Keberadaan furnitur menjadi elemen mendasar dan sekaligus menentukan aktivitas keseharian manusia. Furnitur adalah sarana untuk menjadi penyelesaian sempurna dari konsep, tujuan, atau rencana kegiatan dalam berkehidupan dalam ruang. Di balik desain arsitektur bangunan yang mempesona mata ada tujuan yang tersirat berupa aktifitas manusia yang diharapkan terjadi di dalamnya.

Untuk mewujudkan harapan ini diperlukan perencanaan dan desain (desain interior) yang tepat sehingga konsep aktivitas di ruang yang bersangkutan dapat diterjemahkan. Furniture adalah manifestasi dari terjemahan ini. Perabotan dirancang untuk membentuk suatu kegiatan agar sesuai dengan konsep ide (manusia). Dengan demikian, seluruh rangkaian desain mulai dari bangunan, ruang, dan furnitur yang tampil parsial, sebenarnya menampilkan kesatuan konsep dan tujuan utuh serta memberikan manfaat. Sebagai antiklimaks, jika furnitur tidak dirancang dan direncanakan (dirancang) maka konsep tersebut hanyalah konsep tanpa realisasi (wacana), tujuan dari gagasan aktivitas kehidupan tidak tercapai, tidak berdampak pada manfaat, dan bahkan risiko membahayakan manusianya.

Berdasarkan paparan tersebut, dapat dipahami betapa pentingnya peran furnitur sehingga dalam penanganan (desain) membutuhkan pihak-pihak dengan latar belakang keahlian dan keilmuan yang spesifik. Merancang produk furnitur tidak bisa hanya mengandalkan penilaian keindahan visual saja, tetapi pertimbangan multi aspek sebelum produk furnitur akhirnya mencapai konsumen sehingga produk tersebut memenuhi kriteria dasar yaitu antara lain nyaman, aman, sehat, cantik, berfungsi sesuai rencana, dan menambah nilai. Seorang perancang furnitur dituntut untuk dapat memenuhi kriteria ini dan melakukan semua proses yang diperlukan.

Dalam prakteknya pada pengkategorisasian kelompok massa konsumen, kegiatan memilih furnitur oleh konsumen seringkali dilakukan atas dasar pertimbangan ekonomi, penampilan, fungsi, dan kualitas. Dengan demikian, produsen furnitur bersaing untuk memenuhinya dengan berbagai upaya yang dapat mengkonsolidasikan kesemua kriteria ini dengan kapasitas kemampuan produksi yang ada. Artinya, desain furnitur pada tingkat ini membutuhkan proses pemikiran desain yang mumpuni agar menghasilkan furnitur yang layak dan menjawab.

Jika kita menghubungkan skema desain keseluruhan (arsitektur, interior, furnitur) yang dibahas sebelumnya, adalah tepat bahwa perencanaan furnitur tidak ditangani hanya demi pencapaian visual saja, sehingga fase pemilihan dan perencanaan furnitur ditempatkan di urutan terakhir dalam skema ini. Melakukan hal itu sama saja dengan merelakan pemikiran dan konsep yang telah dibangun hanya menjadi wacana dan secara tidak langsung menunjukkan sisi ketidakpedulian atau tidak keseriusan desainer dan atau arsitek terhadap pengguna. Apabila pada konteks konsumsi massal mendesain furnitur perlu mengkonsolidasikan kriteria yang rumit, maka apalagi untuk kelompok konsumen yang lebih personal (skala proyek), penanganan furnitur harus dilakukan dengan lebih serius! Perencanaan furnitur harus didiskusikan dan ditangani dengan melibatkan perancang furnitur dalam pelaksanaannya sejak awal.