Source:https://cerdasberkarakter.kemendikdasmen.go.id/menanamkan-etika-dan-kebiasaan-sehat-dalam-penggunaan-media-sosial/

Era digital membawa banyak peluang bagi anak dan remaja untuk belajar, berkreasi, dan terhubung dengan dunia. Internet memungkinkan mereka mengakses informasi tanpa batas, berkomunikasi lintas negara, serta membangun identitas diri dalam ruang virtual. Namun, di balik peluang tersebut, ada pula tantangan besar yang tidak bisa diabaikan: cyberbullying, jejak digital yang permanen, masalah privasi, hingga kurangnya kesadaran akan etika bermedia. Jika tantangan ini tidak ditangani, anak dan remaja berisiko menjadi korban maupun pelaku dari perilaku digital yang berbahaya. Oleh sebab itu, penting untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan agar mampu menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Artikel ini akan membahas empat aspek penting: bahaya cyberbullying, pemahaman tentang jejak digital, perlindungan privasi, serta cara mendidik anak menjadi warga digital yang etis dan aman.

Kemudian, cyberbullying adalah bentuk perundungan yang terjadi melalui media digital seperti media sosial, aplikasi pesan, forum daring, atau platform game online. Tidak seperti perundungan konvensional yang terbatas ruang dan waktu, cyberbullying bisa berlangsung 24 jam sehari, menyebar dengan cepat, dan sulit dihapus. Anak atau remaja yang menjadi korban sering merasa tertekan, cemas, bahkan kehilangan rasa percaya diri karena serangan komentar, pesan kebencian, atau penyebaran konten memalukan. Kasus cyberbullying sering kali bermula dari hal sepele, misalnya ejekan terhadap foto yang diunggah, komentar tentang penampilan, atau perbedaan pendapat di ruang digital. Namun, dampaknya bisa serius, mulai dari penurunan prestasi belajar hingga gangguan kesehatan mental. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Orang tua dan guru perlu waspada terhadap tanda-tanda anak yang mungkin menjadi korban, seperti perubahan sikap mendadak, menarik diri dari pergaulan, atau takut menggunakan perangkat digital. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan tentang empati, mengajarkan etika berkomunikasi di dunia maya, serta menyediakan ruang aman bagi anak untuk melaporkan pengalaman negatifnya.

Lalu, jejak digital merujuk pada semua data yang ditinggalkan pengguna saat beraktivitas online, baik disengaja maupun tidak. Setiap unggahan foto, komentar, riwayat pencarian, hingga lokasi yang dibagikan akan membentuk rekam jejak yang sulit dihapus. Anak dan remaja sering kali tidak menyadari bahwa jejak digital mereka dapat diakses oleh orang lain, termasuk pihak yang tidak mereka kenal. Bahaya muncul ketika jejak digital digunakan untuk tujuan negatif, misalnya pencemaran nama baik, penipuan identitas, atau bahkan pemerasan. Selain itu, banyak perguruan tinggi maupun perusahaan kini memeriksa rekam jejak digital calon mahasiswa atau karyawan. Konten negatif di masa remaja bisa berdampak buruk pada masa depan mereka. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan prinsip “berpikir sebelum berbagi”. Mereka harus memahami bahwa sekali sesuatu dipublikasikan di internet, kendali atas informasi itu tidak lagi sepenuhnya milik mereka. Guru bisa memberikan simulasi nyata, misalnya menunjukkan bagaimana foto yang pernah diunggah tetap bisa ditemukan meski sudah dihapus. Dengan kesadaran ini, anak akan lebih berhati-hati dalam memilih kata, gambar, atau video yang akan dipublikasikan.

