Hidup Bersama Seni (an Ode to Vincent Van Gogh and Yudi Dananjaya)
*artikel ini terinspirasi oleh salah satu seniman dan pelukis favorit saya, Vincent Van Gogh dan khususnya didedikasikan teruntuk teman lama yang sudah terlebih dahulu meninggalkan saya, almarhum Yudi Dananjaya.
Hidup Bersama Seni (an Ode to Vincent Van Gogh and Yudi Dananjaya)
Oleh : Aris Darisman
*artikel ini terinspirasi oleh salah satu seniman dan pelukis favorit saya, Vincent Van Gogh dan khusunya didedikasikan teruntuk teman lama yang sudah terlebih dahulu meninggalkan saya, almarhum Yudi Dananjaya.
“I am so Happy in the house and in my Work, that I even dare to think that the happiness will not always be limited to one, but that you will have a share in it and good luck to go with it”.
Vincent Van Gogh, 18 September 1888
Di atas adalah salah satu penggalan yang paling saya sukai dari sekian banyak surat Vincent Van Gogh kepada adiknya yaitu Theo Van Gogh.
Dari penggalan di atas menggambarkan bagaimana sang seniman begitu terikat dan terlibat secara fisik dan emosional dengan lingkunan dalam hal ini rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai studionya dengan aktifitas berekspresi segala apa yang dirasakannnya melalui karya lukisnya.
Dapat dikatakan tidak ada yang tidak mengenal siapa itu Vincent Van Gogh, baik masyarakat “awam” seni khususnya mereka yang terkait dengan bidang kesenian dan desain.
Pada artikel kali ini akan dibahas tentang bagaimana seni dan karyanya menjadi bagian dari kehidupan kita, bahwa kita sebagai makhluk yang berbudaya memiliki akal dan pikiran dan cita rasa tidak dapat melepaskan diri dari seni dan karyanya. Bahwa seni tidak hanya milik seniman maupun mereka yang terlibat berkelindan erat dengan dunianya.
Mengambil Van Gogh sebagai referensi adalah berdasarkan pilihan pribadi, tidak menjadikan bahwa hanya Van Gogh yang begitu terlibat dengan seni dalam kehidupan kesehariannya. Bahkan semua seniman adalah pribadi yang melibatkan diri secara intim (tubuh dan emosinya) dengan kesenian.
Baik, sebelumnya silakan putar lagu Pray Your God dari album terbaik Band Toad the Wet Sprocket,
Sekilas Pemahaman Sederhana Saya tentang Seorang Vincent Van Gogh (1853-1890)
Vincent van Gogh (1853–1890) , Self-Portrait with Bandaged Ear (1889), The Courtauld, London (Samuel Courtauld Trust) © The
Courtauld |
Adalah seorang yang dikenal memiliki gangguan psikologis bahkan selalu gagal dalam pilihan yang diambil dalam kehidupannya, bahkan karyanya tidak diakui untuk masuk pada era ketika dia hidup dan berkarya, sehingga menjadi ironis ketika karyanya begitu terkenal dan terjual dengan angka yang sangat fantastis di sejumlah badan lelang galeri dan museum terbesar di dunia justru setelah kepergiannya.
Namun Van Gogh bagi saya adalah seorang jenius dan berhasil dalam menerjemahkan kesedihannya yang begitu menyiksa dan mengganggunya ke dalam karya seni yang luar biasa. Seorang yang mendokumentasikan dengan fasih tentang seni dan kehidupan, memiliki disipline dan komitmen yang sangat tinggi dalam menciptakan karya.
Vincent lahir di sebuah kota kecil di Groot-Zundert, Belanda. Anak dari seorang pendeta Protestan. Berbagai peran telah dia jalani selama masa awal kehidupannya, termasuk pernah menjadi mahasiswa theology dan menjadi pengkotbah bagi para penambang di daerah tempat ia tinggal.
