Sekilas Magna Carta: Cikal Bakal Perkembangan HAM Universal Oleh Meitty Josephin Balontia, M.Han

Sekilas Magna Carta Cikal Bakal Perkembangan HAM Universal

 

Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) tentu kita mengacu pada sekumpulan hak yang didapat bukan karena pemberian dari negara melainkan sebagai hak yang melekat dalam diri seseorang sebagai manusia. Dengan kata lain, HAM berkaitan erat dengan hakikat manusia itu sendiri. Apapun latar belakang, status, serta kondisi seseorang tidak mempengaruhi sejauh apa tinggi rendahnya HAM seseorang. Setiap individu memiliki HAM yang sama, yang melekat padanya sejak ia dilahirkan. Hak warga negara seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan realisasi atas HAM yang berlaku universal ini. Tentu, kumpulan HAM ini bukan merupakan produk yang sudah jadi sejak awal. Artinya, HAM merupakan hasil dari perkembangan kesadaran akan hak individu yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama.

Dalam sejarahnya, perkembangan HAM tidak terlepas dari adanya pengakuan atas hak individu oleh negara. Salah satu catatan paling awal dari pengakuan hak individu oleh negara adalah piagam Magna Carta. Piagam yang ditanda tangani pada 15 Juni 1215 yang membatasi kekuasaan absolut raja Inggris dinilai sebagai tonggak awal keberadaan HAM. Tulisan ini akan memberikan gambaran singkat mengenai latar belakang politik yang membawa pada kesediaan raja Inggris di masa itu untuk menanda tangani piagam Magna Charta dan bagaimana pengaruh piagam tersebut pada perkembangan HAM di masa mendatang.

Magna Carta: Sejarah dan Kontribusinya terhadap Pembentukan HAM

            Pada waktu Raja John II berkuasa di Inggris, Ia menguasai berbagai wilayah sekitar yang potensial termasuk didalamnya, Normandia, daerah yang berbatasan dengan Selat Inggris. Sekitar sembilan tahun pemerintahannya, Raja John II kemudian mengalami tantangan dalam mempertahankan wilayah Normandia akibat adanya penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Perancis dibawah pemerintahan Raja Philip Augustus. Penyerangan ini tidak terlalu ditanggapi serius oleh Raja John II, bahkan ia membiarkan kawasan tersebut diambil oleh pihak Perancis. Hal tersebut memancing amarah dari para bangsawan Inggris yang melihat bahwa Normandia merupakan wilayah yang menguntungkan bagi kerajaan Inggris (Fakhriansyah, 2021). Untuk meredakan amarah dari para bangsawan Inggris, Raja John II berniat untuk mengambil kembali wilayah tersebut. Usaha untuk merebut kembali wilayah Normandia dari tangan Perancis ternyata tidak mudah mengingat biaya perang yang harus dikeluarkan sangatlah besar.

Kondisi di atas membuat Raja John II mengambil keputusan berani namun cenderung semena-mena yakni, pelaksanaan denda hukuman yang besar, membebankan biaya ahli waris yang besar untuk para bangsawan serta menaikkan pajak. Peraturan-peraturan tersebut harus ditaati dengan konsekuensi yang berat bagi para pelanggarnya. Salah satu konsekuensinya adalah negara dapat menghukum dan mengambil paksa harta dari para pelanggarnya (Fakhriansyah, 2021). Hal tersebut membuat masyarakat termasuk para bangsawan tidak menyukai Raja John II. Posisi Raja John II semakin terancam ketika yang bersangkutan berselisih dengan pemuka agama Katolik. Dahulu di wilayah Eropa, para pemuka agama Katolik dapat ikut mempengaruhi kondisi politik di daerah bersangkutan. Seorang pemimpin yang dikehendaki oleh pihak gereja cenderung akan lebih disukai oleh masyarakat.

