Membiasakan Merancang Proses Sebelum Merancang Objek
Oleh: Bayu R. W. Edward S.Ds., M.Ds.
Interior Design School Of Design Binus University
Gambar Proses Desain. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/334744184814429751/visual-search/?x=10&y=10&w=544&h=355&cropSource=6&imageSignature=f59bd43a9626610222265cce2ebe307f)
Ketika berkunjung ke pameran desain produk yang sering kita temui di kampus-kampus, kita seringkali dibuat terhibur dan terkesima oleh betapa kayanya gagasan cemerlang yang dihasilkan pemuda-pemudi Indonesia di usia yang relative muda. Kita bahkan mendadak menduga-duga bayangan masa depan dimana para pemuda-pamudi ini akan berkiprah di dalamnya. Apa yang terlihat pada setiap karya yang dipamerkan tersebut? Kita hanya bisa berucap, ‘gila’, ‘keren’, ‘lucu’, dan ekspresi ketakjuban lainnya.
Tapi penulis ingin mengajak pembaca untuk lebih jauh menikmati suatu pameran karya inovasi desain produk ini tidak berhenti pada ketakjuban inovasi saja, tetapi menyelam lebih dalam ke membayangkan dimensi proses di balik terciptanya karya-karya tersebut. Bukan ke proses yang bersiftat materil, melainkan ke dimensi proses yang kita sebut pemikiran. Dibalik setiap karya yang terwujud, justifikasi kita pasti akan terlebih dahulu secara mudah membacanya pada level cara kerja (fungsi), kegunaan (utility), dan interpretasi (visual). Seperti misalnya melihat cara kerja mekanisme sederhana yang diimplementasikan untuk jenis pekerjaan yang relative berat, atau juga produk yang memiliki kegunaan untuk suatu aktifitas yang selama ini luput dari keseharian tapi ternyata dengan produk tersebut kegunaan tersebut menjadi da dan penting atau bahkan tidak penting, atau juga bagaimana tampilan visual suatu produk memunculkan suatu interpretasi baru dan cenderung bermain, menyindir, dan kritis. Jika kita gali lebih dalam, tentu saja semua ketakjuban tersebut akan memunculkan satu pertanyaan lumrah yakni, “kok bisa ya?” Atau, “Kok kepikiran ya?” Betul, pemikiran. Inilah sebetulnya yang menjadi mesin khusus yang ditanamkan di dalam kepala bahkan hati para pelajar desain. Mereka diajarkan bagaimana cara berfikir. Artinya, bisa dikatakan, belajar desain sama dengan membentuk pola pikir? Pola pikir seperti apa? Dan apakah hanya pola pikir saja dibalik semua produk-produk cemerlang tersebut? Ternyata, kunci keterwujudan gagasan cemerlang tersebut tidak berhenti pada pola pikir. Pelajar-pelajar desain tidak boleh hanya berhenti di pemikiran, tetapi tanggung jawab lebih lanjutnya ialah bagaimana memanifestasikan pola pikir atau pemikiran tersebut menjadi wujud sehingga betul-betul bisa menjangkau audience (baca: pengguna).
Untuk itulah, setelah pemikiran didapat, para pelajar desain harus dibekali juga kemampuan dalam merancang proses mewujudkan gagas. Tahapan ini harus dilakukan di awal setelah mendapatkan pemikiran (konsep gagas) dan sebelum memulai tahap konstruksi gagas (penggambaran, studi, dan lainnya). Isi dari belajar merancang proses adalah menanamkan komitmen dan tanggung jawab pada para pelajar desain sehingga sadar untuk senantiasa menjaga kesadaran dari dimabuk gagasan liar kreatifitas yang tidak bertanggung jawab yang seringkali malah membelokkan dan mengkontaminasi gagasan sehingga hilang tujuan kemanfaatannya.
Mudahnya, mengajak pelajar desain untuk membuat rancangan proses adalah dengan membuat mereka menghitung dan memperkirakan rentang waktu yang tersedia untuk menyelesaikan proyek desainnya. Namun terlebih dari itu, pelajar desain akan segera juga menakar jenis metode yang akan mereka gunakan. Menakar efektifitas, dan efisiensi metode yang mereka gunakan, dan memproyeksi tingkat keberhasilan metode tersebut.
Selain bermanfaat untuk pembelajaran desain dari segi mentalitas dan etika, merancang proses juga pada faktanya merupakan hal yang selalu dilakukan di firma-firma desain professional sebagai tolak ukur pembuatan SOP (standar operasional prosedur). Hal ini merupakan salah satu poin dan perangkat sebagai bukti pelaksanaan desain yang bertanggung jawab.
Bayu Edward
Oktober, 2022
Comments :