Oleh: Bayu R. W. Edward S.Ds., M.Ds.

Interior Design School Of Design Binus University

 

Suatu cerita yang klasik bagi pelaku profesi desain furnitur di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, yaitu persaingan dengan brand produk pabrikan massal. Banyak pula yang mengatakan mustahil karena diukur dari kekuatan dan kapabilitas produksi dan pondasi modal yang diputarkan-pun sudah bak bumi dan langit. Suatu produk massal dapat cenderung leluasa dalam menentukan harga jual didasari oleh investasi terhadap bahan baku, komponen, mesin, dan sumber daya manusia yang kuat, sedangkan bagi seorang desain produk cenderung menitikberatkan pada pembangunan citra agar harga jual dari produk yang dirancangnya bisa diterima secara empatik oleh pasar. Namun tulisan ini tidak mencoba untuk memaksakan produk desainer memasuki area massal secara brutal begitu saja, melainkan justru menyoroti aspek humaniora_seperti pada umumnya konstruksi premis dalam desain_yang sedikit banyak pada akhirnya menyerempet ranah bisnis industry produk massal. Dalam hal ini, aspek yang akan disoroti tersebut ialah tradisi merajin rotan.

Sedikit cerita dari daerah-daerah sentra industry produk berbahan rotan yaitu krisis bahan baku dan tenaga ahli rotan atau seringkali disebut pekerja rangka, dan penganyam yang semakin langka dan ongkos kerja yang membumbung tinggi. Kondisi ini memaksa pelaku industry rotan di Cirebon sebagai contoh, untuk memutar kemudi kearah penggunaan bahan replica rotan,

yaitu plastic atau sering disebut rotan sintetik. Jika dilihat dari kacamata fungsi, maka produk furniture ber-rangka aluminum dan dianyam plastic tentunya akan lebih tahan lama dan memiliki ketahanan terhadap suhu dan temperature sehingga dapat digunakan di area outdoor. Hal ini disambut baik oleh pasar komersial dan hospitality yang banyak menyuguhkan fitur area makan outdoor dan kolam renang. Singkatnya, penggunaan material spek outdoor ini memberikan dampak bisnis yang signifikan positif bagi pelaku industry.

 

Dibalik manuver_replikasi material_yang dilakukan oleh industry tersebut, faktanya menimbulkan efek domino ke area hulu, khususnya sektor penyediaan dan permintaan bahan baku rotan, sektor perekonomian pengrajin rotan, serta secara esensial hingga ke sektor budaya dan tradisi merotan. Dikatakan demikian, karena efek dari perpindahan material yang dilakukan industry secara langsung berimbas pada asupan pekerjaan bagi pengrajin rotan yang dampak jangka panjangnya ialah krisis regenerasi keahlian merajin rotan. Akibat kelangkaan perajin rotan ini, maka harga jasa pembuatan produk rotan melambung tinggi. Tidak jarang sering terdengar isu pengrajin diperebutkan oleh industry. Seiring dengan menurunnya permintaan terhadap produk berbahan produk rotan ini akhirnya berimbas pada sektor bahan baku, dimana selain volume penyerapan yang menurun, juga sering terjadinya miss pada pengklasifikasian kualitas rotan yang disuplai. Kondisi ini akhirnya menyebabkan lingkaran setan karena kualitas bahan baku rotan yang disuplai buruk memunculkan impresi yang juga buruk di mata pasar.

 

Jika dianalisis secara objektif, problematika penyerapan produk berbahan baku rotan ini

 

dapat dilihat dari dua sudut pandang yakni sudut pandang produsen atau industry, dan sudut pandang tradisi (perajin, nilai-nilai kerajinan, dan bahan baku). Di pihak industry, fokus utamanya tentu ada pada keberlangsungan perputaran produksi yang berarti tersedianya permintaan pasar yang juga sustain (fundamental demand). Sedangkan di pihak tradisi, juga berfokus pada sustainability aktifitas merajin, dan mewarisi nilai. Hipotesanya, apabila kedua hal ini dapat bertemu, maka rotan sebagai bahan baku dan media pengandung nilai-nilai budaya tersebut dapat terus diserap.