Kesewenangan yang dilakukan Raja John II berhadapan dengan setiap elemen masyarakat di atas membuat terjadinya pemberontakan para kaum bangsawan. Pemberontakan ini kemudian berbuah manis dengan ditanda tangani piagam yang kita kenal dengan Piagam Magna Carta oleh Raja John II. Adapun isi dari piagam tersebut terdiri dari 63 klausul. Klausul-klausul ini lebih berhubungan dengan regulasi budaya feudaal dan berjalannya sistem peradilan. Di dalamnya terdapat klausul tentang pemberian pajak, kota dan perdagangan, luas dan pengaturan hutan kerajaan, utang, Gereja dan pemulihan perdamaian (Parliament, 2021). Adapun mengenai hal yang berhubungan dengan hak individu, sebagai cikal bakal HAM dalam piagam Magna Carta berbunyi:

“No free man shall be seized, imprisoned, dispossessed, outlawed, exiled or ruined in any way, nor in any way proceeded against, except by the lawful judgement of his peers and the law of the land” dan “To no one will we sell, to no one will we deny or delay right or justice.” (Parliament, 2021)

Bunyi pernyataan di atas jelas merupakan bentuk pengakuan akan adanya hak individu yang tidak bisa dilanggar oleh negara, dalam hal ini, Raja John II. Isi dari piagam Magna Carta tentu belum sematang HAM yang kita kenal saat ini, namun kesadaran akan adanya hak individu serta pentingnya pengakuan terhadap hak-hak tersebut menginspirasi negara atau kerajaan lainnya untuk mengikuti jejak yang sama.

Perkembangan Hak Asasi Manusia dan Penerimaan Internasional dengan Deklarasi Universal HAM oleh PBB

            Dari hal di atas kita bisa mengetahui bahwa kontribusi paling besar Magna Carta atas HAM adalah pengakuan akan adanya hak individu yang harus diutamakan dalam setiap keputusan pemerintah yang diambil. Seiring berjalannya waktu, hak individu semakin diperluas, disesuaikan dengan tantangan zaman dan kebutuhan masing-masing negara. Misalnya Revolusi Perancis yang melahirkan Deklarasi Perancis pada 1789. Untuk menghapus absolutisme dari Raja yang berkuasa,diperlukan suatu deklarasi yang memuat aturan-aturan hukum yang jelas berpihak pada masyarakat. Deklarasi Perancis memuat aturan-aturan hukum yang menjamin HAM seperti, larangan penangkapan sewenang-wenang tanpa alasan yang jelas (Ruman, 2008). Lebih lanjut, di bidang sosial, Revolusi Perancis juga menuntut adanya penghapusan stratifikasi sosial dan setiap warga negara diberikan hak serta kewajiban yang sama. Dan yang terakhir di bidang ekonomi, Revolusi Perancis sukses memberikan hak kepada para petani untuk memiliki lahan (Adryamarthanino, 2021).  Berkaca pada apa yang terjadi di Perancis pada 1789, kita bisa melihat bahwa hak individu yang tercantum dalam Magna Carta merupakan inspirasi untuk mengembangkan hak individu. Inspirasi ini kemudian diperluas sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan politik negara yang lainnya seperti Perancis. Seiring berjalannya waktu, hak-hak individu ini kemudian menjadi sekumpulan hak yang diakui sebagai sesuatu yang dimiliki sejak lahir. Inilah yang kemudian disebut sebagai HAM. Selanjutnya, dengan adanya perkembangan kerjasama antar negara, teknologi dan kebutuhan HAM kemudian mulai meninggalkan batasan negara dimana berpuncak pada apa yang kita kenal dengan Deklarasi Universal HAM pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Bibliography

Adryamarthanino, V. (2021, Mei 2). Revolusi Perancis: Penyebab, Dampak, dan Pengaruh terhadap Indonesia. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/02/122013379/revolusi-perancis-penyebab-dampak-dan-pengaruh-terhadap-indonesia?page=all

Fakhriansyah, M. (2021, Juni 15). Magna Carta: Membatasi Kewenangan Raja, Menjunjung Tinggi HAM. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/magna-carta-membatasi-kewenangan-raja-menjunjung-tinggi-ham-ggRU

Parliament, U. (2021). The Content of Magna Carta. Retrieved from parliament.uk: https://www.parliament.uk/about/living-heritage/evolutionofparliament/originsofparliament/birthofparliament/overview/magnacarta/magnacartaclauses/

Ruman, Y. S. (2008). Character Building Kewarganegaraan. Jakarta: PT WIDIA INOVASI NUSANTARA.

.