Kasus Komunitas dalam Perspektif Hak Cipta Fotografi
Kasus pelanggaran hak cipta yang dialami Komunitas Noken Papua (KONOPA) merupakan salah satu contoh bagaimana karya fotografi, terutama yang memiliki nilai budaya dan identitas lokal, sering kali digunakan tanpa izin oleh pihak lain. KONOPA, sebagai komunitas yang berfokus pada dokumentasi dan pelestarian budaya Papua, menemukan bahwa beberapa hasil karya fotografi mereka telah digunakan secara komersial oleh pihak lain tanpa sepengetahuan dan izin resmi dari fotografernya.
Kronologi Kasus
KONOPA menyadari bahwa foto-foto yang mereka hasilkan, yang menampilkan gambar- gambar budaya Papua seperti proses pembuatan noken, upacara adat, serta potret masyaraka adat, digunakan sebagai desain sablon pada kaos dan produk tekstil lainnya. Beberapa toko dan distro di Papua serta beberapa wilayah lain di Indonesia menjual produk tersebut secara luas tanpa memberikan kredit atau kompensasi kepada pencipta aslinya. Ketika komunitas ini mencoba menelusuri asal-usul pelanggaran, mereka menemukan bahwa foto-foto tersebut awalnya diunggah di media sosial dan situs web komunitas sebagai bagian dari kampanye edukasi dan promosi budaya Papua. Sayangnya, tanpa adanya mekanisme perlindungan yang kuat seperti watermark atau lisensi eksplisit, gambar-gambar tersebut dengan mudah diambil dan digunakan oleh pihak lain untuk kepentingan komersial.
Tanggapan KONOPA dan Upaya Penyelesaian
Menyadari adanya pelanggaran ini, KONOPA mengambil beberapa langkah berikut:
1. Melakukan Pendekatan Persuasif
KONOPA menghubungi beberapa pelaku usaha yang menggunakan foto mereka secara ilegal
dan meminta mereka menghentikan produksi serta penjualan barang dengan desain tersebut.
Mereka juga mengedukasi para pelaku tentang pentingnya menghormati hak cipta dan memberi
penghargaan kepada pencipta asli.
2. Meminta Kompensasi
Dalam beberapa kasus, KONOPA berusaha mencapai kesepakatan dengan pelaku untuk
mendapatkan kompensasi dalam bentuk royalti atau pengakuan hak cipta atas penggunaan foto
mereka. Namun, tidak semua pelaku setuju, dan beberapa di antaranya justru bersikap defensif,
mengklaim bahwa mereka menemukan gambar-gambar tersebut di internet dan
menganggapnya sebagai “domain publik.”
3. Pertimbangan Tindakan Hukum
Meskipun pelanggaran ini jelas masuk dalam kategori pelanggaran hak cipta berdasarkan
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, KONOPA masih
mempertimbangkan apakah akan membawa kasus ini ke Pengadilan Niaga. Faktor utama yang
membuat mereka ragu adalah proses hukum yang panjang dan biaya yang tidak sedikit,
terutama mengingat komunitas ini lebih fokus pada kegiatan budaya dan pelestarian warisan
Papua daripada pertempuran hukum.
4. Penguatan Kesadaran dan Perlindungan Karya
Sebagai respons terhadap kejadian ini, KONOPA mulai meningkatkan upaya perlindungan
terhadap karya fotografi mereka dengan:
▪ Menggunakan watermark yang sulit dihapus.
▪ Mendaftarkan beberapa foto mereka sebagai hak cipta resmi untuk memperkuat posisi
hukum mereka jika terjadi pelanggaran di masa mendatang.
▪ Menyediakan lisensi penggunaan foto dengan persyaratan jelas agar pihak lain bisa
menggunakan foto secara sah dengan izin tertulis.
▪ Mengedukasi anggota komunitas dan masyarakat luas tentang pentingnya menghormati
hak cipta karya seni dan fotografi.
Analisis dan Implikasi Kasus
Kasus yang dialami oleh KONOPA mencerminkan beberapa permasalahan utama dalam dunia
fotografi dan hak kekayaan intelektual di Indonesia, khususnya terkait karya yang bernilai
budaya:
1. Kurangnya Kesadaran akan Hak Cipta dalam Industri Kreatif
Banyak pelaku industri kreatif, terutama di sektor merchandise dan fashion, yang masih
menganggap foto atau gambar yang beredar di internet sebagai bebas digunakan tanpa izin.
Padahal, menurut hukum, setiap karya seni, termasuk fotografi, otomatis memiliki hak cipta
sejak diciptakan.
2. Minimnya Perlindungan bagi Karya Budaya Lokal
Karya fotografi yang menggambarkan budaya lokal sering kali lebih rentan terhadap
eksploitasi komersial. Banyak pelaku usaha melihatnya sebagai sumber inspirasi yang dapat
diambil tanpa mempertimbangkan hak atau kepentingan komunitas penciptanya.
3. Sulitnya Penegakan Hukum bagi Komunitas Lokal
Bagi komunitas seperti KONOPA, yang memiliki keterbatasan sumber daya, mengajukan
gugatan hukum bukanlah solusi yang mudah. Proses hukum yang rumit, biaya tinggi, serta
waktu yang lama menjadi hambatan besar bagi mereka yang ingin memperjuangkan hak cipta
mereka secara formal.
4. Pentingnya Edukasi dan Regulasi yang Lebih Ketat
Kasus ini menunjukkan bahwa edukasi tentang hak cipta harus diperluas, terutama bagi pelaku
industri kreatif. Selain itu, regulasi yang lebih ketat dan mekanisme perlindungan hak cipta
yang lebih mudah diakses bagi komunitas kecil atau fotografer independen sangat diperlukan.
Kesimpulan dan Ulasan
Kasus KONOPA adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi fotografer dan komunitas
budaya dalam melindungi karya mereka di era digital. Agar kasus serupa tidak terulang,
diperlukan pendekatan yang lebih sistematis, termasuk:
▪ Pendidikan dan Kesadaran Publik: Masyarakat, terutama pelaku usaha, perlu lebih
sadar tentang hak cipta dan pentingnya mendapatkan izin sebelum menggunakan karya
fotografi orang lain.
▪ Perlindungan Hukum yang Lebih Aksesibel: Pemerintah perlu menyediakan
mekanisme pengaduan yang lebih sederhana dan efisien agar komunitas kecil bisa
memperjuangkan hak mereka tanpa beban biaya yang besar.
▪ Kolaborasi dengan Pihak Berwenang: KONOPA dan komunitas lain dapat bekerja sama
dengan lembaga hak kekayaan intelektual, seperti Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI), untuk memastikan perlindungan yang lebih kuat terhadap karya
budaya lokal.
▪ Penggunaan Teknologi: Fotografer dan komunitas kreatif harus mulai memanfaatkan
teknologi, seperti blockchain atau sistem lisensi digital, untuk mencatat dan mengontrol
penggunaan karya mereka.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kasus seperti yang dialami KONOPA dapat
diminimalisir di masa depan, sehingga fotografer dan komunitas budaya dapat terus berkarya
tanpa takut karyanya dieksploitasi secara ilegal.
Eve Meidlin Alea Setyo
dikutip dari banyak sumber dan google