By: Bayu R. W. Edward S.Ds., M.Ds.

Interior Design School Of Design Binus University

 

Pemerintah Serawak bekerjasama dengan Sarawak Timber Industry Development Corporation (STIDC) dan ITB menginisiasi sebuah program pengembangan kompetensi desain nasional yang melibatkan sekelompok anak muda Serawak dengan latar belakang keilmuan desain industri atau industrial design. Program ini kemudian disebut POYOD Program, singkatan dari Pool Of Young Designer. Pada program ini, sekelompok anak muda terpilih akan menjalani pendidikan desain industri secara menyeluruh, meliputi pengetahuan dan teknik sejak tahap hulu, hingga hilir. Luaran dari program ini akan berwujud purwarupa dengan kematangan konseptual dan visi strategis dan implementatif.

Saat ini POYOD Program telah memasuki batch ke-dua dengan jumlah peserta lolos seleksi berjumlah 9 (sembilan) peserta. Berbeda dengan POYOD Program batch pertama yang memfokuskan responnya terhadap material rotan dan bambu, konsentrasi aspek pada POYOD batch ke-dua ialah material kayu solid.

Dalam pelaksanaannya, setiap peserta akan dibimbing oleh 1 orang supervisor. Pada kesempatan ini, penulis diminta terlibat sebagai pembimbing (supervisor) yang bertugas untuk mengawal dan memberi arahan kepada salah satu peserta selama proses desain. Penulis dipasangkan dengan peserta Saudari Nurfathin Asyikin asal Kelantan, alumnus UNIMAS Malaysia.

Secara umum, tugas daripada seorang supervisor ialah memberikan wawasan dan keterampilan yang diperlukan oleh peserta bimbingnya dalam proses mendesain, serta melakukan pemantauan, pengawasan dan pengarahan kepada peserta bimbing agar proses desain yang dilakukan dapat terlaksana secara baik dan optimal. Desain yang dihasilkan haruslah berasal dari peserta, supervisor disini hanya membantu peserta dalam menstimulus, menganalisis, dan memberikan perspektif terhadap keputusan-keputusan dan gagasan peserta bimbing.

Disampaikan pada pertemuan koordinasi pertama di ITB, bahwa POYOD Program batch kedua ini akan menghasilkan 2 (dua) purwa rupa yang masing-masing dibagi menjadi 2 (dua) rentang yaitu dari Januari hingga April untuk purwarupa pertama, dan Mei hingga November untuk purwarupa kedua. Pada kedua rentang waktu tersebut peserta tidak hanya akan melakukan design development saja melainkan kegiatan-kegiatan pembekalan lainnya seperti perkuliahan, kunjungan industry dan acara-acara yang berhubungan dengan desain dan industry lainnya.

Berkaitan dengan kegiatan utama yakni design development, setiap supervisor diberi kewenangan untuk menggunakan metode apapun yang dikuasainya dan dinilai baik untuk diterapkan selama proses bimbingan. Jadwal dari design development dibagi kedalam beberapa tahap yakni, tahap penggagasan, tahap studi ergonomic dan dimensi, tahap mockup berskala, tahap schematic drawing, dan tahap prototyping sebagai akhir. Melihat potensi konten edukasi pada program ini, maka penulis akan merekam peristiwa selama palaksanaan program dengan menulis artikel yang berisi proses, perjalanan, dan interaksi

penulis dengan peserta Nurfatin Asyikin selama menjalankan tugas sebagai supervisor di setiap tahapannya.

Tahap Penggagasan

Sebagaimana telah disampaikan bahwa supervisor diperkenankan menggunakan metode apapun yang dirasa tepat dalam memberikan bimbingannya kepada peserta, maka pada tahap penggagasan ini penulis akan melakukan pendekatan personal kepada peserta yakni dengan menempatkan diri sebagai teman. Hal ini penulis rasa sangat mendasar untuk dilakukan agar dapat menciptakan energy positif dan keleluasaan serta kepercayadirian peserta bombing sehingga menjamin orisinalitas dan fundamentalitas dari gagasan yang dihasilkan. Lebih jauh lagi dengan situasi psikologis yang leluasa dan nyaman, diharapkan peserta bimbing dapat senantiasa menjalani programnya dengan suka hati dan menempatkan tekanan pada porsi yang sesuai. Pendekatan personal juga dinilai baik dalam menstimulus kreatifitas karena pendekatan ini akan menciptakan rasa kepercayadirian dan optimism terhadap gagasan, serta melepas belenggu-belenggu paradgima yang tidak perlu selama proses menggagas. Dengan menciptakan platform bekerja dengan pendekatan personal penulis nilai juga dapat memudahkan proses tukar pikiran dan koordinasi dengan peserta sehingga dapat meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi akibat miss koordinasi dan miss understanding.

