ke luar kota. Pada media massa elektronik, kondisi prediksi ini semakin sulit dilakukan karena sifat pemberitaan media massa elektronik yang cepat dan sesaat.
  2. Suatu pemberitaan media massa dapat ditangkap oleh masyarakat dari berbagai tempat, sehingga sifat audiens masa juga tersebar dimana-mana, terpencar, dan tidak mengelompok pada wilayah tertentu. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa pendengar Radio Suara Surabaya hanya didengar oleh masyarakat Surabaya, karena siaran radio tersebut dapat ditangkap oleh siapa saja (yang terjangkau) melalui siaran gelombang radio ataupun internet.
  3. Pada mulanya audiens massa tidak interaktif, artinya antara media massa dan pendengar atau pemirsanya tidak saling berhubungan, namun saat ini konsep ini mulai ditinggalkan, karena audiens massa dan media massa dapat berinteraksi satu dengan lainnya melalui komunikasi telepon. Dengan demikian, maka audiensi massa memiliki pilihan berinteraksi atau tidak berinteraksi dengan media massa.
  4. Terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang sangat heterogen. Audiensi massa tidak dapat dikategorikan terdiri dari segmentasi tertentu, kalaupun ada seperti dalam acara-acara televisi dan radio maupun media cetak, maka heterogenitas dalam segmen tersebut tidak dapat dihindari (bersifat niscaya). Umpamanya, siaran radio dalam bahasa Madura. Maka tentu masyarakat Madura itu terdiri dari berbagai lapisan sosial dan golongan. Begitu juga acara pertandingan tinju di televisi dikatakan tersegmentasi pada penonton laki-laki, maka tentu penonton laki-laki memiliki unit-unit segmentasi yang beraneka ragam. Jadi, tetap saja audiensi massa memiliki sifat heterogen dan sulit dikelompokkan.
  5. Tidak terorganisir dan bergerak sendiri Karena sifatnya yang besar, maka audiensi massa sulit diorganisir dan akhirnya bergerak sendiri-sendiri. Kalau kemudian ada audiensi yang bergerak secara bersama-sama, maka gerakan mereka itu dikendalikan oleh sel-sel mereka masing-masing dan cepat bisa berubah sesuai dengan gerakan sel itu sendiri.

Budaya massa dianggap sebagai produk budaya yang mengabdi pada kepentingan pasar yang menjadi karakteristik masyarakat konsumtif. Tetapi disisi lain budaya massa bisa juga merupakan bentuk perlawanan atas hegemoni kelompok-kelompok yang mendominasi budaya global dengan peran media massa. Definisi budaya massa dan populer semakin kabur karena ternyata sangat bergantung konteks ruang dan waktu. Suatu produk atau praktik budaya yang pada kurun tertentu dianggap sebagai budaya tinggi, di masa berikutnya bisa dipahami sangat berbeda. Begitupun sebaliknya, seperti karya Skahespeare yang dahulu merupakan praktik budaya populer, kini merupakan representasi budaya tinggi.

Kajian budaya budaya populer menjadi menarik karena seperti dinyatakan Storey, bahwa budaya adalah suatu ranah tempat berlangsungnya pertarungan terus-menerus atas makna. Budaya populer adalah arena konsensus dan resistensi. Tempat dimana hegemoni muncul dan berlangsung, dengan media massa sebagai lembaga yang berperan untuk meng-konstruksi pemaknaan atas praktik-praktik budaya kontemporer.

Terakhir, kajian budaya populer membentang dalam keragaman paradigma, teori dan metode. Sulit untuk merumuskan definisi tunggal baik untuk budaya populer maupun budaya massa, mengingat keragaman teori dan metode yang digunakan tersebut.