 

Dilatarbelakangi paparan diatas, membawa penulis pada gagasan untuk menterjemahkan hipotesa tersebut ke realisasi desain produk dan menghasilkan ‘Indie’ chair. Berangkat dari dua sudut pandang tersebut, perancangan Indie chair diawali dengan penentuan koridor dan kriteria desain bagi kedua sektor (industry dan tradisi).

 

Untuk industry, tujuan yang disasar ialah bagaimana agar aktifitas produksi dapat dibuat se-seragam mungkin dengan frekuensi dan usia desain yang panjang. Dalam hal ini penulis bertujuan untuk mulai memperkenalkan dan mengarahkan industry kepada metode lean production dimana manajemen produksi didasari oleh pengorganisasian terhadap komponen produk. Maka dari itu objek yang dirancang dikemas sebagai perancangan komponen. Kriteria desain yang diutamakan untuk sektor ini ialah basic configuration dan adaptive visual opportunity. Kedua kriteria ini diartikan sebagai susunan struktur dan konstruksi produk harus berangkat dari pengertian konfigurasi secara umum, yakni berkaki 4, dan bersandaran. Tujuan utama basic configuration ini sebetulnya tidak terletak pada efisiensi, melainkan pada adaptive visual

opportunity, yakni akibat konfigurasi yang sederhana, justru memberikan ruang yang cukup besar untuk menuver-menuver gaya agar dapat senantiasa menyesuaikan dengan tren.

 

Kemudian untuk sektor tradisi, tujuan yang disasar ialah agar aktifitas merajin dapat dengan mudah dilakukan dan dapat dilakukan sesering mungkin. Maka kriteria perancangan komponen untuk sektor tradisi ini ialah basic geometry (aspek bentuk), sehingga dapat memberi ruang pada aspek dekorasi pada elemen bentuk tersebut seperti anyaman, motif jari rotan pengisi rangka, ataupun penggunaan bahan lain seperti cushion didalam rangka rotan.

Gambar 1. Kursi Indie dengan komponen sandaran dan dudukan berbahan rotan batang poles dan jari core manau, rangka aluminum.

 

 

 

‘Indie’ mulai dibangun pada tahun 2015, dan dirilis di pasar 2 tahun setelahnya. Hingga hari ini, permintaan terhadap ‘Indie’ tetap bermunculan. Namun sebagaimana dikatakan pada bagian awal artikel ini, fase pemasaran dan pembangunan citra dan penyampaian pesan dari ‘Indie’ bukan tidak ada rintangan. Salah satunya adalah harga yang masih belum cukup fleksibel untuk bersaing dengan produk massal sejenis. Pada tahun 2017 harga satu unit ‘Indie’ ada di Rp. 1.350.000,- dimana harga pasaran kursi untuk tujuan sejenisnya berkisar Rp. 700.000 hingga 1 juta Rupiah. Hal ini ternyata memberi dampak positif bagi industry dan pemasar untuk menyiasatinya dengan skema produksi dan pemasaran yang terintegrasi. Pengintegrasian ini dikemas dalam program-program pemasaran dengan stok minimum dan fitur pembelian cicilan tanpa bunga. Ternyata hal ini mendapat respon positif di pasar. Hingga akhirnya memasuki tahun 2019-2020, harga ‘Indie’ masih konsisten dan berada di peta harga pasaran.

 

Sebagai penutup dari artikel ini, penulis mencoba memaparkan sebuah perjalanan proses desain dengan lingkup yang strategis. Bahwa ilmu desain memang secara nyata merupakan bidang yang sangat krusial bagi kemajuan dan perkembangan industry yang baik. Dan dalam kasus ‘Indie’, pengertian perkembangan industry yang baik ini diikuti oleh perkembangan juga dalam aspek tradisi.

 

 

Bayu Edward

 

Juni, 2021