Dalam praktiknya pada tahap penggagasan, penulis sebagai pembimbing mengajak peserta berdiskusi tidak dalam suasana bekerja ataupun belajar melainkan dalam suasana bersantai di salah satu café di Bandung. Hal ini penulis lakukan sebagai upaya agar menanamkan pemahaman bawah sadar kepada peserta bahwa proses gagas harus diawali dengan pembebasan diri dari batasan-batasan semu yang dapat mengakibatkan melencengnya gagasan dari esensi permasalahan. Dalam situasi yang lebih tenang, permasalahan akan lebih jelas dipetakan dan difokuskan.

Mengingat singkatnya waktu yang disediakan oleh panitia untuk tahap penggagasan yakni 6 (enam) hari, maka penulis dan peserta sama-sama memahami tingkat fokus dan konsentrasi yang harus dicurahkan demi mendapatkan gagasan terbaik dalam waktu tersebut. Penulis melakukan pendekatan personal dengan segera yaitu dengan memulai percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan diluar konteks desain dan lebih mengenai latar belakang kehidupan peserta. Pada tahap ini penulis hanya akan menerima jawaban dari peserta tanpa mencoba  mengarahkan dan mengaitkan  jawaban tersebut ke substansi apapun terutama desain. Kegiatan ini dilakukan penulis agar dapat membaca potensi dan karakter peserta baik secara umum maupun secara mendasar, sehingga dengan diketahuinya hal-hal tersebut penulis dapat memberikan perlakuan yang tepat dalam membimbing dan memunculkan kreatifitas peserta.

Pertanyaan penulis berkisar hal-hal yang lumrah seperti tempat tinggal peserta, lingkungan tempat tumbunya peserta, lalu hal yang disukai peserta, dan hal yang tidak disukai peserta, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang ditujukan untuk menghapuskan rasa ketegangan dan spekulasi menakutkan dan memberatkan peserta. Pada metode ini, penulis mengakhiri pertanyaan dengan satu pertanyaan yang lebih substansial sebagai penanda bahwa diskusi

telah dimulai sekaligus semacam pengukuran konfirmatif dari analisis penulis dari jawaban pertanyaan sebelumnya.

Berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh penulis, jawaban dari peserta telah memberikan informasi bahwa ia merupakan tipe personalitas yang tidak nyaman dengan tekanan namun menyukai tantangan. Peserta sangat menyukai situasi ketika dirinya sadar dapat menguasai situasi sehingga memberikan ketenangan. Ketenangan bagi peserta adalah energinya untuk semakin produktif, dan sebaliknya tekanan adalah penghambat besar yang berpotensi bagi peserta untuk meninggalkan situasi. Ketenangan, ya, ketenangan adalah sesuatu yang oleh penulis jadikan sebagai basis dalam melakukan bimbingan terhadap peserta. Menjaga peserta tetap tenang di semua aspek diri adalah syarat berjalannya proses gagas dan proses desain seluruhnya agar berjalan optimal dan memuaskan. Namun sebelum itu penulis perlu  mengemas objektif desain sebagai suatu tantangan karena hal ini dapat  mereinterpretasi tekanan menjadi hal yang lebih ramah dan menyenangkan bagi peserta sehingga menciptakan ketenangan. Atau dapat penulis simpulkan pada kasus peserta Nurfatin Asyikin sebagai ‘tenang dalam tantangan’.