Lebih jauh lagi, privasi adalah hak setiap individu untuk menjaga data pribadi agar tidak disalahgunakan. Sayangnya, anak dan remaja sering kali mengabaikan aspek ini. Mereka cenderung membagikan informasi pribadi secara terbuka, seperti alamat rumah, nomor telepon, atau aktivitas sehari-hari di media sosial. Hal ini bisa membuka peluang kejahatan, mulai dari penipuan, peretasan akun, hingga pelecehan. Selain itu, banyak aplikasi dan platform digital yang secara otomatis mengumpulkan data pengguna untuk kepentingan iklan atau analisis. Tanpa pemahaman yang baik, anak bisa memberikan izin akses pada aplikasi tanpa menyadari konsekuensinya. Perlindungan privasi dapat dimulai dari langkah sederhana, seperti menggunakan kata sandi yang kuat, mengaktifkan verifikasi dua langkah, serta membatasi pengaturan privasi di media sosial agar hanya teman dekat yang bisa melihat unggahan. Orang tua dan guru juga perlu mengajarkan anak untuk berhati-hati saat menerima permintaan pertemanan dari orang asing atau saat diminta membagikan informasi sensitif.

Selain aspek keamanan, etika dalam bermedia digital juga sangat penting. Anak dan remaja harus menyadari bahwa dunia maya adalah perpanjangan dari dunia nyata, sehingga aturan sopan santun tetap berlaku. Menghargai pendapat orang lain, tidak menyebarkan ujaran kebencian, serta menghormati hak cipta adalah bagian dari etika bermedia. Etika digital juga mencakup kemampuan memilah informasi. Di era banjir informasi, anak sering terpapar berita palsu atau hoaks. Tanpa keterampilan literasi digital, mereka bisa dengan mudah mempercayai dan menyebarkan informasi salah. Guru dapat mengajarkan keterampilan fact-checking, misalnya dengan membandingkan informasi dari beberapa sumber atau menggunakan situs pemeriksa fakta. Dengan etika yang baik, anak dan remaja dapat tumbuh menjadi warga digital yang tidak hanya aman bagi dirinya sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Mereka dapat menggunakan teknologi untuk berkolaborasi, belajar, dan menciptakan inovasi.

      Anak dan remaja tidak bisa dibiarkan sendirian menghadapi kompleksitas dunia digital. Mereka membutuhkan pendampingan dari orang tua dan guru. Orang tua dapat berperan dengan cara membuka komunikasi yang hangat sehingga anak merasa aman bercerita tentang pengalaman online, menjadi teladan dengan menunjukkan perilaku digital yang bijak, dan membuat kesepakatan penggunaan gawai, misalnya batasan waktu atau aplikasi yang boleh diakses. Sementara itu, guru dapat mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum, memberikan proyek pembelajaran yang melibatkan teknologi secara positif, mdan embekali siswa dengan keterampilan kritis dalam menilai informasi. Dengan kolaborasi yang baik, anak akan lebih siap menghadapi tantangan dunia digital.

Ke depan, teknologi akan semakin maju, mulai dari kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), hingga metaverse. Anak dan remaja masa kini adalah generasi yang akan hidup di tengah ekosistem digital tersebut. Oleh karena itu, pendidikan tentang etika dan keamanan digital bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendasar. Jika anak terbiasa menjaga etika online, melindungi privasi, serta memahami risiko cyberbullying sejak dini, mereka akan tumbuh menjadi individu yang lebih kuat, tangguh, dan bijaksana dalam menghadapi dunia digital yang serba cepat.

Dunia digital memberi peluang besar sekaligus tantangan serius bagi anak dan remaja. Cyberbullying, jejak digital yang permanen, risiko privasi, serta kurangnya kesadaran etika adalah masalah nyata yang harus diantisipasi. Solusinya bukan dengan melarang anak menggunakan teknologi, tetapi dengan membekali mereka keterampilan dan kesadaran untuk menjadi warga digital yang aman, cerdas, dan bertanggung jawab. Peran orang tua dan guru sangat vital dalam mendampingi, mengarahkan, sekaligus menjadi teladan. Dengan begitu, anak tidak hanya terlindungi dari risiko digital, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi untuk berkembang, belajar, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.