Suasana Alun-alun Bandung, potret keberhasilan placemaking? (sumber : google images)

Latar belakang

Mungkin sudah cukup banyak orang yang membaca dan mendengar tentang Placemaking, karena sejatinya placemaking bukan merupakan hal yang baru dalam bidang perancangan, baik arsitektur maupun perancangan kota. Ide tentang Placemaking sudah dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an untuk mendeskripsikan Project for Public Spaces, tetapi sudah mendapatkan daya tarik pada 1960-an, ketika Jane Jacobs dan William H. Whyte memperkenalkan ide-ide terobosan tentang merancang kota untuk orang-orang, bukan hanya mobil dan pusat perbelanjaan. Pekerjaan mereka berfokus pada pentingnya sosial dan budaya dari lingkungan yang hidup dan ruang publik yang mengundang. Project for Public Spaces terus menunjukkan dengan contoh bagaimana mengadopsi proses komunitas kolaboratif adalah pendekatan yang paling efektif untuk menciptakan dan merevitalisasi ruang publik. Bagi kami, pembuatan letak adalah proses dan filosofi. Ini berpusat pada mengamati, mendengarkan, dan mengajukan pertanyaan kepada orang-orang yang tinggal, bekerja, dan bermain di ruang tertentu untuk memahami kebutuhan dan aspirasi mereka untuk ruang itu dan untuk komunitas mereka secara keseluruhan.

Masyarakat perkotaan sebagai pelaku utama kegiatan di dalam sebuah kota, memiliki kebutuhan- kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan dan kegiatan sehari-harinya. Menurut Teori Hirarki Kebutuhan (Maslow, 1954, p.236), manusia memiliki lima jenis kebutuhan dasar, yaitu fisiologis, keamanan, sosial, apresiasi, dan aktualisasi diri. Dalam sebuah kota, secara fisik dan infrastruktur harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini sesuai dengan skala kotanya.

 

Piramida Hirarki Kebutuhan berdasarkan teori Maslow

Kebutuhan fisiologis dipenuhi melalui penyediaan permukiman, kebutuhan keamanan dipenuhi melalui penyediaan fasilitas pemerintahan dan keamanan, kebutuhan sosial dan apresiasi disediakan melalui penyediaan ruang-ruang publik, kebutuhan aktualisasi diri dipenuhi antara lain melalui penyediaan sarana pendidikan, sarana hiburan, sarana olahraga. Dari kebutuhan- kebutuhan dan fasilitas-fasilitas yang perlu disediakan di dalam sebuah kota, fasilitas yang harus disediakan secara komunal adalah fasilitas ruang publik.

Menurut Danisworo (2004), ruang publik adalah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh warga

masyarakat sepanjang waktu secara bersama-sama tanpa dipungut biaya penggunaan. Fasilitas ruang publik, yang terutama untuk pemenuhan kebutuhan sosial warga masyarakat kota, dapat diwujudkan berupa ruang terbuka maupun bangunan. Ruang publik yang berwujud ruang terbuka, antara lain berupa taman kota, boulevard, plaza, waterfront, dan alun-alun. Fasilitas ruang publik yang berwujud bangunan, antara lain berupa gedung konvensi, atrium, dan civic center (pusat kegiatan warga). Selain itu, terdapat pula fasilitas pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri yang dapat berfungsi sebagai fasiltias pemenuhan kebutuhan sosial, seperti gelanggang olahraga, perpustakaan umum, dan gedung pertunjukan.

 

Definisi Placemaking

Placemaking adalah salah satu cara lain untuk meningkatkan kualitas tempat di dalam suatu lingkungan. Pengembangan tersebut pun turut dapat memajukan komunitas/ penghuninya dan area-area di sekitarnya. Placemaking bertujuan untuk menjadi pendukung pergerakan, memperluas jaringan, serta berbagi pengalaman dan sumber daya bagi placemakers.

Placemaking, baik sebagai ide yang menyeluruh maupun pendekatan langsung (hands on) untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kota, atau wilayah, Placemaking menginspirasi orang untuk secara kolektif menata ulang dan menemukan kembali ruang publik sebagai jantung dari setiap komunitas/penghuni area tersebut. Memperkuat hubungan antara orang-orang dan tempat yang mereka gunakan bersama (shared splaces), placemaking mengacu pada proses kolaboratif yang melalui proses tersebut kita dapat membentuk ranah publik untuk memaksimalkan nilai bersama (shared value). Placemaking lebih dari sekadar mempromosikan desain perkotaan yang lebih baik, tetapi juga menitikberatkan pada proses memfasilitasi pola penggunaan yang kreatif, memberikan perhatian khusus pada identitas fisik, budaya, dan sosial yang menentukan suatu tempat dan mendukung evolusi yang sedang berlangsung pada area tersebut.

