Pada ranah arsitektur, konservasi adalah proses dimana individu atau suatu kelompok berusaha  untuk melindungi nilai suatu bangunan dari perubahan yang tidak diinginkan[1]. Sedangkan interior  desain adalah sebuah perencanaan tata letak dan perancangan ruang dalam di dalam bangunan. Keadaan  fisiknya memenuhi kebutuhan dasar penggunanya akan naungan dan perlindungan, mempengaruhi  bentuk aktivitas dan memenuhi aspirasi, serta mengekspresikan gagasan yang menyertai tindakan,  disamping itu sebuah desain interior juga mempengaruhi pandangan, suasana hati dan kepribadian kita  (Ching & Binggeli, 2012) [1]. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa konservasi interior adalah  proses melindungi nilai yang ada dalam suatu ruang dalam bangunan dengan tujuan menunjang fungsi,  mempertahankan nilai estetis, serta meningkatkan psikologi pengguna di dalamnya. 

Di Indonesia, kegiatan konservasi interior begitu banyak digalakkan pada bangunan bekas  penjajah, salah satu alasannya ialah karena bangunan tersebut dianggap memiliki nilai sejarah yang  memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Alasan lainnya ialah  bangunan peninggalan penjajah memiliki fungsi all-purpose yang fleksibel untuk digunakan memenuhi  kebutuhan pekerjaan apapun. Dan, museum merupakan salah satu contoh populer yang ada di Indonesia.  Museum sebagai sarana edukasi (memajang koleksi seni sekaligus artefak hasil perkembangan iptek dan  budaya) merupakan bentuk bangunan yang dapat merepresentasikan keseluruhan pengetahuan dan  budaya dalam lingkup nasional, seperti Museum Nasional Indonesia. 

Museum Nasional Indonesia sebagai museum pusat di Indonesia merupakan museum yang  menampilkan keseluruhan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Berawal dari perkumpulan peneliti  asal Belanda yang menetap di Indonesia dan mengembangkan iptek disini, mereka menghasilkan  pemikiran baru yang serta merta juga memengaruhi arsitektur dan interior yang ada di Indonesia, Dan,  hal tersebut menjadi salah satu poin analisa yang menarik bagi penulis. 

Pada kongres majelis umum ICOM (International Council of Museum) sebuah organisasi  internasional dibawah UNESCO, menetapkan defenisi museum sebagai berikut: “Museum adalah  sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat, terbuka  untuk umum, memperoleh, mengawetkan, mengkomunikasikan dan memamerkan barang-barang  pembuktian manusia dan lingkungan untuk tujuan pendidikan, pengkajian dan hiburan” [1]. Berdasarkan  rumusan Internasional Council of Museums (ICOM) ada beberapa hal yang diutamakan dalam museum,  antara lain: 

1) Dokumentasi dan penelitian 

2) Mengumpulkan dan menjaga warisan alam dan budaya 

3) Preservasi dan Konservasi 

4) Pemerataan dan penyebaran ilmu kepada masyarakat

5) Memperkenalkan dan menghayati kesenian 

6) Memperkenalkan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa 

7) Visualisasi warisan alam dan budaya 

8) Media untuk menyatakan syukur bagi Tuhan pemilik hidup kita 

Berdasarkan jenis koleksi, museum terbagi atas: (1) Museum Umum, terdiri dari kumpulan bukti  material manusia dan lingkungannya yang berkaitan dengan seni, disiplin ilmu dan teknologi. (2)  Museum Khusus, terdiri dari kumpulan bukti material manusia dan lingkungannya yang berkaitan  dengan salah satu cabang disiplin ilmu dan teknologi. Berdasarkan kedudukannya, museum terbagi atas:  (1) Museum Nasional, terdiri atas kumpulan benda yang mewakili seluruh wilayah Indonesia. (2)  Museum Provinsi, terdiri atas kumpulan-kumpulan benda yang mewakili dalam satu provinsi. (3)  Museum Lokal, terdiri atas kumpulan-kumpulan benda yang mewakili dalam satu wilayah kabupaten  atau kotamadya. Berdasarkan pengelolanya, museum terbagi atas: (1) Museum Pemerintah, dikelola  oleh pemerintah. (2) Museum Swasta, dikelola oleh pihak swasta. 

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999 Bab IV, dijabarkan tolok ukur  kriteria sebuah bangunan cagar budaya antara lain, (1) tolok ukur nilai sejarah, dikaitkan dengan  peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan  pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2) Tolok ukur umur, dikaitkan dengan  usia sekurang-kurangnya 50 tahun. (3) Tolok ukur keaslian, dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan  prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya. (4) Tolok  ukur tengeran atau landmark, dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau  bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau  tengeran lingkungan tersebut. (5) Tolok ukur arsitektur, dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang  menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu. 

Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan,  yakni: (1) Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit  perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh. (2) Golongan II: lingkungan yang hanya  memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian. (3) Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang  mempunyai keaslian. Berdasarkan Perda yang sama tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan  dan Cagar Budaya, bangunan cagar budaya dari segi arsitektur maupun sejarahnya dibagi dalam 3 (tiga)  golongan, yaitu (1) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A. (2) Pemugaran Bangunan Cagar  Budaya Golongan B. (3) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C. 

