Konsep Plato tentang Mendidik Pemimpin
Meitty Josephin Balontia
Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Namun perlu disadari bahwa menjadi seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan keahlian praktis tetapi lebih daripada itu, memiliki karakteristik yang sesuai. Tentu seorang pemimpin tidak hanya lahir dari keinginan untuk memimpin serta pengalaman, tetapi juga lahir dari proses pembelajaran yang panjang. Plato, seorang filsuf Yunani Kuno yang lahir sekitar 429 SM, menawarkan suatu gagasan ketat mengenai proses pendidikan calon pemimpin dalam karyanya yang berjudul Politieia. Tawaran yang dimaksud dalam karyanya ini merujuk pada proses pendidikan calon pemimpin negara yang harus sampai pada pembentukan karakter elok dan baik (kaloskagathos).
Meskipun karya Politeia ditulis oleh Plato pada 2500 tahun lalu, namun pemikiran yang disampaikannya masih sangat relevan hingga saat ini. Wajah perpolitikan Indonesia yang seringkali lebih menampilkan sisi kepentingan pribadi ataupun kelompok para pemimpin negara mengajak kita untuk memikirkan kembali seperti apa kualitas pemimpin yang ideal. Relevansi lainnya adalah kesamaan kondisi yang dihadapi Plato saat menulis karya ini, dengan kondisi kita saat ini. Politeia adalah karya yang ditulis sebagai hasil pergumulan Plato terhadap sistem demokrasi Yunani Kuno yang perlahan membusuk. Salah satu puncak peristiwa kegagalan demokrasi Yunani Kuno adalah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Sokrates, seorang filsuf kenamaan yang adalah juga guru dari Plato. Perlu kita sadari bahwa dewasa ini, sistem demokrasi negara kita pun memiliki resiko pembusukan. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan beberapa oknum yang merupakan bagian dari para pemimpin negara (wakil rakyat) ataupun instansi-instansi pemerintahan. Salah satu contohnya adalah korupsi bansos yang dilakukan oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara. Relevansi di atas kemudian membuat kita bisa belajar melalui karya Plato ini.
Dalam politeia dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki satu karakteristik yang disebut kaloskagathos yakni, elok dan baik. Agar sampai pada karakteristik pemimpin seperti ini, maka langkah yang harus dilakukan adalah melalui pendidikan calon pemimpin. Seorang siswa haruslah dididik melalui proses pengajaran yang tepat. Proses belajar mengajar bukanlah soal seberapa mampu seorang anak menghapalkan berbagai materi yang disampaikan. Pun bukan soal kurikulum yang menghadirkan jumlah mata pelajaran yang banyak, sehingga alih-alih merasa senang belajar, para siswa justru merasa terbebani. Sekolah akhirnya bukan lagi menjadi tempat belajar menyenangkan melainkan beban yang harus dipikul oleh setiap siswa. Metode ini tidak pas. Dalam bukunya Augustinus Setyo Wibowo, Mendidik Pemimpin dan Negarawan, penulis mengibaratkan gambaran pendidikan Indonesia sebagai berikut:”anak diperlakukan layaknya hard disk kosong yang buru-buru diisi oleh berbagai fitur program (hlm.258). Tentu proses pembelajaran seperti ini tidak akan bisa membentuk sosok generasi bangsa yang bebas dan kreatif. Lantas bagaimana pendidikan yang ideal untuk para calon pemimpin? Berikut ini kita bisa melihat hal-hal yang penting dalam proses pembelajaran calon pemimpin menurut Plato.
Pertama, pendidikan calon pemimpin akan berhasil jika memang para siswa tersebut memiliki bakat dalam memimpin. Memiliki bakat merujuk pada ada atau tidaknya kualitas dalam diri seseorang sehingga hal tersebut tidaklah dapat dipaksakan. Selanjutnya, bakat yang dimiliki seseorang tidak cukup menjadikan orang tersebut sebagai pemimpin. Diperlukan bekal berupa kurikulum yang tepat agar bisa menjadi pemimpin yang kaloskagathos. Dalam politeia, proses pendidikan untuk menciptakan pemimpin kaloskagathos harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari musik dan gimnastik hingga terakhir pendidikan nalar melalui matematika dan filsafat. Dari tahap pendidikan tersebut kita bisa melihat bahwa pendidikan tidak hanya persoalan mengisi ilmu tertentu pada kepala anak tetapi juga pembentukan kepekaan pada peserta didik. Pembentukan kepekaan dilakukan melalui pendidikan music dan gimnastik. Selanjutnya, selama tahap pendidikan di atas, para calon pemimpin negara selalu diarahkan kepada Yang Baik. Artinya, para calon pemimpin negara sudah diarahkan kepada cita-cita yang baik dan luhur. Di dalam Yang Baik tentu tidak ada nilai keburukan seperti korupsi.
Dari penjabaran di atas, kita bisa melihat bahwa mendidik calon pemimpin bukan hanya persoalan memberikan mereka pengetahuan-pengetahuan teknis dan praktis, tetapi juga membentuk jiwa atau karakter. Proses pembentukan karakter harus dijadikan dasar penting untuk membentuk pemimpin yang ideal. Artinya, pemimpin ideal mustahil tanpa adanya karakter yang selalu terarah pada yang baik.
Sumber :
Setyo Wibowo, dkk, Mendidik Pemimpin dan Negarawan. Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon. Dari Yunani Antik Hingga Indonesia, Lamalera: Jakarta (2014)
Comments :