Dengan partisipasi berbasis komunitas (community based participation) sebagai pusatnya, proses placemaking yang efektif sebaiknya memanfaatkan aset, inspirasi, dan potensi komunitas lokal, dan menghasilkan penciptaan ruang publik berkualitas yang berkontribusi pada kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan (wellbeing) masyarakat.

Kriteria sebuah tempat dikatakan baik

Bagaimana caranya untuk mengetahui sebuah tempat dikatakan baik, menurut metoda yang dikembangkan oleh Project for Public Space (PPS), yaitu The Place Diagram, metoda ini dapat membantu komunitas/penghuni suatu tempat dalam mengevaluasi suatu tempat.

 

Metoda The Place Diagram yang dikembangkan oleh Project for Public Space untuk mengevaluasi sebuah tempat oleh komunitas

(Sumber https://www.pps.org/article/what-is-placemaking)

 

Sesuai yang tercantum pada diagram tersebut, menurut Madden (2000) dalam “Project for Public Spaces” terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai keberhasilan sebuah tempat adalah :

  1. Access & linkage, yaitu kemudahan akses dan

Aksesbilitas baik dapat dilihat dari hubungan sebuah empat dengan sekitarnya, baik secara visual majupun fisik. Parkir dan pencapaian menggunakan transportasi umum harus mudah.

  1. Comfort & image, memiliki citra yang baik dan menghasilkan kenyamanan dalam beraktivitas.

Kenyamanan suatu tempat dapat dilihat dari kebersihan, keamanan dan ketersediaan tempat duduk. Lingkungan yang aman dan bersih adalah kunci kesuksesan penting.

  1. Uses & activities, pengunjungnya dapat melakukan berbagai aktivitas di dalam tempat itu

Fungsi sebuah tempat adlah alas an mengapa tempat tersebut dikunjungi oleh masyarakat dan mengapa mereka terus kembali. Aktivitas yang dapat dilakukan di tempat tersebut juga yang menjadikan sebuah tempat memiliki nilai yang khusus/ special.

  1. Sociability, tempat yang dapat mendorong interaksi

Tempat yang baik menjadi pilihan ruang yang aman untuk bertemu dengan orang-orang terdekat. Penting untuk sebuah tempat dapat aktif dan ramai lebih lama agar keamanannya lebih terjaga.

 

Menurut organisasi “Project for Public Spaces” (www.pps.org, 2010) untuk mencapai kualitas rancangan tersebut, maka sebuah ruang publik harus memiliki kenyamanan yang memiliki kriteria-kriteria pencapaian sebagai berikut:

  1. menarik (appealing)
  2. menyenangkan (enjoyable)
  3. sesuai (convenient)

 

Menurut Markus Zahnd (1999, p.137), agar sebuah ruang publik dapat mencapai tingkat kenyamanan tersebut bagi penggunanya, yaitu warga kota, sebuah ruang publik harus dapat menjadi sebuah place bagi warga kota penggunanya.

Menurut rumusan Roger Trancik, sebuah place dapat dijelaskan sebagai berikut : “Sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void, dan sebuah space akan menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempat”. (Zahnd, 1999, p.138)

Menurut Heinz Frick, budaya dibentuk dari komponen material dan imaterial. Budaya dalam lingkup spasial ruang, memiliki dimensi fisik, sosial dan mental (Zahnd, 1999, p.266) . Dalam sebuah place berskala kota, dimensi-dimensi budaya tersebut perlu didefinisikan kualitas- kualitasnya, yang menurut organisasi “Project for Public Spaces” (www.pps.org, 2010) adalah sebagai berikut:

  1. Dimensi fisik : adaptable, culturally aware, context-sensitive.
  2. Dimensi Sosial : diverse, friendly, interactive,
  3. Dimensi Mental : spiritual, charming, attractive,

 

Pendekatan placemaking memiliki prinsip yang dianggap sesuai untuk memberikan suasana hangat dalam membentuk sebuah place. Secara garis besar, elemen-elemen prinsip tersebut adalah (Brown, Dixon, dan Gillham, 2009, p.108-109):