Sampai pada usia 27 tahun dia memiliki minat yang cukup tinggi di bidang seni. Pada tahun 1886 ia memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya dan tinggal di Paris Bersama adiknya, Theo. Theo adalah seorang pedagang benda seni dan menjadi orang yang memilki ikatan secara emosional yang cukup dalam dengan Vincent. Sebagaimana yang kita ketahui, Paris telah menjadi epicentrum perkembangan dunia seni modern khusunya, agaknya hal inilah yang menjadi pertimbangan Vincent untuk memperdalam ketertarikannya akan dunia seni langsung di titik pusaran perkembangannya. Di Paris, Vincent semakin menyadari tentang pergerakan seni modern (baru) dan menyerap berbagai aspeknya ke dalam penggayaan karya seninya (post-impresionism/expressionism) khususnya dalam hal pemanfaatan cahaya dan warna-warna yang brilian dalam paletnya, dicurahkan dalam lukisan dengan kedalaman ekspresi yang luar biasa.
Ketertarikan Vincent terhadap seni khususnya sebagai media self- expression membawanya untuk pindah dua tahun kemudian ke sebuah kota kecil Arles, sebelah selalan Perancis, dia mendengar bahwa di kota tersebut ada seorang seniman bernama Paul Gauguin, yang telah lebih dahulu terkenal. Vincent sangat tertarik dengan gaya lukis Gauguin ini
dan berkeinginan untuk belajar,serta memperdalam gaya seninya, sekaligus untuk bekerjasama dengan Gauguin.
Namun agaknya pertemuan keduanya tidak berlangsung harmonis, yang terjadi adalah seringkali keduanya terlibat dalam pertengkaran bahkan pada sebuah petengkaran yang cukup sengit Van Gogh memotong sebagian dari telinganya untuk diberikan kepada teman wanitanya. Kejadian ini menggambarkan pribadi Van Gogh yang begitu labil dan terganggu secara emosional, hingga hal-hal tertentu dapat memancingnya untuk melakukan tindakan di luar batas.
Segera setelah Van Gogh menyadari bahwa ketidakstabilan emosinya semakin diluar kendalinya dia memutuskan secara sukarela untuk masuk ke sebuah asylum. Selama di asylum Van Gogh justru seakan semakin menemukan dunianya, di sana Van Gogh menjadi semakin produktif dalam berkarya. Agaknya faktor lingkungan dimana didominasi oleh suasana depresi dan menggangu justu menjadi sebuah ladang inspirasi bagi dorongan kreatifnya.
Sebagain besar karya terbaiknya lahir semasa Van Gogh berada di asylum tersebut. Vincent (ini adalah nama yang dia cantumkan pada setiap karyanya) mendapat banyak dorongan simpati untuk terus berkarya dari adiknya dan juga dari dokter yang menangani masalah kejiwaannya, Dr. Gachet. Sebagai bentuk penghormatan Vincent terhadap kedua orang tersebut dia curahkan dalam beberapa karya self portrait.
Self Portrait of Theo Van Gogh, (1853 – 1890), Paris, Summer 1887, oil on cardboard, 19.0 cm x 14.1 cm, Van Gogh Museum, Amsterdam (Vincent van Gogh Foundation) |
Self Portrait of Dr. Gachet, Courtesy of www.VincentVanGogh.org |
Hidup Berdampingan dengan Seni
Pada akhir musim panas tahun 1888,Van Gogh menyewa sebuah rumah kecil berwarna kuning di pojok jalan Kota Arles (selatan Perancis). Uniknya bahkan sebelum ia menyewa dan tinggal di rumah tersebut, Van Gogh telah menggambarkannya dalam sebuah sketsa, dan pada bulan September sketsa tersebut dijadikan sebuah lukisan yang tercatat sebagai salah satu lukisan Van Gogh yang dianggap penting, diberi judul Vincent’s House at Arles.
Vincent’s House at Arles, September 1888, oil on canvas, 72 cm x 91.5 cm Credits (obliged to state): Van Gogh Museum, Amsterdam (Vincent
van Gogh Foundation) |
Mungkin sama seperti orang lain, Van Gogh hidup berdampingan dengan seni, dia menghabiskan sebagian besar masa dewasanya untuk melukis gambar-gambar tentang hidupnya,-dirinya sendiri, teman-temannya, pemandangan sekitar yang dia huni, kamarnya, rumahnya, kursinya yang istimewa. Bagi Van Gogh, hidup dan seni adalah sama.
Memang hanya sedikit dari kita yang mendedikasikan diri kapada (dunia) seni seperti yang dilakukan oleh Van Gogh, karena hal ini tentu saja membutuhkan komitmen bahkan pengorbanan yang sangat tinggi. Tentu saja tidak semua dari kita bersedia dan mampu untuk melakukannya.Namun hal ini tidak semerta-merta menjadikan kita tidak terlibat dalam dunia seni.