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Bangunan golongan A antara lain adalah sebagai berikut:  (1) Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah. (2) Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, 

terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti  semula sesuai dengan aslinya. (3) Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan  yang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen  bangunan yang telah ada. (4) Dalam upaya revitalisasi memungkinkan adanya penyesuaian atau 

perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. (5) Di  dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya memungkinkan adanya bangunan tambahan yang  menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.  

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B antara lain: (1) Bangunan dilarang dibongkar  secara sengaja, dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat  dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan asliny. (2)  Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap, dan  warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting. (3) Dalam upaya  rehabilitasi dan revitalisasi memungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah  struktur utama bangunan. (4) Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya  bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama. 

Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C antara lain: (1) Perubahan bangunan dapat  dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.  (2) Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalam  keserasian lingkungan. (3) Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat  dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar  budaya dalam keserasian lingkungan. (4) Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana Kota. 

Metode Konservasi Bangunan Cagar Budaya berdasarkan Burra Charter adalah sebagai berikut:  (1) Pemeliharaan (Maintenance) adalah hal yang mendasar dalam konservasi, dimana pemeliharaan  harus diambil ketika suatu bagian dianggap bermakna budaya dan harus dipertahankan melalui proses  perawatan secara berkala untuk menjaga makna budaya tersebut. (2) Pelestarian (Preservation) adalah 

proses konservasi dimana bangunan dipertahankan seperti kondisi awal ditemukan dikarenakan untuk menunjukkan. kondisi keadaan bagian (dari suatu tempat), namun kurangnya ada bukti-bukti makna  budaya, yang memungkinkan untuk dilakukannya proses pemugaran. (3) Restorasi (Restoration) adalah  proses konservasi yang mana melibatkan bangunan dikembalikan seperti kondisi aslinya saat pertama  kali berdiri dengan menggunakan material aslinya dan dilakukan apabila terdapat bukti yang cukup  mengenai bentuk tempat pada awal mulanya. (4) Rekonstruksi (Reconstruction) dikatakan sebagai  proses konservasi yang melibatkan bangunan yang diubah sebagian apabila suatu bangunan tidak utuh  dikarenakan kerusakan atau mengalami perubahan (secara fisik), dan hanya jika terdapat bukti – bukti  yang cukup untuk membuat ulang bentuk awal mulanya, namun tetap mempertahankan suatu makna  budaya dari suatu bangunan. (5) Adaptasi (Adaptation) merupakan proses konservasi yang mana 

melibatkan bangunan yang dialihfungsikan, namun memiliki dampak yang kecil terhadap perubahan  makna budaya tempat tersebut. Adaptasi harus melibatkan perubahan yang minim terhadap bagian  penting, yang mana hanya bisa didapatkan melalui pertimbangan solusi – solusi alternatif. 

Eksistensi Museum Nasional diawali dengan berdirinya suatu himpunan yang bernama  Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, didirikan oleh Pemerintah Belanda pada  tanggal 24 April 1778. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) merupakan  lembaga independen yang didirikan untuk tujuan memajukan penetitian dalam bidang seni dan ilmu  pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan  sejarah, Berta menerbitkan hash penelitian. Lembaga ini mempunyai semboyan “Ten Nutte van het  Algemeen” (Untuk Kepentingan Masyarakat Umum). Salah seorang pendiri lembaga ini, yaitu J.C.M.  Radermacher, menyumbangkan sebuah rumah miliknya di Jalan Kalibesar, suatu kawasan perdagangan  di Jakarta- Kota beserta sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna. Sumbangan  Radermacher inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan. 

Pada tahun 1862, pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membangun sebuah gedung  museum baru di lokasi yang sekarang, yaitu Jalan Medan Merdeka Barat No. 12 (dutu disebut  Koningsplein West). Gedung museum ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1868. Museum ini sangat  dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya penduduk Jakarta. Mereka menyebutnya “Gedung  Gajah” atau “Museum Gajah” karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu  hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada tahun  1871. Kadang kala disebut juga “Gedung Arca” karena di dalam gedung memang banyak tersimpan  berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai periode. 

Pada tahun 1923 perkumpulan ini memperoleh gelar “koninklijk” karena jasanya dalam bidang  ilmiah dan proyek pemerintah sehingga lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van  Kunsten en Wetenschappen. Pada tanggal 26 Januari 1950, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van  Kunsten en Wetenschappen diubah namanya menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Mengingat  pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia, maka pada tanggal 17 September 1962 pengelolaan  museum diserahkan kepada pemerintah Indonesia oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia, yang  kemudian mengalami perubahan nama menjadi Museum Pusat. Akhirnya, berdasarkan Surat  Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.092/ 0/1979 tertanggal 28 Mei 1979, Museum  Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional [1]