  1. merespon skala kesadaran inderawi manusia
  2. mengintegrasikan tradisi, alam dan inovasi
  3. menekankan pada pembentukan

Proses Placemaking yang menjadi inti aktivitas PPS, tidak menjadikannya trademark yang khusus bagi mereka, karena menurut PPS, placemaking adalah milik siapa saja dan semua orang yang tulus dalam menciptakan tempat yang hebat, dan yang memahami bagaimana rasa tempat yang kuat dapat memengaruhi kesehatan fisik, sosial, emosional, dan ekologis individu dan komunitas di mana pun. Agar berhasil, proses ini membutuhkan kepemimpinan dan tindakan yang hebat di semua tingkatan. Pemimpin tidak perlu, dan tentunya tidak, memiliki semua jawaban, dan dengan mengakui hal ini, dan menyediakan ruang untuk eksperimen dan kolaborasi, Penempatan memungkinkan proses yang lebih berani untuk terungkap. placemaking digunakan di banyak tempat – tidak hanya oleh warga dan organisasi yang berkomitmen untuk peningkatan komunitas akar rumput, tetapi juga oleh perencana dan pengembang yang menggunakannya sebagai trademark untuk menyiratkan keaslian dan kualitas, meskipun proyek mereka tidak tidak selalu memenuhi janji itu. Namun menggunakan placemaking yang mengacu pada proses yang tidak benar-benar berakar pada partisipasi publik akan mengurangi nilai potensinya. Membuat tempat tidak sama dengan membangun gedung, mendesain plaza, atau mengembangkan kawasan komersial.

Saat Project for Public Spaces mensurvei orang-orang tentang arti placemaking bagi mereka, ditemukan bahwa ini adalah proses yang sangat penting dan sangat dihargai bagi mereka yang merasa sangat dekat dengan tempat-tempat dalam kehidupan mereka. Placemaking menunjukkan kepada orang-orang betapa kuatnya visi kolektif mereka. Ini membantu mereka membayangkan kembali ruang sehari-hari, dan untuk melihat kembali potensi taman, pusat kota, tepi laut, alun-alun, lingkungan, jalan, pasar, kampus, dan bangunan umum.

 

Placemaking dan konsep Happy City

Jika kita kaitkan dengan pembahasan Happy City (baca artikel : Happy City, Happy Citizens oleh Mila A Savitri) dan elemen kesejahteraan yang menyertai kehidupan masyarakatnya, maka placemaking ternyata memiliki hubungan yang erat dalam pencapaian kondisi ideal sebuah kota yang bahagia. Jika kita melihat elemen yang tercakup dalam wellbeing pada konsep Happy City, maka sebagian besar elemen tersebut sangat terkait dengan placemaking.

 

Elemen dari kesejahteraan pada kota yang bahagia menurut diagram di atas adalah :

1.   Kebutuhan inti (core needs)

Ternyata, selain kebutuhan dasar orang akan makanan, air, tempat tinggal, sanitasi, dan keamanan, manusia juga mengharapkan terpenuhinya kebutuhan lain yang bisa sangat spesifik dan berkaian erat dengan konteks dimana mereka tinggal. Hal inilah yang menghasilkan keunikan dan spesifik terhadap konteks sebuah tempat.

2.  Hubungan sosial (Sociability)

Kekuatan kepercayaan sosial melampaui hubungan dengan keluarga dan teman dekat: Bahkan pertemuan yang dangkal di depan umum dapat membangkitkan semangat orang- orang seperti halnya waktu bersama teman dekat. Pertemuan yang tampaknya dangkal ini sebenarnya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, kreativitas, dan kebahagiaan. Merancang jalan, ruang publik, dan perumahan untuk bersosialisasi dapat membantu kita semua terhubung kembali.

3.  Kesehatan (health)

Kesehatan fisik merupakan elemen penting dari kesejahteraan manusia. Menariknya, penilaian orang tentang kesehatan mereka sendiri adalah memprediksi kepuasan hidup yang lebih baik daripada penilaian objektif dokter tentang kesehatan fisik mereka yang sebenarnya. Dengan kata lain, merasa sehat sama pentingnya dengan kebahagiaan sama pentingnya dengan menjadi sehat. Perilaku yang lebih sehat juga merupakan perilaku yang lebih bahagia. Survei menunjukkan bahwa orang yang bepergian dengan berjalan kaki dan bersepeda mengalami lebih banyak kegembiraan dan lebih sedikit kesedihan, ketakutan, dan amarah daripada pengemudi mobil.