Namun jika pertanyaannya adalah siapa saja yang Hidup Bersama Seni? Tentu saja kita semua jawabannya.
Menjadi hal yang tidak masuk akal ketika kita tidak hidup bersama seni. Karena seni tidak terpisahkan dan terkoneksi dengan eksistensi kita sebagai manuisa. Seni berhubungan dengan kita bahkan ketika awal ditemukannya lukisan di gua sebagai langkah tentatif pertama manusia menuju peradaban, dan akan tetap bersama kita selama peradaban berlangsung.
Secara tidak disadari kita mungkin memiliki begitu banyak unsur seni dalam kehidupan kita. Sebagai contoh jika kita tinggal di sebuah kota seorang seniman atau desiner telah begitu banyak menciptakan dan menyediakan sejumlah karya seni di sekitar kita. Bangunan di sekitar kita, furniture di dalam bangunan tersebut, kendaraan yang kita gunakan, bahkan sampai pada pakaian dan aksesoris yang kita pakai semuanya dirancang dan diciptakan demi kenyamanan dan kepede-an kita oleh sejumlah seniman dan atau desainer khusus.
Ketika kita berada di dalam rumah, dinding rumah/kamar kita dihiasi oleh karya poster, photo, atau bahkan lukisan, yang sengaja kita pajang karena memiliki makna tersendiri bagi kita.
Mungkin di lingkungan sekolah maupun di kantor kita terdapat sebuah karya patung, atau karya mural. Seseorang memiliki minat dalam mengkoleksi barbagai benda antik.
Seni Sebagai Pilihan
Disadari atau tidak kita semua membuat sebuah pilihan setiap hari bahkan setiap menit sebagai bentuk penghormatan kita terhadap seni. Kita memilih satu produk dari sekian banyak pilihan, memilih satu pakaian untuk dibeli dari sekian banyak tawaran, sampai pada memilih sebuah jalan dari satu tempat ke tempat lainnya, memutuskan hal-hal terkait pertimbangan daya tarik visual dari sekian banyak pilihan. Kita memilih untuk mempelajari dan menikmati bahkan untuk mengabaikan karya seni tertentu. Kita memilih untuk bertemu dan berinteraksi dengan karya seni di sebuah galeri atau museum. Beberapa orang memilih untuk mengabdikan seluruh hidup mereka untuk mengejar seni, sehingga memperoleh sebutan/predikat “artist/seniman”.
Setinggi atau serendah apapun tingkat keterlibatan kita terhadap seni, harus diingat bahwa itu semua adalah sebuah pilihan yang kita ambil. Kita dapat melalui kehidupan kita layaknya seorang sleepwalkers, mengabaikan atau menerima begitu saja kehadiran karya seni di sekitar kehidupan kita. Atau kita dapat memilih untuk memperkaya kehidupan kita dengan meng-apresiasi seni dalam hidup kita.
Semua ini adalah tentang bagaimana kita menghargai seni, yang merupakan kombinasi antara memahami dan menikmati seni dan karyanya. Sangat dimungkinkan bagi kita untuk meningkatkan penghargaan kita terhadap seni, untuk sekedar mengambil jeda menyadari, melihat dan mempelajari seni sebagai bagian dari dunia visual kita.
Walaupun ketika kita melakukannya, kita hanya mengikuti dorongan estetika dasar – dorongan – untuk menanggapi apa yang kita anggap indah. Namun setidaknya kita telah mengambil pilihan untuk berpihak dan menerima secara ikhlas kehadiran seni dalam kehidupan kita.
Terima kasih Yudi Dananjaya atas masa-masa ketika kita masih bisa bertemu dan diskusi di sekitaran Kalibata dan juga atas referensinya, mohon maaf setelah sekian tahun saya baru bisa memenuhi janji untuk mencatatnya dalam sebuah tulisan.
Mohon maaf dimasa menjelang akhir kehidupanmu kita justru menjadi Van Gogh dan Gauguin.
Semoga kamu tenang dan memaafkan saya di sana apapun keyakinan dan tuhan yang kamu pilih.
Bandung, November 2021.
Comments :