Mengembalikan Nasionalisme Aceh Melalui Narasi, Mungkinkah? Perspektif Perang Narasi dalam Kasus Pemberontakan GAM Oleh Meitty Josephin Balontia

Mengembalikan Nasionalisme Aceh Melalui Narasi, Mungkinkah Perspektif Perang Narasi dalam Kasus Pemberontakan GAM Oleh Meitty Josephin Balontia.jpg

Globalisasi membawa dampak yang sangat besar terhadap arus serta pergerakan informasi. Dengan terbukanya informasi sedemikian luasnya, maka muncul suatu bentuk perang baru yang dikenal sebagai perang narasi. Perang narasi dapat dipahami sebagai aktivitas seseorang atau beberapa pihak yang ditujukan untuk mempertahankan ide maupun membentuk opini publik sesuai dengan yang dia inginkan. Pembentukan opini atau propaganda ini di jalankan baik melalui tulisan, cerita, ataupun meme. Mengapa perang narasi perlu diangkat?

Konsep Perang Narasi dan Pentingnya Memenangkan Opini Publik

Zaman telah berubah termasuk di dalamnya wajah perang. Dalam bukunya berjudul “War in 140 Characters: How Social Media Is Reshaping Conflict in the Twenty-First Century” David Patrikarakos menggambarkan bagaimana makna perang sudah bergeser karena tidak hanya menyangkut persoalan militer tetapi sudah melibatkan perang narasi. Perang narasi bertujuan untuk memenangkan opini publik dan siapa yang berhasil memenangkan opini publik, dialah yang memenangkan perang ataupun konflik bersangkutan. Ia memberikan contoh konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Militer Israel bisa saja menang melawan pejuang Hamas di lapangan, tapi menurut Patrikarakos, pihak Israel tetap kalah dalam perang tersebut. Kekalahan Israel merupakan hasil dari kekalahan atas perang narasi dari keduanya (Patrikarakos, 2017). Pada saat perang perebutan wilayah terjadi, Israel mengajukan suatu narasi yaitu “Kami adalah negara demokrasi yang sedang dikepung teroris”. Sementara itu, pihak Hamas pun membentuk sebuah narasi ‘kami adalah orang tertindas di tanah airnya sendiri yang sedang diserang penjajah kuat.’ (Suckley, 2018) Kedua narasi ini beradu di berbagai media baik informasi maupun sosial. Hasilnya, Israel kalah dalam menggiring opini publik internasional. Narasi Hamas lebih bisa memenangkan opini publik atas konflik yang terjadi di antara keduanya.

Dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa ada alternatif lain dalam merebut “kemenangan” selain dari kontak senjata yakni, melalui narasi. Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin memenangkan (dalam arti, meredam) konflik yang sudah mengakar panjang antara Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) melalui narasi? GAM lahir sebagai bentuk kekecewaan sekelompok masyarakat Aceh atas ketidakmerataan pembangunan di zaman Soeharto. Sentralisasi membawa semacama anggapan bahwa Aceh dijajah Jawa. Kekecewaan ini semakin diperparah dengan dukungan para pemimpin Darul Islam (DI) yang sejak zaman Soekarno mengharapkan penerapan hukum islam di daerah Aceh. Memenangkan kembali Aceh sepenuhnya tidak hanya perlu dilakukan melalui dialog dan kontak senjata, tetapi juga melalui media informasi yang bisa memberikan kesadaran (membentuk opini) masyarakat sebagai bagian dari Indonesia. Sejalan dengan pandangan kelompok pada tugas kelompok sebelumnya, saya beranggapan bahwa yang perlu dibangun dalam konflik ini adalah kesadaran publik akan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Selain itu, adanya realisasi nyata akan pembangunan infrastruktur di tanah Aceh perlu di narasikan berulang-ulang untuk membentuk counter-narasi atas narasi “Aceh dijajah Jawa” yang selama ini disematkan dalam pikiran publik atau masyarakat Aceh.

Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan ini adalah untuk memenangkan (meredam) konflik di Aceh, pemerintah harus mengambil langkah-langkah komprehensif antara lain berdialog dan melakukan aktivitas naratif. Aktivitas naratif ini bertujuan untuk membentuk suatu cara pandang baru di tengah masyarakat tentang konflik yang sedang terjadi. Cara pandang baru ini diharapkan mampu menggeser paradigma lama yang dipakai oleh pihak GAM dalam menarik simpati masyarakat.

Bibliography

Patrikarakos, D. (2017). War in 140 Characters: How Social Media is Reshaping Conflict in the Twenty-First Century. United States: Basic Books.

Suckley, M. (2018, Januari 16). Di Zaman Sekarang, Perang Mustahil Dimenangkan Tanpa Propaganda Media Sosial. Retrieved from vice.com: https://www.vice.com/id/article/43q5qj/di-zaman-sekarang-perang-mustahil-dimenangkan-tanpa-propaganda-media-sosial%20pada%2021%20Februari%202018