4.  Kesetaraan dan status relatif (Equity)

Meskipun kota mungkin tidak dapat sepenuhnya menyembuhkan semua ketidaksetaraan masyarakat, cara kita merancang dan mengelola tempat-tempat perkotaan merupakan inti dari setiap upaya untuk mengurangi kemiskinan dan melibatkan semua orang dalam kehidupan sosial dan ekonomi kota.

5.  Kemudahan (Easy)

Tempat yang dirancang dengan baik memberi orang rasa kemudahan dan kebebasan. Alih- alih membuat kita merasa mandek atau frustrasi, mereka memberdayakan kita untuk bergerak sesuka kita. Desain cerdas memenuhi kebutuhan dasar kita akan kenyamanan, kita tidak stres dan tidak yakin tentang masa depan kita yang akan datang. memprioritaskan aksesibilitas dan bentuk transportasi yang efisien, yang membawa manfaat – lebih banyak waktu, lebih sedikit kejengkelan – bagi semua orang

6.  Sukacita (Joy)

Ruang dan sistem kota memiliki pengaruh yang jelas dan langsung terhadap perasaan kita setiap hari. Mereka memberikan kesenangan dan rasa sakit, dan menghasilkan efek kesejahteraan yang bertahan jauh melampaui saat itu. Kebahagiaan kebanyakan orang ditentukan tidak hanya oleh apa yang mereka alami saat ini, tetapi oleh ingatan akan pengalaman baik dan buruk sebelumnya. Bayangkan saja kunjungan menyakitkan ke dokter gigi, dan tanyakan pada diri sendiri seberapa ingin Anda kembali.

Kenangan positif adalah dasar dari perasaan terikat pada suatu tempat. Mereka mendorong orang untuk kembali bekerja, berbelanja dan bermain, dan mereka meningkatkan aktivitas ekonomi dan hubungan sosial. Jadi upaya untuk memelihara kegembiraan dan kepuasan dalam pengalaman perkotaan kita dan menghilangkan rasa sakit dan frustrasi, bukanlah hal yang dangkal. Mereka sangat penting untuk keberhasilan lingkungan dan kota yang bagus.

7 & 8. Arti dan kepemilikan (Meaning & Belonging)

Orang yang merasakan makna dan rasa memiliki dalam hidupnya lebih sehat, lebih produktif, dan hidup lebih lama. Paling umum, kebermaknaan datang melalui hubungan kita dengan orang lain dan tempat yang kita pedulikan. Orang-orang yang bekerja bersama di kebun komunitas, misalnya, melaporkan bahwa mereka merasakan kepedulian yang lebih dalam terhadap komunitas mereka. Dan perasaan itu, kata psikolog, berkontribusi pada kepercayaan dan kebahagiaan sosial yang lebih besar.

Dengan memupuk rasa memiliki dan makna yang lebih dalam, kami juga menciptakan rasa loyalitas dan keterikatan yang lebih besar pada pemberi kerja dan bisnis lokal. Seringkali itu berarti memberi lebih banyak orang peran dalam membantu membentuk desain dan kehidupan komunitas mereka

9. Ketahanan (resilience)

Orang yang tangguh memiliki sumber daya, pengetahuan, fleksibilitas, dan sarana untuk mempertahankan kesejahteraan mereka meskipun ada gangguan dalam kehidupan sehari- hari. Tempat yang tangguh perlu melakukan hal yang sama.

Sistem yang tangguh membantu masyarakat untuk beradaptasi, merespons, memulihkan, dan berkembang dalam menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Everyone has the right to live in a great place. More importantly, everyone has the right to contribute to making the place where they already live great.

– Fred Kent-

 

Referensi

  1. https://www.pps.org/article/what-is-placemaking
  2. http://e-journal.uajy.ac.id/1966/2/1TA12574.pdf
  3. https://uploads- webflow.com/5810e16fbe876cec6bcbd86e/5b71f88ec6f4726edfe3857d_2018%20place making%20booklet.pdf
  4. https://instagram.com/p/CNy6ROhn3KU/

Penulis : Mila A Savitri

(Faculty Member of Interior Design Binu Nusantara University, B