1. Asep Ahadiat Gandawijaya

Pada masyarakat tradisional, terdapat delapan macam sistem peralatan hidup dan teknologi, yaitu sebagai berikut: [a] alat-alat produksi; [b] senjata; [c] wadah; [d] alat untuk pembuat api; [e] makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu; [f] pakaian dan perhiasan; [g] tempat berlindung dan rumah; dan [h] alat-alat transportasi [Koentjaraningrat, 1998].

Hal diatas merupakan kebutuhan dasar manusia dan hasil pemikiran manusia yang diterapkan dalam fisik nyata. Pada zaman primitif cara mereka bertahan hidup untuk bertempat tinggal di gua- gua merupakan pilihan utama bagi tempat melindungi manusia dari gangguan binatang buas, gangguan kejahatan dari kelompok manusia lainnya, dari keadaan alam seperti banjir dan air laut pasang, dan dari cuaca panas atau dingin. Dalam perkembangan selanjutnya, tempat berlindung atau rumah dibuat seaman dan senyaman mungkin dengan konstruksi dan bahan dari lingkungan alam sekitarnya. Sebagai contoh arsitektur, masyarakat Eskimo yang tinggal di daerah kutub utara membangun rumahnya dari susunan balok-balok es untuk menahan serangan dinginnya salju. Bagi masyarakat pesisir di beberapa wilayah Indonesia, membangun rumahnya dengan cara diangkat atau sistem panggung, untuk mengantisipasi air laut pasang. [ Ashadi,(2018) Pengantar Antropologi Arsitektur, hal 30-31]

Teknologi dalam arsitektur dapat ditelusuri kembali ke tempat perlindungan nomaden kuno yang dapat dilipat dan Portable, seperti Tepee Amerika Utara, Yurt Mongolia, dan tenda Berber Afrika. Arsitektur nomaden tidak dibangun untuk bertahan secara fisik, dan sering kali harus diperbaiki serta diganti. Proses ini tentunya mereka wujudkan dengan akal pikiran dan penerapan teknologi yang sederhana dalam terapannya, dan mereka berfikir secara pragmatis baik bentuk, material sekitar dan sistem ikatan untuk dapat di pindah-pindahkan disesuaikan dengan musim dan sumber pangan yang tersedia dilahan yang ditempati. Seiring dengan perkembangan teknologi, salah satunya pangan, yang dapat di olah ditempat tanah yang permanen merubah tempat tinggal yang dahulunya nomaden menjadi permanen. Dapat disimpulkan peran teknologi dalam wujud arsitektur sangat beriringan serta berpengaruh dalam menentukan nilai arsitektur bertempat, tentunya dengan inovasi teknologi bangunan. Semua bangunan selalu terikat pada tempatnya berdiri. Tempat bangunan berpijak menjadi penting; semakin permanen suatu bangunan semakin diperhitungkan dengan cermat dan seksama nilai tempatnya.[Salura (2010) Arsitektur yang membodohkan. hal 7].

Fungsi ruang terikat dengan aktifitas dan fasilitas manusia berkegiatan baik individual atau kelompok. Hasil tersebut menghasilkan bentuk yang berelasi dengan fungsi; semakin komplek manusia beraktifitas semakin banyak ruang dan tempat yang dibutuhkan, dicontohkan dari kegiatan penyimpanan hasil pangan hingga pengolahan pangan menjadi makanan membutuhkan tempat dan ruang, yang akhirnya ruang-ruang tersebut mempunyai teritori untuk berkegiatan sesuai aktifitasnya: publik dan private.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ruang memasak Tradisional dan ruang memasak Modern

Sumber: depositphotos

 

Masuknya teknologi alat pembakaran cara untuk mengolah makanan, berpengaruh pada bentukan ruang. Pada masa lalu penggunaan kayu bakar sebagai alat memasak berakibat ruang perlu sirkulasi yang baik untuk mengelola asap hasil pembakaran. Kini dijaman modern yang berubah sekarang dengan adanya penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, dampak perubahan teknologi ini merubah ruang dan  sirkulasi udara yang dapat direduksi menjadi ruang lebih kecil serta efisien. Dari pembahasan diatas dapat dilihat peran teknologi terhadap aktifitas yang kompleks akibat kebutuhan dan keinginan manusia, menjadikan ruang semakin kompleks.

 

D6080 R. Asep Ahadiat G/ FMSCC/ SOD/Bina Nusantara Bandung 2021