Hal lain yang penulis temukan dari jawaban peserta ialah sebuah tantangan juga menjadi medan baginya untuk mengekspresikan diri sebebasnya. Menyadari bahwa dirinya sedang menjajal sebuah tantangan akan mendorong dirinya untuk mengerahkan segala daya dan potensi diri tidak terkecuali dengan ekspresi. Penulis menyimpulkan bahwa kata kunci dari kreatifitas bagi peserta ini ialah, juga tantangan. Dengan kata lain, kualitas orisinalitas karya desain peserta akan bergantung juga pada daya tantang yang peserta dapat rasakan selama menjalani program.

Sebagai konfirmasi dari analisis tersebut, penulis mengajukan pertanyaan pembuka diskusi yakni mengenai motivasi dari peserta dalam program ini. Pertanyaan ini menggiring kepada diskusi awal tahap penggagasan mengenai motivasi dalam desain. Pendekatan ini didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Adhi Nugraha pada tahun 2010 mengenai ‘Transforming Tradition’ yang menjadikan motivasi sebagai elemen penting dalam menjalani proses desain.

Dari jawaban yang diberikan, peserta menunjukkan tidak ada motivasi khusus yang melandasi keikutsertaannya. Hal ini menyebabkan peserta belum memiliki target dan visi dari desain yang akan dikerjakannya. Melihat situasi ini, penulis mencoba untuk mengemas bahasa program POYOD sehingga dilihat sebagai suatu tantangan. Bukan mengiming-imingi peserta dengan kemungkinan keberhasilan yang belum pasti, tapi mengajaknya untuk menjajal program ini layaknya sebuah tantangan.

Dengan dasar tersebut, penulis mengangkat dua kata kunci sebagai medan pemikiran peserta yakni, tantangan_yang dibungkus dalam bahasa ‘playfull’_, serta ketenangan.  Akhir diskusi pada hari pertama tahap penggagasan, peserta melihat satu potensi ide yang relevan dengan kata kunci tersebut dan memiliki kedekatan personal dalam perjalanan hidup peserta. Peserta mengangkat ‘wau’, atau layangan tradisional khas Melayu. Peserta melihat wau sebagai sebuah permainan yang menenangkan dan memiliki kecocokan dengan arah materi pada tahap gagasan ini.

Sebagai langkah selanjutnya, penulis meminta peserta untuk melakukan pendalaman mengenai esensi wau melalui metode ‘corat-coret’ atau yang secara formal dikenal sebagai mind mapping. Dan berdasarkan hasil penelusurannya tersebut, diambil sari-sari gagasan melalui diskusi penentapan gagasan. Yang dijadikan faktor pengukuran dari pengerucutan sari gagasan ini tidak lain kata kunci yang telah disepakati pada diskusi sebelumnya yaitu permainan dan ketenangan.

Dari cerita mengenai proses menggagas yang dilakukan oleh penulis dan peserta ini terdapat beberapa catatan terkait reaksi dan symptoms peserta. Reaksi-reaksi seperti kebingungan peserta dan ketidakpercayadirian ketika melakukan mind mapping, takut melakukan kesalahan, merupakan reaksi yang ditimbulkan karena penulis membawa peserta dalam konsep berproses tanpa mengkhawatirkan output. Di fase ini peserta terlihat sudah terbiasa dengan metode bekerja disertai dengan target terukur. Sebagai penjelasan, penulis menyampaikan kepada peserta bahwa pada fase penggagasan kualitas gagasan yang dihasilkan bergantung pada kualitas kebebasan dan kepercayadirian peserta, sehingga peserta harus terlebih dahulu melepaskan diri dari paradigm dikotomi salah dan benar. Tidak ada yang salah pada fase ide.

Pada artikel ini, penulis sengaja memaparkan proses pada tahap ini secara sedikit mendetail. Hal ini didasari oleh pemahaman penulis mengenai desain proses yang meletakkan pondasinya pada fase kreatif, khususnya berfikir dan respon kreatif. Mengawali tahap awal perancangan secara kreatif akan menjamin kualitas tahapan proses desain selanjutnya. Dari fase yang dijalani dengan metode pendekatan personal, penulis melihat bahwa peserta lebih

menguasai dan memahami proyek desainnya secara lebih meyakinkan. Hal ini dapat dilihat dari kematangan pertanyaan dan diskusi yang terjadi antara penulis dan peserta setelah mendapatkan gagasan wau tersebut.

 

  

 

Bayu Edward

April, 2020