Langgan gaya klasik eropa pada gedung Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu  wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh pemerintah sebagai tanggapan atas perhimpunan Bataviaasch  Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Visi dari Museum Nasional Indonesia adalah: Terwujudnya Museum Nasional Indonesia 

sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa,  meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional, serta memperkokoh persatuan  dan persahabatan antar bangsa. Misinya adalah Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber  daya manusia yang profesional, dan sarana-prasarana di lingkungan Museum Nasional Indonesia yang  berdampak pada peningkatan keamanan dan kenyamanan, meningkatkan penyajian informasi koleksi  yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta menumbuhkan daya apresiatif, inovatif, dan 

imajinatif, meningkatkan kualitas pemeliharaan dan penyajian koleksi yang mampu meningkat-kan  pelestarian budaya dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan nasional, meningkatkan kualitas  pelayanan informasi yang berdampak pada peningkatan apresiasi masyarakat dan kunjungan ke Museum  Nasional Indonesia, dan meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan registrasi dan dokumentasi  melalui database koleksi dan kepustakaan yang mudah diakses oleh pengguna data/user baik secara  offline maupun online.  

Museum Nasional Indonesia sebagai museum umum tingkat nasional, merupakan unit pelaksana  teknis di lingkungan kementrian kebudayaan dan pariwisata, berkedudukan di bawah, dan bertanggung  jawab kepada deputi bidang sejarah dan purbakala, Museum Nasional Indonesia dipimpin oleh seorang  kepala museum.

Berdasarkan data-data di atas, Museum Nasional Indonesia merupakan bangunan cagar budaya  yang berdiri dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Bangunan Museum Pusat Nasional milik pemerintah,  dimana pemerintah mengelola benda – benda peninggalan sejarah dari seluruh penjuru Indonesia yang  dipajang di Museum Nasional. (2) Bangunan Cagar Budaya Golongan I, dimana bangunan ini  mengalami sedikit perubahan dari segi arsitektural dan desain, serta keasliannya masih terjaga. (3) Bangunan Cagar Budaya Golongan C, dimana bangunan ini tetap mempertahankan keaslian fasad,  arsitektur utama, dan bangunan, dapat mengubah fungsi asli (perpustakaan dan meeting club ke  museum), serta penambahan bangunan baru yang mengikuti arsitektur aslinya (penambahan Gedung B). 

Pre-1862 

Museum Nasional  menempati gedung  lain dan berupa  

perpustakaan  

tertutup 

1979 

Naik status menjadi  Museum Nasional 

1862-1868 

Pembangunan  

Museum Nasional 

1962 

Berubah menjadi  Museum Pusat,  dikelola pemerintah  pusat 

1868 

Museum Nasional  dibuka

1871 

Pemberian patung  gajah oleh Rama V 

Berdasarkan timeline, dapat dipastikan bahwa bangunan ini tidak mengalami perubahan yang  berarti dari segi arsitektur, desain dan fungsi. Sejak awal didirikan, peralihan dari perpustakaan dan  meeting club ke museum bukanlah perubahan yang besar, karena bangunan ini secara resmi diakui  berdiri sebagai museum daripada perpustakaan tertutup milik peneliti Belanda yang tinggal di Indonesia.  

Metode yang digunakan dalam konservasi bangunan ini adalah metode maintenance dan  preservasi. Maintenance didapat dari bukti terjaganya unsur – unsur nilai budaya yang terkandung di  dalam ruang Museum Nasional. Sementara itu, preservasi didapat dari konsistennya fungsi ruang interior  yang sejak dulu dipakai sebagai museum untuk memajang artefak dan koleksi sejarah milik peneliti  Belanda hingga koleksi budaya seluruh Indonesia pasca kemerdekaan, serta keaslian unsur – unsur nilai  budaya yang ada, baik dari fasad, bentuk atap, dan arsitektural utama, sehingga tidak boleh diubah-ubah  karena bertentangan dengan ketentuan yang sudah melekat dengan bangunan tersebut. 

Konsep desain yang digunakan dalam konservasi bangunan ini adalah neo-classical dengan ciri  khas pilar kolom era Yunani Kuno berjumlah genap yang memiliki keseimbangan simetris dan bertitik  bebas, sehingga menghasilkan ruang terbuka di tengah ruangan yang dapat digunakan sebagai area  sirkulasi. Selain itu, konsep ini juga memiliki warna dominan putih, warna konsep neo-classical kebarat 

baratan yang wajib pada zamannya. Konsep ini dipertahankan beserta keaslian unsur – unsur nilai  

budaya yang ada, baik dari fasad, bentuk atap, dan arsitektural utama, sehingga tidak boleh diubah-ubah  karena bertentangan dengan ketentuan yang sudah melekat dengan bangunan tersebut. 

REFERENSI 

[1] Griffith, Richard (2010) ‘Listed building control? A critique of historic building  administration’, Cultural Trends, 19: 3, p.192 

[2] https://www.museumnasional.or.id/, diakses pada tanggal 27 Januari 2019. 

[3] https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/detailcb/PO2016030200013/gedung-a museum-nasional, diakses pada tanggal 27 Januari 2019.