Sketsa Rupa Penghancur Demokrasi

Meitty Josephin Balontia, M.Han

Pendahuluan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam website resminya telah memberikan informasi mengenai tahap dan jadwal penyelenggaraan pemilu tahun 2024. Jika tidak meleset, masa kampanye pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden akan dimulai pada 28 November 2023 – 10 Februari 2024, diikuti oleh masa tenang, hingga tiba pada hari pemungutan suara yakni, 14-15 Februari 2024 (KPU, 2022).

Meskipun pemilu baru akan dilaksanakan pada 2024, namun berbagai langkah yang berkaitan dengan pesta demokrasi tersebut telah dilakukan jauh-jauh hari. Seperti Nasdem yang telah mengumumkan Calon Presiden yang akan diusung partainya pada 3 Oktober 2022 lalu. Tidak hanya itu, partai politik pun mulai sibuk mencari koalisi sebagai upaya untuk memperbesar potensi kemenangan dalam pemilu 2024. Hawa pemilu belum berupa gejolak, nuansa pemilu 2024 sudah terasa seperti angin sepoi. Presiden Joko Widodo pun dengan lugas mengingatkan  masyarakat Indonesia untuk menghindari adu domba dan perpecahan menjelang pemilu (CNN, 2022). Tentu, peringatan yang disampaikan oleh Jokowi tidak berlebihan mengingat dalam masa kampanye, isu-isu yang rentan menyebabkan konflik seringkali muncul ke permukaan. Isu yang sekiranya masih ‘laku di pasaran’ mempunyai pola yang itu-itu saja. Mulai dari isu agama hingga ras ataupun kesukuan.

Penggunaan isu agama maupun kesukuan dalam masa kampanye jika tidak ditanggapi dengan baik akan menghasilkan perpecahan. Kekalahan seorang calon akan dipandang sebagai kekalahan suatu kelompok. Begitupun sebaliknya, kemenangan seorang calon akan dipandang sebagai kemenangan dari kelompok tertentu. Logika semacam ini justru merusak demokrasi bangsa kita. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa awal kehancuran demokrasi dapat saja dimulai dari kotak suara. Lantas pertanyaan selanjutnya, apakah penggunaan isu berbasis agama dan kesukuan dalam kampanye adalah satu-satunya rupa penghancur demokrasi? Tulisan ini akan memberikan sketsa atau gambaran umum mengenai apa saja rupa penghancur demokrasi dewasa ini. Bahwa sesungguhnya, kehancuran demokrasi seringkali justru berawal dari apa yang kita sebut dengan pesta demokrasi.

Rupa Penghancur Demokrasi: Dulu dan Kini

Platon (ejaan bahasa Indonesia dari Plato) merupakan filsuf Yunani yang sejak awal tidak memandang konsep ini sebagai jalan keluar ideal dalam bernegara. Demokrasi seringkali menghasilkan keputusan hanya berdasarkan suara terbanyak. Padahal, suara terbanyak belum tentu mengandung kebenaran objektif. Namun, dewasa ini, konsep negara demokrasi sebenarnya adalah konsep yang sejak hegemoni barat berlangsung telah menjadi konsep yang banyak dipakai berbagai negara. Indonesia misalnya, yang ikut serta mengadopsi konsep demokrasi dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

Tentu sebagai cara bernegara, demokrasi mendapatkan tantangannya. Tantangan ini jika tidak diantisipasi dengan baik akan berakhir pada kehancuran demokrasi. Dulu, demokrasi dapat dihancurkan dengan bantuan kekuatan militer. Misalnya, apa yang terjadi di Indonesia pada zaman Orde Baru. Meskipun mendaku diri sebagai negara demokrasi, toh pada masa Orde Baru, pemilihan umum tidak benar-benar dilaksanakan untuk memilih pemimpin baru. Masa jabatan Soeharto yang lama yakni, sejak 1968 hingga 1998 merupakan bukti nyata bahwa pada masa itu, Indonesia justru berada dalam masa pemerintahan tirani yang bertopeng demokrasi. Dari demokrasi menjadi negara yang dipimpin oleh orang yang sama selama berpuluh tahun, tentu ini menjadi tanda tanya besar. Apa yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi? Jawabannya adalah bahwa selama masa pemerintahan Orde Baru, angkatan bersenjata atau militer dipakai sebagai alat untuk mempertahankan kuasa. Adanya dwifungsi ABRI yang memungkinkan anggota militer menjabat posisi penting pemerintahan seperti gubernur, walikota, dan lain sebagainya jelas menegaskan kedudukan militer sebagai alat politik penguasa waktu itu. Penggunaan militer untuk kepentingan politik merupakan salah satu rupa penghancur demokrasi di zaman lampau. Namun, di dunia saat ini, rupa penghancur demokrasi tidak lagi mengambil bentuk penggunaan militer sebagai alat politik, tetapi justru hadir dalam bentuk sosok pemimpin yang dipilih. Dengan kata lain, penghancur demokrasi adalah pemimpin hasil pilihan rakyat sendiri. Kita dapat melihatnya dalam kasus Venezuela pada masa Hugo Chavez memimpin.

Hugo Chavez merupakan pemimpin dengan pandangan sosialis yang dipilih oleh rakyat Venezuela lewat Pemilihan Umum. Perlu dipahami bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan demokrasi. Chavez hadir sebagai pemimpin yang sangat pro rakyat dan dicintai oleh rakyatnya. Akan tetapi, kepemimpinan demokratisnya, perlahan lebih mendekati kepemimpinan otoriter ketimbang demokratis. Misalnya, dengan menangkap pemilik stasiun TV pro oposisi Guillermo Zuloaga. Perlu dipahami bahwa demokrasi menjadi subur justru karena adanya oposisi. Dengan membungkam oposisi maka tidak akan ada yang namanya kritik terhadap pemerintah. Tanpa kritik terhadap pemerintah, maka negara justru mengalami krisis demokratis dimana pemerintah seolah “tidak tersentuh” dan segala yang diputuskan dianggap sebagai “yang paling tepat” bagi negara. Hal tersebut rentan melahirkan pemimpin yang diktator.

Lantas, bagaimana cara kita untuk menjaga bangsa dari hancurnya demokrasi? Salah satu caranya adalah dengan secara hati-hati memilih pemimpin yang terbuka terhadap kritik serta yang dapat berkomitmen penuh menjaga unsur-unsur demokrasi tetap ada, antara lain, dengan menjaga kebebasan pers, serta, kebebasan berpendapat bagi oposisi dan rakyatnya. Selain itu, seorang pemimpin harus lah pemimpin yang taat terhadap konstitusi dan mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan lainnya.

Bibliography

CNN. (2022, November 29). Jokowi Wanti-wanti Jangan Ada yang Adu Domba Jelang Pemilu. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221129093845-32-880179/jokowi-wanti-wanti-jangan-ada-yang-adu-domba-jelang-pemilu

KPU. (2022). Informasi Seputar Pemilihan Umum 2024. Retrieved from Portal Publikasi Pemilu dan Pemilihan: https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Peserta_pemilu

 

 

BINUS @Bandung